Kehidupan Getir Masyarakat Pesisir dalam Naskah Drama Pulang ke Palung
Festival Lakon Bandung menyajikan proses pembacaan naskah drama sebelum dipentaskan di atas panggung teater. Salah satu naskah bercerita tentang buruh laut migran.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah15 Januari 2025
BandungBergerak.id - ”Aku bukan istri pelaut, aku ini istri seorang budak. Jika suamiku seorang pelaut, tidak akan selesai oleh perbudakan di atas kapal,” kata Seruni kepada suaminya, Kamal, di pusat kebudayaan Prancis IFI Bandung, Jumat, 10 Januari 2025.
Pernyataan Seruni ditimpali oleh Kamal, pria yang yakin bahwa dia bagian dari masyarakat bahari yang meyakini nenek moyangnya sebagai pelaut. “Lantas kematian yang lebih terhormat bagi orang-orang yang mencintai laut, jika tidak mati di atas laut. Ketika jangkar di angkat dan kapal berangkat kami sudah meninggalkan semua di daratan, kami sudah siap mati. Leluhur bahari kita percaya, pergi itu pulang, kamu pulang ke laut ketika pergi ke laut,” ujar Kamal.
Tetapi kematian Kamal bukanlah seperti yang ia idamkan. Ia meninggal sebagai budak ketimbang pelaut.
Naskah lakon ‘Pulang ke Palung’ itu dibacakan Studiklub Teater Bandung melalui acara Bandung Play Fest atau Festival Lakon Bandung. ‘Pulang ke Palung’ merupakan karya karya Indah Mustika Santhi.
Lakon yang dibacakan klub teater tertua di Bandung ini menceritakan sisi lain kehidupan masyarakat pesisir Indonesia di mana mata pencaharian sebagai nelayan tersisihkan. Mereka terpaksa mereka menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal-kapal asing.
Kamal kembali menjadi awak kapal perikanan migran bersama sang kakak, Bagio. Padahal sebelum menikahi Seruni ia berjanji akan berhenti bekerja sebagai awak kapal dan mejalani pekerjaan di daratan. Tetapi bagi lelaki pencinta lautan ini mencari peruntungan di darat kurang mencukupi.
Tiga tahun pernikahannya dengan Seruni, manusia bahari ini terpaksa menjadi pelaut kembali. Keributan demi keributan mengusik ketenteraman rumah tangga mereka. Nasib baik tidak berpihak kepada mereka.
Suatu hari, Kamal jatuh sakit saat pelayaran, kemudian meninggal dan jasadnya tidak pernah kembali ke daratan. Dalam peti kayu Kamal tenggelam menuju dasar palung lautan dalam.
Di saat yang sama, Seruni merindukan suaminya. Meski rumah tangganya kerap kali ribut, tetapi Seruni tahu bahwa Kamal lelaki tulus. Maka, setiap hari ia pergi ke pesisir, kadang ia memakai daster merah dan cardigan biru kelasi, membawa sasajen ke lautan, berharap penguasa lautan bisa membawa pulang jasad suaminya.
Desir suara ombak mengiringi ingatan Seruni saat suaminya pulang dari pelayaran yang penuh siksaan. Adegan kilas balik ditampilkan dalam pembacaan lakon ini. Kamal pulang dengan luka memar di punggung. Belum lagi ia harus menerima kenyataan pahit ditipu oleh agen ilegal yang memberangkatkannya menjadi pekerja migran. Ia pun terbelit utang.
“Bagian mana lagi sekarang yang sakit, punggung, buka lepas semuanya. Ini luka apa, siapa yang memukulmu di kapal?” kata Seruni. “Sudah empat bulan gajimu tidak cair, agen lokal yang membawa kamu kapal asing itu penipu. Semua surat perjanjian itu palsu, mereka kabur dengan membawa empat bulan gajimu,” sambungnya.
Meski begitu Kamal tetap keras kepala dan masih membentak istrinya. Baginya penderitaan adalah konsekuensi dalam setiap pelayaran. “Suamimu itu awak kapal, kamu tahu itu risiko pekerjaanku, kerja kasar, kerja paksa, bahkan mati di tengah kapal akan terjadi setiap pelayaran,” tegas Kamal.
Tiada kasih lain yang diinginkan oleh Seruni agar suami selalu dekat dengan dirinya ketimbang menjatuhkan harga dirinya menjadi budak kapal. Kamal tetap mengelak demi masa depan yang layak.
“Kamu pikir kapal itu berapa harganya, berjuta-juta harganya. Aku menjadi jonggos di darat bertahun-tahun belum tentu aku bisa membelinya,” tutur Kamal. “Aku hanya ingin menjadi suami berguna dengan menghidupi anak dan ibunya dengan layak.”
Adegan kemudian ditutup dengan kenyataan bahwa Kamal tidak akan pernah kembali ke daratan, setelah Bagio datang membawa uang kompensasi atas meninggalnya adiknya.
Bagio, kakak Kamal menjelaskan bahwa sang adik mengalami sakit paru-paru sementara kapal tidak memiliki ruang yang cukup besar untuk membawa jenazah ke daratan. Atas persetujuan Bagio dan diharapkan tidak menularkan racun kepada awak kapal yang lain, jasad Kamal dilarung ke palung.
“Kapal kami sedang berlayar di perairan internasional beberapa jam kematian Kamal. Wajahnya mulai membengkak, mengeluarkan cairan, dan muncul bintik-bintik merah di seluruh tubuhnya. Seluruh awak kapal membuat keputusan. Hanya virus sedikit apa pun di kapal mudah menular saat itu. Aku menyetujui untuk membuang adikku ke laut,” beber Bagio.
Seruni membantahnya, suaminya jatuh sakit karena kerja tanpa batas waktu, makan dan minum yang tidak layak hingga mengakibatkan kematian. “Gimana orang jatuh sakit kalau bekerja tanpa batas waktu, meminum air kotor, gimana orang gak mati?” timpal Seruni.
Baca Juga: Jejak Dosa di Ujung Malam Garapan Teater Lakon, Menggabungkan Seni Pertunjukan dan Film
Praktik Kotor Calon Kepala Daerah dalam Lakon Teater Awal Bandung
Potret Kehidupan Kelas Proletar Lewat Teater Sektor Ketiga
Sastra Maritim dan Persoalan Manusia Bahari yang Tergerus
Persoalan yang dialami Seruni dalam lakon ‘Pulang ke Palung’ merupakan sastra maritim yang memperlihatkan bagaimana hubungan manusia dengan laut dan pelayaran. Penulis naskah, Indah Mustika Santhi mengjelaskan, ketertarikannya terhadap sastra maritim dilatarbelakangi dengan faktor emosional.
Indah memiliki latar belakang kehidupan pesisir Lampung, Sumatra. Ia sering berkomunikasi dengan mayarakat di sana.
Penulisan naskah ini kental dengan unsur fakta yang terjadi di masyarakat. Selain itu, Indah juga menguatkan naskahnya dengan riset sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka naskah.
Sebagai penulis yang memfokuskan pada sastra maritim, menulis karya sastra merupakan hal yang sakral dan memerlukan proses riset.
“Menulis karya sastra itu sebuah proses yang sakral, ada dasar ilmu yang bisa dikolaborasikan, karya sastra punya kekuatan. kehidupan asli di luar sana itu diangkut dengan karya sastra,” jelas Indah.
Naskah Pulang ke Palung karya Indah Mustika Santhi bukan kali pertama ditampilkan. Naskah ini pernah ditampilkan di Festival Drama Pelajar Kabupaten Batang 2024 serta menjadi naskah terpilih Majelis Sastra Asia Tenggara.
Indah membawakan permasalahan terpisahnya masyarakat pesisir dengan lautan sehingga mereka terpaksa menjadi Awak Kapal Pengawas Perikanan (AKP) Migran. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024 Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat aduan AKP Migran sebanyak 196 kasus. Kasus tertinggi berkaitan dengan Tindakan Pidana Perdagangan Orang (TTPO), penahanan gaji atau gaji tidak dibayarkan, tidak sesuai kontrak, gagal kontrak, dan PHK sepihak.
“Kasus peningkatan signifikan terhadap kasus kecelakaan kerja dan kematian,” kata SBMI, diakses BandungBergerak Rabu, 15 Januari 2025. (https://sbmi.or.id/catatan-akhir-tahun-2024/)
SBMI menilai, tingginya kejahatan TTPO memperlihatkan negara gagal melindungi buruh migran terutama berkaitan dengan perbaikan tata kelola yang telah diatur dalam UU 18/2017 dan PP 22/2022 tentang pengaturan perlindungan dan penempatan awak kapal perikanan dan niaga.
SBMI juga mengatakan, sejumlah faktor yang menyebabkan masyarakat bekerja sebagai migran bukan karena keterpaksaan melainkan disebabkan hilangnya sumber daya laut dan pertanian yang sebelumnya menjadi pencaharian mereka. Munculnya proyek-proyek ekstraktif yang dikomando pemerintah tidak menguntungkan mereka baik secara ekonomi, sosial, bahkan menimbulkan bencana iklim.
Di Balik Layar Bandung Play Fest
Perayaan lakon di Bandung Play Fest di IFI Bandung menampilkan teater tidak seperti biasanya. Para penonton seperti diajak ke dapur di balik pementasan, untuk melihat langsung bagaimana para pemain lakon berlatih dan membaca naskah.
Walaupun begitu, visualisasi dan artistik panggung tetap ditampilkan. Penonton bisa melihat keaadan masyarakat pesisir, desir ombak, lagu dangdut, dan kostum-kostum yang dipakai para aktor.
Indrasitas dari Studiklub Teater Bandung dan menjadi narator dalam pembacaan naskah lakon mengatakan, acara rayalakon atau dramatic reading sering kali dipertunjukkan bukan sebagai hasil melainkan sebagai proses kepada sebuah pertunjukan.
“Dramatic reading versi kami itu untuk keperluan pertunjukan bukan hasil akhir. Tetapi di sini (Bandung Play Fest) itu menjadi sastra drama ada visualnya juga,” tutur Indra, kepada BandungBergerak.
Indra menjelaskan pembacaan lakon biasanya dilakukan oleh aktor agar bisa menyentuh aspek emosional dan menafsirkan teks secara utuh. “Proses penciptaan karya yang kita temukan, pertunjukan terjadi sebagai representasi proses latihan,” sebutnya.
Aktor dan sutradara ini juga menyebutkan bahwa naskah lakon ‘Pulang ke Palung’ ini cukup berhasil karena bisa membawa permasalahan realitas yang ada di masyarakat. Menurutnya, teater memang bisa menjadi sarana komunikasi untuk menguatkan fakta-fakta di masyarakat
“Teater bisa menjadi satire terhadap kondisi tertentu yang tidak pernah selesai, kesan saya terhadap naskah ini bagus, karena betul-betul menyerap tema-tema yang ada di masyarakat. Menjadi solusi terhadap kegelisahan suatu masyarakat,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Festival Ib Utta menuturkan, dramatic reading dikenalkan ke masyarakat untuk membangun tradisi bagian dari pertunjukan teater. Mereka yang menulis lakon bisa menampilkan terlebih dahulu rayalakon sebelum ke panggung lakon.
“Dramatic reading atau naskah lakon menjadi pijakan para penulis lakon. membiasakan pembacaan lakon, untuk lempar ke publik, langkah pertama lebih berani, ke luar dari masing-masing zona ke lebih luas,” papar Utta.
Utta mengatakan, dari 50 naskah yang menggirim ke Bandung Play Fest yang lolos kurasi hanya 21 naskah. Sebanyak lima naskah dibacakan dan ditampilkan, sementara 15 naskah dipamerankan dalam Pasar Lakon.
Naskah paling banyak datang dari Jakarta, Sumatera, dan Bandung. Para penulis naskah merupakan penulis independen, kelompok teater, dan lain-lain.
“Sebelum masuk ke proses kurasi oleh kurator, kita juga ada teman baca di mana para pegiat teater baik aktor atau sutradara di bandung yang memiliki pandangan mentah, beragam proses pembacaan, dari situ nemu beberapa poin terus dibaca ulang oleh kurator,” jelas Utta.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Pertunjukan Teater