• Opini
  • Kembalikan Fungsi Aktor Sosial dalam Menangani Krisis Identitas dan Tekanan Sebaya!

Kembalikan Fungsi Aktor Sosial dalam Menangani Krisis Identitas dan Tekanan Sebaya!

Persoalan krisis identitas dan tekanan sebaya kian marak terjadi dan dialami generasi muda, terutama Milenial hingga Gen Alpha. Pemicu aksi kriminal pada remaja?

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Ilustrasi isu kekerasan di satuan pendidikan masih menjadi persoalan. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 Januari 2025


BandungBergerak.id – Tiada hari tanpa berseliweran berita kriminalitas yang melibatkan generasi muda. Dilansir dari Detik.com, Minggu, 8 September 2024, Polres Magelang Kota mengamankan 35 remaja beserta 9 senjata tajam (sajam) dan 15 sepeda motor, yang diduga hendak melakukan tawuran antarkelompok. Lalu, Selasa, 1 Oktober 2024, tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Jakarta Pusat mengamankan 31 pelajar bersama petasan dan air keras, yang (kembali) diduga hendak melakukan tawuran di wilayah Gunung Sahari Jakarta Pusat. Tidak berselang lama, 2 Oktober 2024, polisi mengamankan 15 remaja dan menetapkan 4 di antaranya sebagai Anak Berkonflik Hukum (ABH).

Awal September, Indonesia dikejutkan dengan kasus pembunuhan hingga pemerkosaan oleh empat orang remaja kepada siswi SMP penjual gorengan berinisial AA (13) di Palembang, sebagaimana diberitakan Detik.com (2024). Selang sebulan, JPNN.com (2024) mengabarkan terjadinya kasus penganiayaan hingga pembunuhan kepada seorang wanita oleh pemuda berusia 20 tahun akibat menolak berhubungan badan di Pantai Metmedon, Kampung Bagaiserwar II. Masalah ini kian menambah catatan kelam kriminalitas yang melibatkan generasi muda bangsa. Kasus-kasus ini hanya lah sebagian contoh yang berhasil terangkum dan termuat dalam tulisan ini.

Dalam laporan statistik kriminal yang dihimpun Badan Pusat Statistik (2023) hingga tahun 2022, diketahui terdapat 372.965 jumlah kejadian kejahatan atau setara dengan satu kasus setiap 1,24 menit dengan risiko kejahatan 137/100.000 penduduk. Bila dihubungkan dengan statistik kekerasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) (2022), terjadi 27.593 kasus dengan pelaku didominasi oleh orang berusia 25-44 (46%), 18-24 (17,6%), 45-59 (16,4%), dan 6-12 (13,7%) atau pelaku dengan status usia anak sebesar 16,6%. Korbannya sendiri didominasi oleh orang dengan rentang usia 13-17 (33,6%), 25-44 (23,2%), dan 6-12 (19,1%). Bentuk kekerasannya didominasi oleh kekerasan seksual sebanyak 11.682 kasus, diikuti fisik 9.541 kasus, dan psikis 9.018 kasus.

Kita bertanya-tanya, apa nilai yang hilang? Sehingga generasi muda Indonesia banyak terjerembap ke dunia hitam kriminalitas di usia belia. Ada dugaan kuat bahwa hal ini disebabkan adanya krisis identitas dan tekanan sosial yang mengakibatkan gagalnya internalisasi nilai dan pembentukan karakter generasi muda. Padahal, Indonesia kini sedang diberkati bonus demografi yang ditandai meningkatnya populasi produktif yang kebetulan didominasi generasi muda. Bila persoalan ini tidak segera ditindaklanjuti, maka potensi kemunduran bangsa tidak bisa dihindari, alih-alih membawa Indonesia kepada kemajuan, justru anak mudanya dilanda krisis identitas dan tertekan yang mengancam bangsa kepada era degradasi moral yang parah.

Baca Juga: Menjaga Etika Generasi Muda Menuju Indonesia Tidak Cemas 2045
Krisis dan Ketidakadilan Sosial
Dewan Menimbang-nimbang Anakku Sayang

Krisis Identitas Hingga Tekanan Sebaya

Ketika kita membicarakan krisis identitas dan tekanan sosial dalam mempengaruhi persepsi dan konstruksi kepribadian seseorang, maka penting memahami konsep identitas. Fearon (1999)  menjelaskan bahwa gagasan identitas diartikan sebagai konstruksi sosial dan begitu rumit. Identitas itu unik, yang terbentuk melalui konstruksi personal maupun sosial. Kita pun bisa melihat proses pencarian identitas, seperti diungkapkan Erikson (1968), pada usaha remaja dalam mendefinisikan ulang diri mereka dan membandingkannya dengan satu sama lain, sementara pencarian keselarasan dapat dikenali dalam pengujian kontinu terhadap kemungkinan terbaru dan nilai-nilai yang telah ada. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi diri terwujud sebagai konstruksi diri dari cara pandang dan pengamatannya terhadap diri dan nilai yang datang dari luar. Proses ini mendorong seseorang untuk personalisasi diri atau masuk ke dalam kelompok tertentu. Sehingga, eksistensinya dapat terwujud dan diakui (keberadaannya).

Sayang, pencarian identitas, terutama bagi remaja, menghadapi tantangan. Remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis ketika dalam proses pencarian identitas dirinya (Feist & Feist, 2014). Tantangan itu bisa datang dari dalam dirinya atau dari luar, yang berpotensi menciptakan kegamangan, kegalauan, yang mengakibatkan kebingungan dan berpotensi pada krisis identitas atau kebingungan peran (identity versus role confusion). Apalagi ketika ia tidak memiliki pendamping dalam prosesnya. Nadiah, Nadhirah, dan Fahriza (2021) menjelaskan bahwa munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasikan diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar. Masalahnya, belum matangnya berpikir dan kemampuan mempertimbangkan seorang remaja kerap mengabaikan rasionalitas akan dampak dan rasa moralitas, sehingga pengidentifikasian diri ke kelompok tertentu dilakukan serampangan demi hausnya atensi.

Adapun terkait tekanan sosial, khususnya teman sebaya, justru mendorong kacaunya proses pencarian identitas. Tekanan sosial, utamanya tekanan teman sebaya, merupakan suatu sikap atau persepsi sebagai pengalaman perasaan tertekan atau desakan dari teman sebaya untuk melakukan disposisi perilaku (Santrock, 2003). Selama periode perkembangan remaja, terdapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan norma teman sebaya (Arnett, 2000) yang disebut sebagai tekanan teman (Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000). Kendati Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menilai penting untuk menjadi anggota kelompok sebaya, sebagai proses perkembangan bagi remaja karena memfasilitasi remaja dalam eksplorasi diri. Mereka mesti tetap mendapatkan perhatian dan pengarahan. Sebab, jiwa muda yang sepi namun berapi-api, ditambah tekanan sebaya, mendorong anak muda untuk nekat.

Bila tidak terkontrol dan diarahkan dengan bijak, potensi remaja untuk menginternalisasi dan mengintegrasikan dirinya pada kelompok immoral, di tengah pembentukan identitasnya yang belum paripurna, kian besar. Padahal, kehadiran teman sebaya dalam situasi berisiko meningkatkan kecenderungan remaja dalam mengambil keputusan berisiko (Steinberg, 2008). Tekanan sebaya ini efektif dalam mendorong perilaku seorang remaja. Pandangan ini didukung penelitian, misalnya oleh Intannia, Dahlan, dan Damaianti (2020), yang menyebutkan bahwa tekanan teman sebaya meningkatkan perilaku berisiko dan lingkungan keluarga mengurangi perilaku berisiko pada remaja di Kota Bandung. Adapun Sullivan (2006), menyebut bahwa tekanan teman sebaya merupakan prediktor terkuat dalam perilaku penyimpangan remaja, sedangkan lingkungan keluarga memberikan efek perlindungan dari perilaku penyimpangan tersebut. Sekarang, kita paham alasan di balik banyak pelajar SMP-SMA yang tawuran, terlepas pilihannya antara dirundung, unjuk keberanian, pengakuan, demi nama baik kelompok atau sekolah, dll.

Dengan demikian, ada korelasi erat antara krisis identitas yang dialami pemuda dengan tekanan (sebaya) yang mendorong generasi muda untuk melakukan tindakan dan aksi yang cenderung berdampak buruk secara sosial sebagai ritual eksistensialisme demi identitas (semunya). Ketika identitas belum dibangun utuh dan sempurna, kurangnya pertimbangan rasional dan pengendalian diri serta tanggung jawab, diikuti tekanan sebaya, menjadikan para pemuda para begundal bagi tatanan masyarakat. Tidak heran, banyak kasus pelajar dari jenjang SD hingga perguruan tinggi yang terjerat tindak pidana, mulai dari kekerasan bahkan hingga pembunuhan. Maka dari itu, perlu adanya penanganan serius dari berbagai stakeholder, untuk menangani terulangnya kasus dan merusak mental generasi emas bangsa.

Penanganan Krisis Identitas dan Tekanan Sebaya

Masalah ini tidak bisa dibebankan kepada seseorang, bagaimana pun masalah sosial mesti dipandang fenomenologis, yaitu saling bertautan dan melibatkan banyak aktor sosial. Maka, penanganan krisis identitas mesti dimulai dari personal hingga ke lingkup yang lebih luas. Pertama, pengendalian diri dan pengembangan diri. Perilaku untuk mengembangkan diri ini berkaitan dengan eksplorasi dan keseriusan diri untuk mencari jati diri, membangun kepribadian atau karakternya. Hal ini diungkapkan juga oleh Marcia (1966) bahwa terkait proses identitas maka perlu diperhatikan eksistensi dari ada atau tidaknya eksplorasi dan komitmen yang diberikan. Semua ini berkaitan dengan proses pengembangan diri.

Dalam sebuah penelitian, Anggraeni (2019) menemukan bahwa subjek dalam status identity achievement mampu menunjukkan minat eksplorasi yang tinggi sehingga membuatnya berada pada tahap eksplorasi (in crisis) dan memberikan komitmen terhadap hasil dari eksplorasi yang ia lakukan. Pengalaman pencarian identitas yang dilakukan dengan komitmen dan tekad akan memberikan hasil optimal. Berikan ruang dan kesempatan yang positif progresif bagi pencarian identitas pemuda. Namun, berkaca pada persoalan era informasi post-truth ini, kekhawatiran semakin berkembang ketika para pemuda justru menumbuhkan identitas semu (alter) sebagaimana citranya di media sosial berbasis digital.

Kedua, bijak dalam memanfaatkan teknologi digital, terutama internet dan media sosial. Perkembangan teknologi informasi ini kerap dikaitkan dengan krisis identitas, terutama media sosial, bahkan mendorong para pemuda melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum, seperti pornografi, kekerasan, perundungan, dan lainnya. Valkenburg (2022) melihat adanya dampak penggunaan media sosial terhadap kesejahteraan (misalnya, kebahagiaan) dan penyakit (misalnya, depresi) selama beberapa tahun terakhir. Adapun, secara khusus korelasi media sosial dengan dampak psikologis, seperti yang dikemukakan oleh Pantic, dkk., (2012), Wegmann, dkk., (2015), dan Andreassen, dkk., (2016) menunjukkan korelasi positif antara gejala depresi dan penggunaan media sosial, sementara Malik dan Khan (2015) menemukan hubungan negatif antara harga diri (self-esteem) dan tingkat penggunaan media sosial yang tinggi. Rehbein, dkk., (2013) menemukan bahwa banyaknya kalangan remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet, bagi anak perempuan media sosial memberikan kontribusi paling besar terhadap kecanduan mereka, sementara anak laki-laki menyebutkan pornografi daring sebagai sumber utama masalah mereka. Bila hal ini diabaikan, tidak hanya mentalitas pemuda yang hancur, tetapi juga ketahanan keluarga.

Maka dari itu, menjadi bijak dalam bermedia sosial adalah keharusan. Bukan berarti menolak modernitas. Namun, kebijaksanaan diri perlu pengetahuan dan kepekaan. Maka literasi menjadi penting, sekaligus menjadi pengalih perhatian yang positif. Terlebih, masifnya informasi di internet yang tidak terkontrol pemangku kebijakan, seperti judi daring dan pornografi, berisiko menjadi konsumsinya.

Ketiga, peran keluarga yang baik dan mendukung. Banyak riset yang menunjukan bahwa fungsi keluarga berkaitan erat dengan kesuksesan seseorang dalam membangun kehidupan pribadi dan sosialnya, terlebih bila orang tersebut terlahir dari keluarga yang tidak hanya teredukasi dengan baik juga memiliki privilese yang mumpuni. Purwanti (2013) menjelaskan bahwa orang tua adalah tokoh yang berpengaruh dalam proses pencarian identitas pada remaja. Lebih lanjut, keluarga, yang diwakili orang tua (misalnya), dalam gaya pengasuhannya berperan besar dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Misalnya, keluarga yang mendidik anaknya untuk bersikap demokratis dalam pengambilan keputusan akan punya kecenderungan untuk menumbuhkan sikap yang demokratis pula. Hal ini juga secara tidak langsung akan membentuk identity achievement yang bisa menjadi wujud dari karakternya di masa yang akan datang. Maka dari itu, fungsi keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak harus dikembalikan. Selain itu, dalam sudut pandang ketahanan negara, ketahanan keluarga adalah fondasi utama. Keluarga berkualitas maka negara kuat. Dengan demikian, keluarga, utamanya orang tua, mesti tetap tidak boleh meninggalkan anaknya, apalagi hanya dengan telepon genggam, hingga secara kontinu memberikan edukasi dan perhatian. Sehingga, para pemuda tidak mencari pelampiasan di luar akibat kejenuhan dan rusaknya keluarga.

Keempat, ekosistem lingkungan yang sehat. Artinya, seluruh unsur yang menandaskan lingkungan sebagai ruang tumbuh kembang seseorang harus mendukung pada pertumbuhan positif. Sebab, lingkungan yang baik akan secara efektif mendorong seseorang untuk membentuk kepribadian yang baik, sebagaimana pola tatanan masyarakat yang berperadaban. Semua komponen yang ada di dalam lingkup ini harus mendorong upaya pencarian identitas yang bermakna dan beperadaban, terlebih bagi lingkungan pertemanan. Sebab, masa-masa remaja lebih banyak mendapatkan atau menghabiskan waktu dengan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya/kelompok bermain (Muslim, dkk., 2021). Lingkungan yang baik membantu konstruksi identitas diri yang baik.

Kelima, penguatan peran institusi pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa institusi pendidikan berperan besar dalam membentuk karakter seseorang. Hampir seperempat hidup seseorang dihabiskan waktunya untuk mengenyam pendidikan (formal). Hal ini menjadi kesempatan tersendiri dalam membangun karakter seseorang. Pendidikan dijadikan sebagai penuntun bagi anak dalam tumbuh kembangnya, sehingga kodrat manusia baik secara lahiriah maupun batiniah harus terpenuhi agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun bagian dari masyarakat (Rafael, 2022). Terlebih bila institusi pendidikan yang dimaksud memiliki segala instrumen yang diperlukan dalam membangun karakter seorang pelajar, tentu ini akan meningkatkan persentase pembentuk kepribadian seseorang. Maka, salah satu catatan penting bagi dunia pendidikan Indonesia adalah pemerataan kualitas pendidikan, meliputi SDM maupun penunjangnya. Dengan demikian, diharapkan sekolah dapat menghasilkan pelajar unggulan yang tidak hanya berkualitas secara kognitif, tetapi juga secara afektif.

Keenam, peran pemerintah dalam membangun peradaban bangsa. Mau tidak mau, krisis identitas dan tekanan sebaya sudah menjadi isu nasional. Peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharapkan dapat membantu mengatasi krisis identitas dan tekanan sosial yang kian masif. Pemerintah perlu mengembangkan strategi efektif dalam meminimalisir gejala-gejala psikis, kendati faktor yang terlibat didalamnya begitu kompleks. Artinya, membangun peradaban yang humanis, memungkinkan seseorang untuk hidup dan berkembang, adalah misi pemerintah. Entah menyediakan layanan konseling yang bisa dijangkau publik, gerakan konseling masuk rumah tangga, dan lainnya bisa dipertimbangkan.

Secara keseluruhan, persoalan krisis identitas dan tekanan sebaya ini, memang tampak sebagai persoalan individu. Namun, secara fenomenologis, masalah ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai komponen yang saling mendukung, yaitu person, keluarga, lingkungan, dan institusional. Agar dapat menyelesaikan persoalan krisis identitas dan tekanan sebaya yang kini kian marak terjadi dan dialami generasi muda, terutama Milenial hingga Gen Alpha, maka semua komponen harus bergerak bersama menangani persoalan tersebut. Dengan begitu, proses pencarian identitas para generasi muda tidak terhambat, mendapatkan dukungan, sehingga dengan komitmen penuh, diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni dan menciptakan generasi emas 2045, sesuai cita-cita bangsa di seratus tahun kemerdekaannya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Sidik Permana, atau tulisan-tulisan lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//