BANDUNG HARI INI: 21 Tahun Ultimus di Kiri Jalan
Ultimus, toko buku dan penerbit di Bandung, usianya sudah 21 tahun. Dari awal Ultimus konsisten menyebarkan literatur-literatur kiri.
Penulis Salma Nur Fauziyah14 Januari 2025
BandungBergerak.id - Nyaris di ujung jalan komplek daerah Cikutra, Bandung, Ultimus berada. Hari ini, bertepatan dengan 14 Januari 2004, tepat 21 tahun toko buku sekaligus penerbit buku-buku beraliran kiri.
Lokasi persis Ultimus persis di Jalan Cikutra Baru IV No. 30, menempati bangunan rumah bercat putih. Dari luar, rumah itu terlihat sepi. Saat masuk ke ruang utama dalam terdapat sebuah meja panjang dan beberapa bangku. Tidak lupa sebuah lemari dan rak yang berisi beberapa buku terbitan Ultimus. Di sana pula tempat sebagian proses produksi menerbitkan buku dilakukan.
Perlu mengontak terlebih dulu ketika ingin berkunjung agar nanti ada orang yang membukakan pagar yang digembok.
Bilven Sandalista, yang akrab disapa Bung Bilven, bercerita awalnya rumah Ultimus selalu terbuka. Tapi, semenjak peluncuran buku Sejarah Pergerakan Kiri Indonesia untuk Pemula di Jakarta, Ultimus didatangi oleh seorang polisi dan tentara.
Mereka datang atas intruksi atasan. Mulanya mengaku hanya ingin bersilahturahmi saja. Pada akhirnya mereka bertanya apakah di sini (Ultimus) memproduksi buku-buku terlarang.
"Nah, sejak saat itu protapnya untuk tertutup. Dan memang tidak boleh untuk rumah ini kosong. Minimal satu orang ada di sini kalau kita keluar. Soalnya karena banyak krimimal, banyak kemalingan," cerita Bilven. Protap ini sudah dilakukan sejak 2016 lalu hingga sekarang.
Ultimus sudah berpindah tepat sebanyak empat kali. Saat pertama berdiri sebagai toko buku di tahun 2004, mereka menempati sebuah tempat di Jalan Karapitan 127. Namun di sana mereka hanya bertahan selama satu tahun.
Mereka kemudian bergeser ke Jalan Lengkong Besar 127, persis di depan kampus Unpas. Di sana toko buku mereka berkembang sebagai perpustakaan dan tempat untuk komunitas. Beragam acara seperti diskusi, nobar, hingga lokakarya untuk warga setempat diselenggarakan.
Pada 14 Desember 2006, kasus pembubaran diskusi terjadi. Kasus ini cukup heboh dan banyak dimuat surat kabar. Arsipnya masih tetap tersimpan rapi dalam sebuah map.
Tragedi pembubaran diskusi tidak membuat Ultimus kapok, karena toh apa salahnya diskusi dan mengasah pemikiran? Bilven dan kawan-kawan justru lebih getol lagu bikin diskusi dan menerbitkan buku-buku beraliran kerakyatan. Inilah cara perlawanan mereka dari kesewenang-wenangan itu.
Karena kontrak sewa, Ultimus kemudian pindah ke Jalan Rangkasbitung 2A. Persis di seberang Rumah Tahanan Kebon Waru. Di sana mereka bertahan selama 4 tahun. Akhirnya, 2013 mereka pindah ke perumahan Cikutra hingga sekarang.
Ultimus di Tahun 2025
Selama 21 tahun Ultimus berjalan, Bilven merasa produktivitasnya terbilang kurang. Dalam artian total terbitan buku sepanjang Ultimus berdiri belum bisa mencapai 200 judul buku.
“Nah, sementara target kita 1 bulan ada 1 buku. Artinya setahun bisa 10 atau 12 bukulah. Nah, itu aja belum tercapai gitu. Beberapa tahun yang lalu mau kita kejar, kena Covid. Jadi turun lagi produktivitas,” ungkap Bilven.
Sebelum pandemi produktivitas penerbitan mereka pernah mecapai di atas 15 judul dalam setahun. Angka itu turun ketika pandemi berlangsung. Ada 3-5 judul buku saja yang terbit.
Di tahun 2022, ketika pandemi mulai menurun, semangat mereka untuk produktif muncul kembali. Mereka mulai bereksperimen untuk menerbitkan buku-buku dengan halaman tebal.
“Kita ada pemikiran daripada kita jualin buku tipis-tipis. Dapatnya sedikit, marginnya juga sedikit. Gimana kita nyetak buku yang tebal aja sekalian gitu,” ujar Bilven menjelaskan eksperimen menerbitkan buku tebal.
Maka terbitlah buku-buku agak tebal seperti Memoar Mia Bustam. Meski hanya beberapa buku saja, Bilven tetap merasa bangga dengan pencapaian itu. Sebab kebanyakan buku yang sudah diterbitkan sebelumnya selalu berada di bawah 200 halaman.
Di tahun 2025, Bilven mengaku Ultimus akan lebih fokus dalam eksperimen 2-3 tahun yang sudah dijalankan itu. Ia juga berkata akan tetap menjaga kualitas terbitan buku. Seperti tetap menggunakan kertas HVS (meski dalam segi ongkos produksinya mahal) serta menjaga kualitas (Quality Control).
“Kita akan nerbitin buku yang agak tebel-tebel. Jadi konsekuensinya memang lebih mahal. Lebih mahal tapi tetap lebih murah dibanding penerbit lain,” terangnya.
Bilven juga berkata mulai beberapa minggu lalu, ia mulai memberikan bonus satu buku gratis (terbitan lama) kepada siapa pun yang membeli buku di Ultimus.
Tahun ini, Bilven belum merumuskan naskah mana yang akan menjadi pemungkas. Masih ada beberapa naskah yang belum sempat diterbitkan menjadi hal yang akan diutamakan.
Di sisi lain Bilven mengaku ingin kembali membuka perpustakaannya, yang kini tidak beroperasi lagi. Namun, ia tetap menitikberakan fokusnya dalam produksi buku. Bahkan untuk kegiatan diskusi yang menjadi ruh Ultimus di masa lalu bukan menjadi sebuah prioritas utama.
Bilven merasa kegiatan itu bisa dilakukan oleh kawan-kawan lain yang bergerak di bidang literasi. Contohnya, Kedai Jante yang sering mengadakan diskusi rutin.
Meski begitu, Ultimus tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin menggunakannya sebagai tempat rapat maupun diskusi intim dengan kapasitas belasan orang.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Berdirinya Observatorium Bosscha, Peneropongan Bintang di Bandung Utara yang Menjadi Rujukan Internasional
BANDUNG HARI INI: Budi Brahmantyo, Geologis Sejati yang tak Mau Tinggal di Menara Gading
BANDUNG HARI INI: Berpulangnya Seniman Mata Hitam
Pembubaran, Bahan Bakar untuk Melawan
“Jadi kita tuh sebenernya datengnya telat. Udah mau mulai. Pas mau mulai digerebek, dibubarkan,” kenang Deni Rachman pada peristiwa yang terjadi 19 tahun lalu di Ultimus. Deni masih ingat saat ia dan rekan karibnya, Didin Tulus, menyaksikan pembubaran paksa diskusi Ultimus tanggal 14 Desember 2006.
Deni dan rekannya hanya ingin datang untuk menikmati diskusi terkait marxisme yang sudah diagendakan sebelumnya lewat milis. Di tambah akan ada seorang narasumber yang langsung datang dari Kanada ke acara itu. Namun, saat memasuki pukul tujuh malam, kawasan Jalan Lengkong Besar 127 sudah ramai dengan kerumuman ormas dan intel.
Sebelum masuk ke dalam toko yang sudah ramai orang, Deni dan kawannya memutuskan untuk makan nasi goreng.
“Eta pas di nasi goreng loba polisi jeung intel dong,” cerita Deni, saat ditemui di tokonya 10 Januari 2025. Akhirnya ia dan rekannya cepat-cepat menghabiskan makan dan bergegas mendekati toko.
Deni berusaha menjaga jarak aman, tapi rekannya malah masuk ke dalam toko. Tak lama sang rekan dibawa oleh polisi, beserta orang lain yang turut diringkus dan dibawa ke Polrestabes Bandung.
Tidak hanya menangkapi orang-orang yang mengikuti diskusi, atribut-atribut toko dan buku pun ikut disita. Bahkan pada sebuah bendera komunitas teater yang tidak ada sangkut pautnya dengan marxisme turut dirampas.
Kesaksian peristiwa itu turut Deni tulis dalam bukunya “Pohon Buku di Bandung”, yang memuat sejarah kecil komunitas buku yang ada di Bandung medio 2000-2009.
Sebagai pegiat literasi, Deni melihat Ultimus sebagai pengisi gap sejarah literatur kiri Indonesia yang sempat dihapus semasa rezim otoriter Orde Baru. Memang tidak dipungkiri jika pergerakan politik kiri pernah mengisi sejarah perkembangan bangsa ini.
Ia sangat mengapresiasi Ultimus. Karena jarang ada penerbit yang mau menerbitkan buku-buku berbau kiri dengan penuh konsekuensi penyitaan dan teror. Hingga saat ini Deni masih menjual beberapa buku-buku terbitan Ultimus, meski tentu dengan beragam siasat yang ada.
“Intinya, jangan ngelupain satu zaman sejarahlah, ada perjalanan sejarah yang kelam, sejarah yang saling membabat, menjatuhkan. Nah, harus dibuka untuk masyarakat. Dan Ultimus berperan di situ,” terang Deni.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Bandung Hari Ini