• Kolom
  • PAYUNG HITAM #51: 18 Tahun Aksi Kamisan, Menolak Lupa! Melawan Impunitas! Pelanggar HAM Masih Berkeliaran

PAYUNG HITAM #51: 18 Tahun Aksi Kamisan, Menolak Lupa! Melawan Impunitas! Pelanggar HAM Masih Berkeliaran

Jika penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan ada di mana-mana, maka kita tegaskan bahwa perlawanan harus ada di mana-mana!

Fayyad

Pegiat Aksi Kamisan Bandung

Aksi Kamisan Bandung memperingati 18 tahun Kamisan, Kamis, 17 Januari 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

23 Januari 2025


BandungBergerak.id – Kian hari kita terus dihadapkan dengan berbagai situasi dan kondisi yang makin kelam. Terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi salah satu (bukan satu-satunya) penanda bahwa impunitas –kekebalan hukum bagi terduga pelaku pelanggar HAM– penculikan orang-orang prodemokrasi di tahun 1997-1998, juga kejahatan perang ketika operasi militer dan pendudukan Indonesia di Timor Timur (1975-1986). Demikian pula dengan para jenderal yang masih menempati jabatan tinggi di pemerintahan yang hingga kini sangat sulit bahkan tidak pernah diseret dan diadili pada muka persidangan. Serta pelanggaran terhadap konstitusi dengan implikasi lahirnya bentuk Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (KKN) skala besar kini terpampang gamblang dan nyata di hadapan kita.

Pengaktifan kembali Dwifungsi Militer –bahkan pejabat tinggi militer pun menyebutnya sebagai multifungsi, terjadinya pengisian jabatan-jabatan sipil oleh militer aktif. Kita juga melihat bagaimana militer mulai ditempatkan pada sektor pangan demi keberlangsungan proyek food estate dengan mengorbankan banyak sekali lahan jutaan hektare di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lainnya, kita mengenalnya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang jika ada masyarakat melakukan penolakan akan segera dibabat habis seperti yang terjadi di Rempang-Galang. Pun program makan bergizi gratis yang di beberapa wilayah turut dikelola oleh militer setempat.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #48: Aksi Kamisan Bandung, Lebih dari Sekadar Mengingatkan Tragedi Kemanusiaan
PAYUNG HITAM #49: Friday Football Street, Olahraga dan Ruang Publik sebagai Wadah Positif
PAYUNG HITAM #50: Sisi Lain Wisata di Lembang, Cerita Pahit Pekerja Pariwisata

Kekerasan Tak Berkesudahan

Ditambah lagi bagaimana brutalitas yang disertai kebengisan aparat keamanan TNI-Polri sebagai garda terdepan dalam mengamankan modal dan kepentingan kapital. Kita harus menyadari bahwa rantai kekerasan ini terjadi secara sistematis dalam institusi keamanan negara yang melibatkan penggunaan kekuatan fisik, psikologis atau struktural secara terstruktur dan terencana meliput perintah dari atas, strategi dan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu yang tentunya melanggar HAM. Bahkan tidak jarang kekerasan menjadi suatu justifikasi atau pembenaran bahwa hal demikian sebagai "tindakan keamanan" demi menjaga ilusi ketertiban.

Kultur kekerasan dengan cara menormalisasi kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh institusi keamanan negara akan sangat berkaitan erat dengan kepentingan politik-ekonomi dengan maksud penggunaan kekerasan sebagai jalan mempertahankan hegemoni kekuasaan. Kemudian, tindakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu (etnis, suku, ras, gender, agama/keyakinan) adalah tindakan yang kerap kali dilakukan tidak hanya oleh aktor pelanggar HAM (negara), tapi juga dilakukan oleh aktor-aktor non-negara (ormas reaksioner, dan sebagainya). Terlebih sangat kurangnya mekanisme kontrol pengawasan dan akuntabilitas yang apabila dilakukan pun hanya sekadar formalitas belaka, yang kerap kali ditemukan justru adalah penyembunyian berupa penghancuran bukti hingga upaya mengintimidasi korban-saksi.

Hukum Sebagai Instrumen Penindasan

Hukum lagi dan lagi hanya sebatas dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan menutupi kejahatan melalui pelbagai cara seperti pembuatan undang-undang diskriminatif dan menindas yang tidak lain adalah untuk menguntungkan penguasa dan merugikan kelompok tertentu. Dalam penafsirannya, hukum kerap kali ditafsirkan secara serampangan yang kemudian akan menguntungkan penguasa.

Hukum juga digunakan sebagai alat represi untuk mengkriminalisasi siapa pun yang menentang kekuasaan bahkan tidak jarang hingga ada yang dipenjarakan. Kebebasan pers dan media tak luput dari penggunaan hukum yang mengatur regulasi agar investigasi mendalam terhadap suatu tindak kejahatan tidak diusut tuntas. Serta penggunaan hukum sebagai upaya negara dalam membatasi hak-hak sipil dan kebebasan individu.

Dan kita akan dengan sangat kentara melihat bagaimana penghambatan proses hukum jika hal ini berkaitan dengan para penguasa yang sudah pasti dilakukan untuk melindungi pelaku para pelaku kejahatan dan pelanggar HAM.

Masyarakat Sipil dan Perjuangannya

Hal yang mungkin bisa menjadi refleksi bersama bahwa negara –pemerintah berikut aparatur kaki tangannya merupakan satu kesatuan organisasi kriminal yang dilegalkan dengan segala gurita tentakelnya yang menyentuh tiap-tiap sendi kehidupan masyarakat.

Maka, tuntutan kita kini adalah memperbesar kemungkinan pada ruang-ruang yang masih kita anggap tidak mungkin. Memaknai ulang dan mengeja makna solidaritas. Mengumpulkan kembali sisa-sisa hasrat yang masih ada, upaya untuk pulih dari trauma yang mendera. Keberanian dan nyali sekecil apa pun yang masih menyala. Menandakan sudah selayaknya sel-sel keberanian ini menjalar tidak hanya dalam diri, namun juga pada praktiknya tersebar luas di banyak tempat. Merangkul kembali kawan kiri-kanan yang pernah menyalakan kobaran api perlawanan dan kepalan tangan. Karena, jika penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan ada di mana-mana, maka kita tegaskan bahwa perlawanan harus ada di mana-mana!

Peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan

Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//