Nyastra, Nyunda, dan Mengenalkan Budaya Sunda Kepada Dunia
Melalui media majalah, budaya Sunda dapat dikenal sampai ke kancah internasional. Hal ini dilakukan mahasiswa Sastra Inggris Unpas.
Penulis Fauzan Rafles 25 Januari 2025
BandungBergerak.id - Stan-stan di Aula Mandala Saba Otto Kampus Setiabudhi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung memajang majalah Sunda dan literatur Inggris, juga hiasan dan pernak pernik khas Priangan. Alua ini dipakai mahasiswa tingkat pertama jurusan Sastra Inggris untuk berpameran majalah serta mempresentasikan budaya Sunda kepada publik, Jumat, 25 Januari 2025.
Lengkap dengan pakaian adat Sunda yang dikenakan oleh setiap mahasiswa dan mahasiswi, pameran ini diberi nama ‘Panglawungan Basa jeung Budaya Sunda’ [Pertukaran Bahasa dan Budaya Sunda]. Acara ini diadakan guna memenuhi syarat lulus mata kuliah Reading Writing Connection.
Di dalam kehidupan sehari-hari, tentunya manusia lekat dengan yang namanya membaca juga menulis. Dimulai dari membaca teks Whatsapp, membuat list belanjaan, sampai buku pelajaran.
Di sisi lain, sebagai warga dan pelajar tanah Pasundan, tentunya para mahasiswa/i ini lekat juga dengan kultur basa Sunda. Dari perbincangan sehari-hari, mendengar percakapan orang-orang di tempat umum, sampai makanan pun selalu berkaitan dengan tradisional Sunda.
“Sebab kita menempuh pendidikan di universitas yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan Sunda. Saya ingin kalau budaya kita dikenal lebih luas. Caranya gimana? Tentunya harus pake bahasa Inggris. Dan medianya adalah magazine ini,” dosen Unpas yang kerap disapa Ibu Indi.
Indi juga mengajarkan cara agar mahasiswa/i-nya akrab dengan budaya-budaya lawas seperti majalah yang sudah mulai dilupakan karena efek digitalisasi. Mereka diminta untuk membeli dan membaca majalah dari zaman dulu agar bisa mendapat referensi dan pengalaman membaca majalah.
Makna dari perkuliahan sendiri bukan sekadar mengumpulkan tugas atau presentasi. Tapi bagaimana mendidik manusia dari segi kebersamaan dan kepemimpinan. Itulah alasan mengapa Indi menginginkan proyek ini dijalankan secara kolektif.
Selama satu semester, mahasiswa/i mata kuliah ini dipersiapkan sebaik mungkin untuk menulis, mendesain, mempresentasikan, dan memamerkan karyanya di depan publik. Sistem Ujian Akhir Semester (UAS) ini adalah cara halus untuk mengenalkan gaya bekerja zaman sekarang.
Selain jadi lebih mendalami kebudayaan Sunda dan juga sastra, mahasiswa/i dilatih untuk dapat bekerja dalam tim dan kerja dari mana saja. Sejak era pandemi Covid-19 lalu, para pekerja sudah tidak lagi bekerja dari kantor. Istilah kekiniannya ‘work from anywhere’. “I prepared them to be flexible to work from anywhere,” tutur sang dosen.
Salah satu mahasiswi, Nayla (20 tahun) mengaku bahwa mata kuliah ini sangat efektif untuk mengenalkan proses bekerja dan memproduksi karya. “Tugasnya seru banget. Jadi tahu proses kreatif menulis majalah itu gimana. Aku juga jadi belajar kerja sama tim dan mengerti individu lain. Penulisan aku juga jadi baik, khususnya majalah,” ungkapnya.
Tidak mau hanya sekadar main tugas atau hadir di dalam kelas, Indi ikut andil dalam proses produksi acara ini. Indi senantiasa ikut brainstorming bersama mahasiswa/i-nya dan juga belajar dari keahlian setiap individu. Cara itu ternyata memudahkan beliau untuk dapat memberi umpan balik kepada muridnya agar menghasilkan karya tradisional dengan memanfaatkan teknologi digital.
Ketua pelaksana dari acara ini, Habibi (19 tahun) mengutarakan pandangan pribadinya terhadap Indi: “Miss Indi orangnya santai dan gaul, bagi saya, Miss Indi itu milenial yang sangat mengerti Gen Z. Kita juga jadi ngerasa gak ada gap yang jomplang kalau sama beliau.”
Dalam urusan berkarya, para seniman tentunya harus memiliki rasa memiliki yang tinggi. Indi sendiri menularkan rasa itu kepada anak didiknya dengan cara membangun kios-kios kecil di dalam aula. Di situ, mereka menampilkan karya utamanya (majalah), beberapa souvenir, hingga mainan tradisional Sunda. Bahkan, beberapa kelompok ada yang menjajakan makanan khas Sunda seperti seblak.
Melalui acara ini, anak didik Indi telah memiliki pengalaman nyata dalam membuat pameran sebelum mereka siap menggarap pameran di kancah nasional atau bahkan internasional.
“Untuk tingkat pertama, ini sudah melebihi ekspektasi saya. Evaluasinya adalah skill presentasi dan public speaking-nya mereka mesti ditingkatkan lagi. Di semester depan ada mata kuliah khusus Public Speaking, saya harapkan bisa membekali mereka kemampuan berbicara serta mempersiapkan presentasi yang baik,” ucap Indi, ketika ditanya mengenai keseluruhan acara ini.
Baca Juga: Mengupas Novel Klasik Sebagai Syarat Lulus Mata Kuliah Kritik Sastra Unpas
Nava Sajiva 2025, Semangat Berkolaborasi dan Berinovasi dari Program Sarjana Desain Interior Universitas Kristen Maranatha
Bangunan Merangsek Kawasan Bandung Utara, Mahasiswa Unpad Menanam Pohon Saninten
Satu Buku untuk Satu Semester
UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia. Dari sumber yang sama, persenan minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan yakni hanya 0,001 persen.
Melihat kondisi sekarang, Indi mencari cara agar dapat mengenalkan buku kepada peserta didiknya. Dalam mata kuliah Reading Writing Connection, anak didiknya diwajibkan membaca buku selama sepuluh menit sebelum pembelajaran dalam kelas dimulai. Indi adalah dosen yang tidak hanya bisa menyuruh. Ia juga ikut membawa novel ke dalam kelas dan membacanya bersama para mahasiswa/i.
Satu target dan satu tujuan. Dengan penuh harap, Indi ingin anak didiknya bisa menamatkan minimal satu buku dalam satu semester. Meski begitu, bila ada mahasiswa/i yang sudah lebih dulu menyelesaikan satu buku, ia tetap menyuruhnya untuk melanjutkan buku kedua.
“Target kayak gitu sih tujuannya buat bikin mereka enjoy dulu sama buku, ya. Biar pun mereka sudah selesai, tapi saya tetap menyuruh untuk go with the second or the third or fourth book,” jelasnya.
Untuk menguji intensitas membaca peserta didiknya, Indi belum memberikan tugas yang terlalu berat. Ia hanya meminta anak-anaknya untuk menuliskan tanggapan mengenai buku di dalam majalah yang nantinya dipamerkan.
Di dalam majalah para mahasiswa/i ini juga berisikan feature writing. Tanpa harus dibatasi, mereka dibebaskan menulis mengenai figur orang Sunda yang menginspirasi. Setiap kelompok ternyata memilih sosok yang beragam dan cenderung ikonik. Dari sastrawan Sunda sampai bahkan ibu kantin.
“Menarik banget pemilihannya, I also didn't expect kalau mereka ada yang menulis tentang ibu kantin dan satpam kampus. Kreativitasnya luar biasa banget,” tambah Indi, singkat.
Salah satu kelompok juga ada yang memilih sastrawan Ajip Rosidi sebagai tokoh Sunda pilihan. Menurut penjelasan salah satu anggotanya, Ajip Rosidi memberi banyak manfaat terhadap literatur dan Budaya Sunda.
“Pak Ajip Rositi itu sangat berpengaruh terhadap budaya Sunda. Aku gak kebayang kalau beliau dan karya-karyanya gak ada, mungkin Sunda juga ga akan sekeren sekarang,” tutur Alicya (19 tahun).
Tidak hanya Indi, acara ini juga dihadiri dosen tamu dari IKIP Siliwangi yaitu Trisnendri. Ia turut berkomentar jika anak-anak Universitas Pasundan ini sangat kreatif dan bahkan brilian dalam menyatukan karya seni lawas dengan teknologi modern. Mata kuliah ini juga menurutnya dapat memulihkan memori para gen Z kepada hal-hal zaman dulu yakni majalah.
“I see them playing safe ya terhadap karya budaya Sunda. Maklum masih tingkat pertama. Public speaking-nya juga mesti dilatih lagi. Tapi overall semuanya oke banget dan aku merasa enjoy menjadi audiens di acara ini. Aku kasih rate 8,5!” ujar Trisnendri, bersemangat.
Tamu lain yang turut hadir di acara ini adalah Fegy Lestari, sekretaris prodi Sastra Inggris. Ia sangat senang melihat makanan dan jajanan Sunda dari masing-masing kios di setiap kelompok. Ia sangat senang dengan cara para mahasiswa/i dalam melakukan presentasi dan mendesain majalahnya. Kegiatan ini sangat menginspirasi terutama buat para calon mahasiswa/i Sastra Inggris nantinya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Sastra