• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #18: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (16)

MULUNG TANJUNG #18: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (16)

Dunia anak-anak Ciguriang tahun 1980-an amat dekat dengan alam. Kini, semuanya berubah. Sebagian besar tempat bermain lenyap.er

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Mencuci pakaian di masa lalu dikerjakan dengan cara tradisional. (Foto: Koleksi Gnabmab Aznom)

20 Januari 2025


BandungBergerak.idTempat bermain di tahun 1980 yang paling saya ingat adalah lahan luas di sekitar rumah kami. Tegalan di sebelah selatan yang kami sebut kebon, adalah salah satu tempat kami bermain. Karena banyak rerumputan dan semak-semak, tegalan itu juga sering digunakan sebagai tempat ngalantang (mengelantang), yaitu menjemur kain dan sebagainya di bawah terik matahari saat cucian atau kain itu baru disabun atau direndam air sabun, tanpa dibilas terlebih dahulu.

Tujuan mengelantang ialah agar kain yang kita cuci itu lebih bersih dan noda kotorannya lebih mudah dibersihkan, atau jika yang dikelantang itu bahan berwarna putih, tujuannya adalah supaya baha putih itu bisa lebih bersih. Biasanya Abah dan Ma Abah suka mengelantang seprai-seprai dengan menggelarnya di atas rumput. Sesekali Ma Abah memerciki seprai yang sedang dikelantang itu dengen air bersih.

Di tegalan itu saya suka memetik bunga-bunga liar, dijadikan media bermain anjang-anjangan. Di antara bunga-bunga yang sering kami pakai bermain adalah bunga babadotan (Ageratum conycoides), kembang cerelet yang akhir-akhir ini baru saya tahu nama lainnya yaitu tulip afrika (Spathodea campanulate), yang tumbuh dekat tempat para dobi mencuci pakaian di mata air Ciguriang, bayam duri (Amaranthus spinosus), sadagori (sida rhombifolia), kembang beureum atau kembang miminyakan (Malvaviscus drumondii), dan banyak lagi tanaman liar lainnya yang masuk ke ”dapur” kami.

Banyak permainan anjang-anjangan yang kami mainkan, mulai membuka “warung” dengan uang belanja dari bungkus permen, membuat lotek dengan bumbu dari bubuk bata dan tanah yang diulek dan diberi air, kue kering tanah yang dioven dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Permainan yang menyenangkan, benar-benar melibatkan semua elemen alam yang ada di sekitar kami.

Di waktu lain kami bermain di tempat mencuci dekat mata air, tentu saja bersama Abah yang akan membilas cucian. Saat Abah menyelesaikan pekerjaannya, kami bermain air sampai basah kuyup dan menangkap ikan-ikan kecil (impun), yang banyak hidup di aliran air di tempat mencuci itu. Walaupun, seperti yang pernah saya ceritakan, tak jarang kami malah menangkap berudu. Ikan-ikan kecil itu kami tampung di dalam plastik bening atau botol kaca bekas selai atau kaleng bekas susu kental.  

Tempat bermain favorit kami lainnya adalah kandang domba. Kami, cucu-cucu abah senang bermain petak umpet, salah satu tempat bersembunyi kami adalah di kandang domba, bahkan jika ada kendang domba yang kosong, kami bermain anjang-anjangan di dalamnya. Waktu itu kami tidak peduli bau domba dan nyamuk yang berebut menggigit kulit kami, yang ada di benak kami hanyalah keasyikan bermain tanpa harus berpanas-panas dan berlari-larian.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #15: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (13)
MULUNG TANJUNG #16: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (14)
MULUNG TANJUNG #17: Ciguriang, Kampung Dobi Dalam Ingatan (15)

Spot nyaman lain adalah pohon jambu batu. Sampai saya duduk di bangku SMP, dahan pohon jambu adalah tempat paling menyenangkan untuk menghafal atau membaca berbagai buku, salah satunya  Lima Sekawan, kesukaan saya. Atau bernyanyi dengan berteriak-teriak, tanpa khawatir ada yang merasa terganggu dengan suara cempreng saya.  

Dan Sebagian besar anak laki-laki suka bermain bola di lapangan bekas pabrik kapas yang berada di sebelah utara mata air. Ada dua lapangan, lapangan voli dan lapangan bola anak-anak. Kedua lapangan ini selalu ramai di setiap sore di akhir pekan antara bulan Juli dan Agustus. Warga banyak berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli dan sepak bola antar RT dalam rangka menyambut hari kemerdekaan. Dan kegiatan ini pun sering menjadi ajang silaturahmi warga yang jarang bertemu karena terkendala kesibukan masing-masing. 

GOR Pajajaran juga menjadi tempat bermain anak-anak dari Ciguriang dan sekitarnya. Ada satu celah yang bisa kami terobos dari arah lapangan pabrik kapas menuju GOR Pajajaran. Anak-anak laki-laki biasanya bermain layangan atau bermain seluncuran di tribun GOR. Jika anak laki-laki bermain seluncuran di bagian sisi tribun yang tinggi, anak-anak perempuan cukup berseluncur di tribun bagian atas. Tempat yang digunakan seluncuran itu adalah sebidang tembok miring seiring posisi tangga atau tempat duduk dengan lebar sekitar 50 cm yang terdapat di tribun di sebelah barat lintasan atletik. Bermain seluncuran ini kami menyebutnya sosorodotan.   

Sesekali kami bermain ke Jalan Haji Iskat dan Jalan Haji Mesri, sekadar berjalan-jalan atau memetik aneka bunga yang tumbuh di pinggir jalan. Dan bermain ke GOR Pajajaran atau ke jalan Haji Mesri dan jalan Haji Iskat sudah termasuk ke dalam kategori jarambah bagi para orang tua kami. Satu tempat yang termasuk kategori tempat main jarambah adalah Gugunungan dan Rumah Buta. Gugunungan adalah satu reservoir air peninggalan Belanda yang berlokasi di gang Kina, letaknya berada di pinggir GOR Pajajaran, menjadi salah satu tempat strategis untuk menonton ke dalam area GOR saat di GOR ada raramean atau acara-acara besar. Sedangkan Rumah Buta adalah Wyata Guna, Yayasan Pendidikan untuk tunanetra yang pembangunannya diprakarsai oleh seorang dokter mata berkebangsaan Belanda, dr CHA Westhoff, yang berlokasi di jalan Pajajaran tepat di seberang GOR Pajajaran.   

Sepertinya akan banyak kenangan yang muncul pada anak-anak Ciguriang, Kebonkawung, dan sekitarnya, yang tumbuh di tahun 70, 80, dan 90-an tentang tempat-tempat bermain mereka. Dan sebagian yang disebutkan di sini sudah ada yang lenyap, berganti bangunan-bangunan rumah tinggal atau fasilitas umum. Tapi walaupun tempat-tempat sudah banyak berubah, kenangan masa kecil di sana tak akan bisa diubah. Akan tetap sama.  

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//