Menyelami Pemikiran Teologi Pembebasan Hassan Hanafi Terkait Penindasan Perempuan
Hassan Hanafi menentang penindasan perempuan dengan mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsip teologis dan kesetaraan manusia.
Irfan Limbong
Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.
20 Januari 2025
BandungBergerak.id – Manusia sering menghadapi dilema tentang kebebasan dalam hidupnya. Secara umum, setiap orang ingin memiliki kebebasan untuk membuat keputusan dan bertindak tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Namun, pada saat yang sama, manusia juga menyadari bahwa ada banyak aspek dalam hidup yang tidak bisa mereka ubah atau tolak, seperti asal keturunan, ras, jenis kelamin, dan faktor-faktor lainnya yang sudah ada sejak lahir. Aspek-aspek ini sering kali dianggap sebagai nasib yang telah ditentukan.
Sering kali, manusia menjadi objek penindasan berdasarkan faktor-faktor seperti keturunan, ras, warna kulit, atau jenis kelamin mereka. Namun, sebagai makhluk yang memiliki akal dan hasrat untuk bebas, manusia dapat berupaya mengubah situasi yang dianggap tidak adil tersebut. Misalnya, dalam buku "Women, Race, and Class" oleh Angela Davis, dibahas tentang penindasan yang dialami oleh budak laki-laki dan perempuan berkulit hitam. Davis menguraikan bagaimana perbudakan memandang orang kulit hitam sebagai barang, bukan sebagai manusia yang utuh, dan bagaimana perempuan dianggap setara dengan laki-laki dalam hal status sebagai objek kerja tanpa mempertimbangkan gender mereka.
Pada abad ke-19, baik perempuan maupun laki-laki budak bekerja di ladang, perkebunan, dan rumah-rumah besar dengan jadwal kerja yang panjang dari pagi hingga malam. Mereka sering kali menghadapi hukuman fisik yang keras jika melakukan kesalahan kecil. Meskipun penindasan ini dirasakan oleh laki-laki dan perempuan, budak perempuan sering mengalami bentuk penindasan tambahan seperti pelecehan seksual dan kekerasan yang lebih spesifik terhadap mereka.
Fenomena penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam, khususnya dalam konteks perbudakan, menunjukkan perlakuan yang berbeda dan tidak adil terhadap mereka. Para tuan pemilik budak sering kali memperlakukan perempuan sebagai tidak memiliki jenis kelamin atau status gender, terutama ketika mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Namun, ketika mereka melakukan kesalahan, mereka menghadapi hukuman yang keras, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan yang hanya ditujukan kepada perempuan. Ketidakadilan ini memotivasi Angela Davis untuk memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Perjuangan Angela Davis dalam membela kebebasan dan kesetaraan ini sejalan dengan pemikiran Hassan Hanafi, seorang filsuf Muslim yang juga memperjuangkan pembebasan kaum tertindas. Hanafi menggunakan ajaran Islam sebagai dasar untuk membebaskan orang dari penindasan. Salah satu ajaran Islam yang ditekankan adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, di mana yang paling bertakwalah yang memiliki derajat lebih tinggi di sisi Allah. Dalam pandangan ini, tidak ada superioritas antara manusia berdasarkan agama, ras, asal keturunan, kekayaan, kekuasaan, atau jenis kelamin.
Hassan Hanafi memperkenalkan teologi Islam sebagai teologi pembebasan, yang menekankan pada perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Ia mengembangkan teologi "membumi" yang lebih fokus pada masalah kemanusiaan dan sosial, serta berusaha menjadikan ajaran Tauhid sebagai dasar untuk perjuangan sosial dan keadilan. Hanafi ingin mengubah cara pandang umat Muslim terhadap ajaran Islam, menjadikannya lebih responsif terhadap realitas kehidupan sosial dan perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan.
Baca Juga: Menyelami Konsep Teologi Revolusioner Hassan Hanafi
Integrasi Pesantren dan Sekolah Umum dalam Pandangan Abdurrahman Wahid
Menyelami Pesantren Melalui Kacamata Nurcholish Madjid, Kritik terhadap Pendidikan Tradisional
Dasar Teologis Pemikiran Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo pada 13 Februari 1935 dan berasal dari keluarga keturunan Bani Suwayf di Mesir. Sejak muda, Hanafi sudah mempelajari ilmu agama Islam dan aktif terlibat dalam diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin saat masih duduk di madrasah tsanawiyah Khalil Agha. Lingkungan sosial dan realitas kehidupan di bawah penjajahan dan dominasi bangsa asing yang dihadapinya sejak dini menumbuhkan kesadaran nasionalismenya. Pada usia 13 tahun, sekitar tahun 1948, dengan semangat nasionalisme yang kuat, ia berusaha bergabung dalam perjuangan melawan Israel, namun ditolak karena dianggap terlalu muda. Kemudian, saat berada di jenjang setara SMA sekitar tahun 1951, Hanafi menyaksikan kekejaman tentara Inggris yang membantai para Syuhada di Terusan Suez.
Hassan Hanafi meraih gelar Doktor di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, pada tahun 1966 dengan disertasi berjudul “Essai Sur la Methode d’exegese” (Essai tentang Metode Penafsiran), yang terdiri dari 900 halaman dan diakui sebagai karya terbaik di Mesir pada tahun 1961. Hanafi juga pernah menjadi guru besar tamu di beberapa negara, termasuk Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985). Selain itu, ia melakukan kunjungan ke Swedia, Spanyol, Belanda, India, Sudan, dan Indonesia antara tahun 1980-1987. Selama kunjungannya, Hanafi berdiskusi dengan berbagai tokoh terkemuka mengenai masalah yang dihadapi umat Islam dan umat manusia secara umum, dengan mempertimbangkan realitas pada masa itu.
Selama kunjungannya, Hassan Hanafi mengamati penderitaan kaum lemah di berbagai belahan dunia dan menyaksikan perkembangan Gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Serikat dan Latin. Pengalaman ini membuka pemikirannya bahwa Islam perlu dikembalikan kepada hakikatnya sebagai agama pembebasan yang responsif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Hanafi melihat bahwa teologi Islam memiliki potensi untuk menjadi kerangka ilmu yang membela kaum lemah, membangkitkan semangat umat Islam, dan menjadi kekuatan untuk memperjuangkan kebebasan serta hak hidup manusia yang diberikan Tuhan. Dengan demikian, teologi Islam dapat memberikan perspektif baru dalam menghadapi persoalan sosial, politik, dan ekonomi.
A. Tauhid
Pemikiran Hassan Hanafi dapat dipahami melalui ajaran Tauhid, yang merupakan inti dari Islam. Tauhid dianggap sebagai sumber pengetahuan dan memiliki peran penting dalam membentuk pandangan dunia umat Islam. Dalam konteks ini, Tauhid bukan hanya sekadar pengakuan akan Tuhan yang Esa dengan lisan, pikiran, dan hati, tetapi juga harus diimplementasikan dalam tindakan nyata. Tauhid mencakup perjuangan untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan, penindasan, dan eksploitasi. Dengan demikian, iman kepada Tuhan yang Esa harus terwujud dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, politik, ekonomi, agama, dan kebudayaan.
Islam lebih dari sekadar agama formal; ia membawa ajaran yang mendorong transformasi sosial. Contohnya, ajaran Islam menekankan pentingnya memberikan zakat kepada fakir miskin sebagai bentuk penyaluran sebagian harta kekayaan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memprioritaskan aspek sosial dalam kehidupan umatnya. Aspek sosial dalam Islam dapat diintegrasikan dalam jaringan relasional yang mencakup dimensi spiritual dan materi, keagamaan dan keduniawian, serta sosial dan individual. Jaringan relasional ini tercermin dalam lima rukun Islam –syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji– yang diatur dalam syariat Islam.
Pertama, syahadat merupakan pernyataan seorang Muslim bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah." Syahadat adalah kewajiban utama dalam Islam. Pernyataan pertama dalam syahadat menghapuskan politeisme dan menegaskan keesaan Tuhan, sedangkan pernyataan kedua mengonfirmasi bahwa wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad adalah abadi dan universal. Hal ini membentuk jaringan relasional Islam yang mendasari empat pilar berikutnya.
Kedua, salat adalah bentuk dialog spiritual langsung antara seorang Muslim dengan Tuhan. Meskipun tampaknya hanya aspek spiritual, salat juga melibatkan latihan fisik dan mengajarkan ketepatan waktu serta solidaritas. Shalat memfasilitasi persatuan simbolik di antara umat Muslim melalui tindakan yang teratur dan seragam.
Ketiga, puasa adalah metode untuk melatih solidaritas sosial dengan merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan. Selama bulan Ramadan, seluruh umat Muslim berpuasa secara bersamaan, yang menyatukan mereka dalam pengalaman spiritual dan sosial.
Keempat, zakat adalah kewajiban untuk menyalurkan sebagian harta kepada yang membutuhkan, termasuk fakir miskin, orang baru masuk Islam, pejuang di jalan Allah, dan musafir yang kehabisan bekal. Zakat menekankan aspek sosial sekaligus spiritual, membersihkan hati dari sifat kikir dan tamak, seperti diungkapkan dalam Al-Qur’an.
Kelima, haji adalah kewajiban bagi Muslim yang mampu untuk melakukan perjalanan ke Mekkah. Haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dan merupakan bentuk tanggung jawab individu dan sosial, dengan ibadah ini dianggap sebagai konferensi tahunan untuk merefleksikan masalah penting.
Islam, dengan integrasi aspek spiritual, moral, dan sosial, dapat dipahami lebih dalam dengan memperhatikan konteks sejarahnya. Islam adalah ideologi emansipasi dan pembebasan yang menekankan tanggung jawab sosial dan perjuangan untuk kebebasan, keadilan, dan kebaikan umat manusia. Ali Syari'ati menyatakan bahwa Islam adalah agama yang realistis, mencintai keindahan, kemakmuran, kesehatan, dan kemajuan, serta mendorong kesadaran sosial dan politik dengan semangat keimanan, harapan, dan keberanian.
B. Kesederajatan Manusia Menurut Hassan Hanafi
Saat ini, dunia mengalami berbagai krisis, di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok: kelompok penindas dan kelompok yang tertindas. Biasanya, kelompok penindas merupakan golongan minoritas, sementara kelompok tertindas adalah golongan mayoritas. Kedua kelompok ini sering kali mengalami tindakan "dehumanisasi," yaitu perilaku merendahkan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Para penguasa dan para pengikut mereka sering kali memuji dan menyanjung penguasa untuk melindungi diri mereka dari masalah, menghindari konfrontasi, dan menyelamatkan diri sendiri.
Peran teologi di sini adalah untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perilaku dehumanisasi yang menimpa umat manusia. Upaya pembebasan terhadap masalah-masalah kehidupan manusia sudah ada sejak Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyampaikan ajaran tauhid kepada masyarakat Arab pada waktu itu. Krisis moral yang melanda saat itu mendorong Nabi untuk membebaskan masyarakat melalui ajaran moral etika Islam, yang terdiri dari tiga aspek utama: pertama, pengakuan terhadap persamaan derajat manusia; kedua, penegakan keadilan dalam masyarakat; ketiga, kemerdekaan individu. Aspek kemerdekaan ini, menurut Hassan Hanafi, adalah inti dari teologi pembebasan.
Ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad memberikan dampak besar terhadap masyarakat Arab, mengubah pandangan hidup mereka dari penyembahan berhala menjadi kepercayaan kepada Tuhan yang Esa. Pandangan-pandangan tersebut memicu kemajuan dalam aspek sosial, politik, dan ekonomi, serta mewujudkan keadilan dan kebersamaan yang humanis dalam kehidupan masyarakat. Kehadiran Islam membawa perubahan signifikan bagi masyarakat yang tertindas pada masa itu.
C. Penolakan Hassan Hanafi Terhadap Penindasan Perempuan
Pandangan dunia Tauhid dalam kehidupan sosial seorang Muslim menekankan bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa dan menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan keturunan, ras, kelas sosial, warna kulit, jenis kelamin, kekuasaan, atau kekayaan. Dalam ajaran Islam, semua manusia dianggap setara tanpa memandang perbedaan-perbedaan tersebut. Islam pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan universalitas serta pentingnya kesatuan umat manusia.
Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Wahai manusia! Sungguh, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada manusia yang lebih superior dari yang lainnya dalam hal agama, gender, ras, keturunan, kekayaan, atau kekuasaan. Kesalehan yang diajarkan Islam meliputi aspek spiritual dan sosial, seperti perintah untuk berbuat adil, sebagaimana dalam firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Adanya pemahaman baru dalam teologi Islam oleh Hassan Hanafi menunjukkan bahwa, pertama, Islam adalah ajaran universal yang bertujuan sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya untuk umat Muslim. Ini berarti bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh manusia tanpa memandang agama, ras, atau keturunan. Islam juga mengajarkan keseimbangan antara aspek spiritual dan duniawi, serta ritual dan sosial sesuai dengan pandangan Al-Qur’an. Kedua, Islam dianggap sebagai ajaran terakhir yang mencakup semua prinsip agama dan moral untuk seluruh umat manusia, dengan Rasul sebagai pembawa wahyu terakhir. Ajaran Tauhid berusaha mengamalkan prinsip-prinsip Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi kehidupan.
Pemahaman teologi yang dibawa oleh Hassan Hanafi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kemajuan dan perubahan transformatif yang bermanfaat untuk membebaskan umat manusia. Tujuan teologi pembebasan Hanafi adalah untuk mencapai keadilan, kebebasan, kemerdekaan, kemajuan, dan persamaan sosial, serta memobilisasi massa untuk gerakan perubahan. Teologi tidak hanya ditujukan untuk memahami kebenaran akidah tetapi juga untuk mendorong perlawanan terhadap penindasan dan berjuang untuk kesejahteraan masyarakat.
Menilik Analisis Pemikiran Hassan Hanafi
Angela Davis adalah seorang aktivis politik dan pemikir feminis asal Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1944 di Birmingham, Alabama. Davis dibesarkan dalam kondisi yang penuh tekanan, di mana komunitas kulit hitam sering mengalami kekerasan dari kelompok kulit putih, yang didukung oleh kepala polisi Eugene “Bull” Connor. Lingkungan tersebut, yang dipenuhi dengan ketidakadilan, membentuk pandangannya terhadap kebebasan dan kesetaraan.
Pada tahun 1959, Davis mulai belajar di Elisabeth Irwin High School di New York City, sebuah sekolah dengan filosofi kiri yang membentuk pandangannya tentang kebebasan. Kemudian, pada tahun 1961, ia melanjutkan studinya di Brandeis University dan menghabiskan waktu di Paris, di mana ia terpengaruh oleh perjuangan Aljazair untuk kemerdekaan dan masalah rasisme terhadap orang Afrika Utara di Prancis. Kejadian tragis seperti pengeboman di Gereja Baptis 16th Street di Birmingham dan pembunuhan teman-temannya seperti Denise McNair, Carole Robertson, Addie Mae Collins, dan Cynthia Wesley pada September 1963 semakin menguatkan tekadnya untuk berjuang demi kebebasan dan melawan penindasan.
Sebagai seorang penulis, Davis terkenal dengan karyanya yang mengeksplorasi perjuangan melawan penindasan, terutama terhadap perempuan. Dalam bukunya yang berjudul “Women, Race, and Class,” ia membahas berbagai bentuk penindasan yang dialami perempuan kulit hitam selama masa perbudakan. Dalam bab pertama, “The Legacy of Slavery: Standards for a New Womanhood” (Warisan Perbudakan: Standar untuk Wanita Baru), Davis menguraikan bagaimana sistem perbudakan menganggap perempuan kulit hitam bukan sebagai manusia penuh, melainkan sebagai barang dan bagian dari kelompok pekerja yang hanya bernilai sebagai aset bagi pemilik budak. Perempuan kulit hitam pada masa itu dianggap setara dengan laki-laki dalam konteks penindasan, dan mereka tidak memiliki identitas gender yang diakui oleh para pemilik budak.
Perempuan kulit hitam sering kali menghadapi kondisi kerja yang lebih berat dibandingkan perempuan kulit putih. Mereka biasanya bekerja di luar rumah dalam tugas-tugas berat, seperti di ladang kapas, perkebunan tembakau, dan pertanian, serta mengalami jam kerja yang panjang dari pagi hingga malam. Mereka bekerja di bawah ancaman hukuman fisik, termasuk cambuk, yang diterapkan kepada semua budak, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun penindasan ini merata, perempuan sering kali mengalami perlakuan yang lebih buruk, termasuk pelecehan seksual dan kekejaman lainnya yang ditujukan khusus kepada mereka.
Saat budak perempuan dianggap memberikan keuntungan dalam pekerjaan, mereka dieksploitasi seolah-olah mereka laki-laki dan dianggap tidak memiliki jenis kelamin. Namun, ketika mereka melakukan kesalahan, mereka menghadapi hukuman berat dan ancaman, serta sering kali menjadi korban pelecehan seksual oleh pemilik budak. Meski demikian, mereka tetap terperangkap dalam peran tradisional perempuan.
Dengan penghapusan perdagangan budak internasional yang mulai mempengaruhi industri kapas, pemilik budak mulai mengandalkan reproduksi alami untuk meningkatkan populasi budak. Budak perempuan kulit hitam dianggap berharga karena potensi kesuburan mereka untuk melahirkan anak. Namun, mereka tidak dipandang sebagai ibu dalam arti yang manusiawi. Sebaliknya, mereka diperlakukan seperti "peternak" hewan, di mana anak-anak mereka dapat dijual tanpa batasan usia, mirip dengan menjual anak sapi.
Budak perempuan yang juga menjadi ibu tetap terpaksa bekerja di ladang, sering kali sambil membawa bayi mereka. Mereka mencari cara untuk melawan penindasan, salah satunya dengan belajar dan mengajar membaca serta menulis secara diam-diam. Contohnya adalah seorang wanita budak di Natchez, Louisiana, yang mengadakan kelas malam untuk mengajarkan keterampilan ini sebagai bentuk upaya menuju kebebasan.
Penindasan dan perbudakan ini adalah hasil dari faktor ekonomi awal pembentukan Amerika Serikat, di mana etnis Afrika diculik dan dibawa ke benua baru untuk dijadikan budak. Perbudakan ini melembagakan rasisme sistemik, di mana ras kulit hitam diperlakukan sebagai "ras budak" dan ditempatkan pada posisi yang sangat terpinggirkan dan terabaikan, lebih buruk daripada laki-laki kulit hitam, bukan karena kelemahan individu mereka, tetapi karena ras dan jenis kelamin mereka.
Rasisme dalam konteks perbudakan memberikan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan kulit hitam. Laki-laki kulit hitam umumnya dieksploitasi sebagai pekerja, sedangkan perempuan kulit hitam mengalami eksploitasi ganda sebagai pekerja, penyedia layanan seksual, dan penghasil anak (Lerner, 1993:241). Perempuan kulit hitam sering kali dianggap tidak memiliki gender dan diperlakukan sebagai mesin produksi anak, yang menyebabkan mereka menghadapi penderitaan yang lebih mendalam, termasuk pelecehan seksual dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Penindasan ini bukan hanya menekan mereka secara individu tetapi juga menuntut mereka untuk berjuang dengan keras demi bertahan hidup dan melawan penindasan.
Pelecehan seksual dan kekerasan digunakan oleh para pemilik budak untuk mengintimidasi dan menundukkan perempuan kulit hitam, tetapi ini juga memperkuat tekad mereka untuk melawan dan menuntut kesetaraan. Pengalaman ekstrem ini membentuk karakter perempuan kulit hitam yang dikenal dengan sikap kerja keras, kemandirian, dan kegigihan. Mereka mewariskan sikap perjuangan ini kepada generasi berikutnya, menunjukkan ketahanan dan keberanian dalam menghadapi penindasan yang berkepanjangan.
Kesimpulan
Teologi pembebasan yang dikembangkan oleh Hassan Hanafi menawarkan pendekatan baru dengan memanfaatkan ajaran Islam dan Tauhid untuk mengatasi masalah penindasan, kekerasan, dan eksploitasi dalam masyarakat. Konsep Tauhid dalam Islam mengajarkan kesetaraan manusia tanpa memandang latar belakang apa pun, sehingga menolak diskriminasi berdasarkan keturunan, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, kekuasaan, atau kekayaan. Dalam konteks ini, fenomena penindasan terhadap perempuan kulit hitam yang digambarkan dalam buku Women, Race, and Class oleh Angela Davis—yang mencakup diskriminasi rasial, gender, dan kekuasaan—dapat diatasi melalui solidaritas, perjuangan, dan perlawanan untuk mencapai kebebasan dan keadilan sosial. Teologi pembebasan Hanafi mencerminkan nilai-nilai humanis dan berlandaskan pada ajaran Islam yang mengutamakan rahmat dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Hassan Hanafi menentang penindasan perempuan dengan mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsip teologis dan kesetaraan manusia. Pemikiran Hanafi berupaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi. Artikel ini fokus pada penerapan teologi pembebasan Hanafi dalam konteks penolakan terhadap penindasan perempuan, dan diharapkan penelitian lebih lanjut dapat memperjelas dan mendalami lebih jauh kontribusi pemikiran Hassan Hanafi dalam isu ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemikiran Islam