CERITA GURU: Gemar Belajar, Apakah selalu Berteman dengan Buku dan Pensil?
Belajar bukan saja aktivitas fisik, tetapi juga aktivitas dari pikiran dan kognitif. Apabila yang dipelajari hal lain, tentu aktivitasnya menjadi berbeda lagi.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
22 Januari 2025
BandungBergerak.id – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, menteri yang baru dilantik, meluncurkan program tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat, salah satunya gemar belajar, saya teringat teman-teman yang memiliki kegemaran belajar. Tidak ada hubungannya dengan program kebiasaan anak Indonesia hebat, tapi menjadi membuka perspektif dari anak yang telah tumbuh menjadi dewasa tentang bagaimana proses belajar.
Sampai saat ini, bayangan gemar belajar yang berada dalam benak orang tua –setidaknya daerah sekitar saya, setelah muncul sosialisasi program itu adalah anak belajar dengan buku, duduk di meja belajar, dan memegang alat tulis. Tidak ada yang salah dalam pemaknaan belajar yang demikian, tapi apakah belajar memiliki pemaknaan sesempit itu?
Dalam sejarah Islam, mengenalkan nama-nama adalah hal yang pertama kali diajarkan oleh Allah kepada Adam. Hal ini bisa dimaknai sebagai belajar. Sebab, mengenal nama bukan hanya sekedar mengenal suara tetapi juga konsep, bentuk, membedakan satu jenis benda dengan benda lain, dan segala macam apa yang dilihatnya. Sejak awal bermula, manusia dirancang Tuhan untuk belajar.
Dalam tradisi Yunani, tradisi belajar berasal dari bagaimana cara mereka memperoleh pengetahuan. Mereka terbagi ke dalam dua aliran yaitu rasionalis dan empirisis. Filsuf empiris menekankan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Sedangkan pengetahuan yang bersifat rasional berasal dari alasan yang sudah ada dalam pikirannya sendiri atau juga disebut innate idea atau ide bawaan.
Bahkan, filsuf pada waktu itu tak hanya duduk diam menyampaikan pengajaran. Tetapi, berjalan-jalan sambil berdiskusi untuk membincangkan berbagai macam materi. Begitu pun dengan para ilmuwan yang menemukan sesuatu dengan beragam macam percobaannya. Di titik ini, sudah bisa terlihat bahwa belajar bukan hanya melalui satu sumber yaitu buku.
Baca Juga: CERITA GURU: Sang Pencipta Seribu Profesi
CERITA GURU: Tangan Guru
CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal
Memperluas Pemaknaan Mengenai Belajar
Oleh karena pembiasaan yang digunakan adalah gemar belajar, maka kita perlu mendudukkannya secara benar. Belajar bukan aktivitas fisik, tetapi juga aktivitas dari pikiran dan kognitif. Namun apabila yang dipelajari hal lain, tentu aktivitasnya menjadi berbeda lagi.
Seperti apa yang dituliskan oleh penulis psikologi Inggris, Richard Gross, mengartikan belajar sebagai sebuah proses memperoleh pemahaman, pengetahuan, keterampilan, nilai, perilaku, dan alternatif baru. Bisa diartikan bahwa belajar banyak memiliki jenis dan objeknya. Secara sederhana, seperti taksonomi yang dibuat oleh Bloom yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam proses belajar, semua aspek itu berlaku.
Sewindu yang lalu, ketika masih nyantri di sebuah pesantren mahasiswi di Jogja, saya dan teman-teman sering bertukar cerita tentang pengalaman kami belajar waktu kecil. Biasanya kami melakukannya sambil mencuci baju. Salah satu teman menganggap saya terbilang beruntung tumbuh di lingkungan tempat saya tumbuh. Waktu itu saya cerita bahwa saya selalu pulang bertemu dengan Ibu yang sudah menanti anaknya pulang sekolah. Namun, dengan nada cueknya sambil meneruskan mencuci baju sepertinya dia tak masalah membahas hal itu denganku.
Teman saya ini memang asli Gunung Kidul, Yogyakarta. Orang tuanya berprofesi sebagai petani. Ia sudah hidup mandiri sejak waktu kecil. Perempuan itu sewaktu kecil, sering kali tak mendapati ibunya ketika pulang ke rumah dan perlu membuat makan siangnya sendiri atau menahan lapar sambil menunggu ibunya pulang. Meskipun begitu, ia bisa menjadi mahasiswa fakultas kedokteran salah satu Universitas ternama di Yogyakarta.
Setiap kelas pagi maupun malam, kami sering mendapatinya dalam keadaan sibuk mengerjakan tugas kuliah, laporan praktikum, atau tugas organisasi dan tak jarang sambil terkantuk-kantuk. Seantero asrama sudah tahu kebiasaannya. Bukan karena semalam ia tidur nyenyak, bukan sama sekali. Rekan satu kamarnya sering bercerita bahwa ia sering begadang sampai tertidur di depan meja belajar. Hingga esok paginya ia memulai hari.
Ceritaku dan cerita temanku tentu saja memiliki titik tolak yang berbeda. Saya dengan lingkungan yang mendorong saya belajar lebih dahulu tentang pengetahuan yang bersumber dari buku dan ditemani oleh orang tua. Jika temanku lebih dahulu belajar soalan pengalaman kehidupan yang membuat dirinya menjadi lebih mandiri. Semuanya merupakan proses belajar. Masing-masing dari kami, memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Pengalaman yang diceritakan temanku ini membuatku berpikir lebih dalam: apa sebenarnya yang membuat seseorang dikatakan sedang belajar? Apakah belajar hanya terjadi saat kita duduk di depan buku, atau ada makna yang lebih luas dari proses pembelajaran itu sendiri?
Kapan Seseorang Dikatakan Belajar?
David Ausubel, melalui teori belajar bermaknanya, seseorang dikatakan belajar apabila ia memperoleh makna apa yang dipelajarinya. Selain itu, karena ia memiliki makna dan berkesan di dalam pikirannya, kemungkinan pengetahuan itu akan bertahan bisa diperkirakan lebih lama.
Dalam teori kognitif, makna ini bisa diartikan sebagai pembentukan struktur baru. Menurut teori ini, sesuatu menjadi bermakna apabila ia memiliki tempat dan membangun sebuah hubungan baru dengan sesuatu yang sudah dimiliki. Misalnya, seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat sepeda. Awalnya, dia sudah memiliki pengetahuan tentang roda (dari mainan mobilnya, duduk di kursi, dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Ketika dia melihat sepeda untuk pertama kali, otaknya mulai membangun struktur pemahaman baru dengan menghubungkan pengetahuan yang sudah dia miliki. Di sinilah terjadi pembentukan makna baru yaitu pengetahuan lama ( roda, kursi, gerakan), struktur baru yang terbentuk ( pemahaman tentang sepeda), dan hubungan baru ( menghubungkan konsep duduk, roda, dan bergerak menjadi satu pemahaman utuh tentang cara kerja sepeda). Dengan begitu, "sepeda" menjadi bermakna bagi anak tersebut karena dia berhasil membangun hubungan antara pengetahuan yang sudah dia miliki dengan pengalaman barunya melihat sepeda.
Proses yang jelimet seperti itu tentu bukan serta merta kejadian yang terjadi begitu saja. Bukan sesederhana penampakan fisik. Kemampuan belajar itu perlu dilatih dan dibimbing oleh orang yang telah melaluinya atau oleh Tuhan secara langsung. Akhirnya, satu perkataan guru saya yang muncul
“Jangan memperlakukan kelas ini seperti bioskop!”
Saya ingat betul, pesan guru kami yang satu itu. Karena kebanyakan dari kami, datang ke dalam kelas hanya untuk mendengarkan beliau berceramah, menonton, setelah keluar kelas maka selesai juga apa yang ada di dalam pikirannya. Persis seperti kita ke bioskop: masuk ke bioskop, nonton film, lalu pulang. Banyak dari kami, setelah keluar kelas tak mengerti apa yang dipelajarinya. Apalah lagi apabila di rumah tak diulang kembali pelajarannya. Hal itu terjadi karena kebanyakan tak memiliki kebiasaan belajar yang baik.
Anggi Afriansyah, Peneliti BRIN sekaligus Dewan Pakar P2G, mengatakan bahwa pembiasaan ini tidak bisa lepas dari tripusat pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Ia menuliskan, pembiasaan belajar tidak otomatis tumbuh secara personal, tetapi membutuhkan dukungan dari orang-orang dewasa di sekitar anak-anak dan pengetahuan memadai dalam mendampingi mereka.
Saya pun setuju dengan komentar orang tua peserta didik yang mengatakan bahwa program kebiasaan ini adalah PR orang tua. Orang tua (dan orang dewasa) perlu merenungi kembali Apa itu belajar? Mengapa harus belajar? Dan bagaimana caranya belajar?. Jika hal-hal itu bisa dilakukan oleh orang dewasa, maka anak Indonesia akan terbantu untuk menerapkan kebiasaan ini.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru