NGABANDUNGAN: Kapan Kita Berpihak pada Politik Dinasti?
Jauh sebelum republik berdiri, negeri ini terdiri dari kerajaan-kerajaan dan suku-suku adat. Monarki-monarki nusantara memilih menanggalkan politik dinasti.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
29 Januari 2025
BandungBergerak.id - Yogyakarta, 500-an kilometer dari Bandung, tetap terasa dekat. Naik kereta ekonomi semalaman pun akan sampai ke Kota Gudeg, dengan catatan, kita mesti siap mengalami "siksaan" panjang selama duduk di kursi kereta yang tegak lurus seperti pohon kelapa. Begitu keluar kereta, tubuh kita akan tetap tegak seperti tentara, begitu seloroh teman saya yang satu kereta, akhir tahun kemarin.
Saya membayangkan bagaimana bisa merancang kursi gerbong kereta antarprovinsi setegak berdiri itu? Apa karena kereta ekonomi? Betapa tersiksanya orang lansia atau orang kurang sehat mesti menjalani perjalanan kereta ekonomi Bandung-Yogya. Bagi saya yang pernah muda –tapi sebentar karena masa muda itu memang sebentar– dan kini mendekati lansia, bersyukur masih kuat bertahan duduk di kereta semalaman tanpa tidur pulas sambil merasakan sakit pinggang, pegal linu kaki, panas bokong seraya menghibur diri bahwa waktu akan berlalu sekelebatan saja seperti perginya masa muda.
Benar saja. Kereta akhirnya tiba di Stasiun Lempuyangan, rasa pegal-pegal itu sedikit terhibur manakala pihak stasiun memutar lagu “Sepasang Mata Bola” (ciptaan Ismail Marzuki dan Suto Iskandar) versi keroncong. Ismail Marzuki selalu tak pernah gagal bikin lagu! Hiburan lainnya, kultur Jawa begitu terasa. Orang-orang di sekitar stasiun berbicara dalam bahasa Jawa halus, bercampur dengan orang-orang dari Bandung yang ngomong bahasa Sunda; dinding-dinding stasiun dihiasi tokoh-tokoh wayang kulit, di antaranya Gatotkaca; kuliner-kuliner khas Yogya menyerbu mata, ada gudeg, dan tentu saja bakpia beragam jenama.
Di luar stasiun, angkringan bertebaran; delman-delman masih beroda empat dengan ornamen tradisional, sang kusir mengenakan pakaian adat, kain batik, kemeja lurik, dan blangkon. Yang mencolok, di pusat kota Yogyakarta tidak ada angkot seperti di Bandung. Menurut sopir online yang mengantar kami dari Lempuyangan ke Jalan Malioboro, angkot di Yogya sudah tidak ada sejak tahun 2009.
Pak sopir yang ramah ini memiliki ingatan cukup akurat. Menurut riset Claritza Destya Anggraeny, Kota Yogyakarta mulai 2008 sudah tidak menggunakan angkot atau microbus. Alasannya, Yogyakarta yang dipimpin Sultan ingin pembangunan berkelanjutan (sustainbale development) dan ramah lingkungan. Maka, sistem angkotan umum lama (angkot) dialihkan ke “Trans Jogja”, bus besar yang muat jumlah penumpang lebih banyak dengan ongkos jauh lebih murah. Layanan transportasi massal Trans Jogja ini kurang lebih sama dengan Metro Jabar Trans yang beroperasi di Bandung Raya (Claritza Destya Anggraeny, diakses Senin, 27 Januari 2025).
Meski di Yogya tidak ada angkot, banyak moda transportasi tradisional seperti becak motor dan delman yang beroperasi di tengah kota. Rupanya moda transportasi ini dinilai sebagai bagian dari kultur tradisional yang mesti dipertahankan. Sultan tidak ingin menghilangkan nilai-nilai tradisi yang sudah lama hidup di Yogyakarta (IdnTime, Senin, 27 Januari 2025).
Bandung sudah lama ingin mengintegrasikan angkutan kota ke moda transportasi berkelanjutan, tapi sampai sekarang belum sampai-sampai. Apakah karena di Bandung tidak ada sultan? Pertanyaan usil ini terasa tidak relevan karena toh Bandung juga memiliki pemimpin, wali kotanya dipilih silih berganti. Bahkan 2025 ini Kota Bandung dipimpin wali kota dan wakil wali kota baru. (Bahkan lagi) gubernur Jawa Baratnya juga baru, masa iya enggak bisa bikin transportasi massal seperti di Yogyakarta, paling tidak untuk sekala Bandung Raya yang sudah lama kebanjiran kendaraan mobil dan motor.
Sultan tentu menjadi orang berpengaruh di Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi di pulau Jawa yang membawahi empat kabupaten. Yogyakarta menjadi satu-satunya provinsi di Jawa yang dipimpin sultan sejak dulu sampai sekarang, jalan-jalan di DIY menjadi jembatan penghubung dengan masa politik dinasti di waktu lampau. Hal ini dikukuhkan dengan status Daerah Istimewanya. Tentunya tidak relevan mengaitkan "politik dinasti" Yogyakarta dengan politik dinasti yang dipraktikkan di Pilpres 2024 kemarin.
Kesultanan Yogyakarta memiliki riwayat sejarah panjang. Hamengku Buwono IX adalah salah satu pendiri bangsa yang melawan Belanda. Di usianya yang beru 28 tahun, penerus dinasti Mataram ini telah adu taktik diplomasi melawan diplomat senior Belanda. Ia berperan besar dalam melancarkan serangan 1 Maret 1949 di saat Belanda melakukan Agresi Militer. Serangan ini membuktikan kepada dunia bahwa Republik masih berdiri menentang Belanda. Sultan pula yang mengundang Presiden RI untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I (Zerlinda Nova Ardelia, diakses Selasa, 28 Januari 2025).
Beberapa minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat dan Sultan sepakat berintegrasi ke wilayah Republik baru. Pria yang pernah mengenyam pendidikan AMS di Bandung sebelum kuliah di Rijkuniversiteit pada tahun 1930-an itu kemudian mengusulkan agar Yogyakarta menyandang status Istimewa. Sultan mafhum bergabungnya Yogyakarta ke NKRI artinya “melucuti” kekuasaan yang dimilikinya. Keputusan bergabung dengan Republik juga dilakukan oleh monarki-monarki yang tersebar di nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indische setelah kekalahan Jepang (Zerlinda Nova Ardelia, diakses Selasa, 28 Januari 2025).
Raja-raja Menanggalkan Politik Dinastinya
Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa sebelum NKRI berdiri, Indonesia adalah negeri yang terdiri dari beragam kerajaan, kesultanan, dan banyak sekali suku-suku yang dipimpin kepala suku. Mereka adalah entitas politik yang memiliki kedaulatan di wilayahnya masing-masing. Sampai saat ini pun kerajaan-kerajaan tersebut secara simbolik masih berdiri. Mereka rutin menggelar pertemuan tahunan. Tahun 2023, misalnya, Raja dan Permaisuri dari 54 Kerajaan se-Indonesia berkumpul dalam Festival Adat Kerajaan Nusantara (FAKN) di Kabupaten Sumedang (Detik, diakses Selasa, 28 Januari 2025)
Keberadaan monarki-monarki di nusantara kini lebih bersifat simbolik. Fungsi mereka "hanya" pengingat bahwa negeri ini memiliki sejarah monarki yang panjang. Berbeda dengan raja-raja dan kesultanan yang tinggal simbol, kepala-kepala suku dan masyarakat adatnya lebih eksis lagi mendiami pedalaman-pedalaman, kampung-kampung adat, dan hutan-hutan sampai sekarang. Mereka pun mendukung sepenuhnya NKRI yang mengusung cita-cita mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berasaskan Pancasila yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (perikemanusiaan yang adil dan beradab).
Suku-suku adat, para raja dan sultan yang menanggalkan politik dinasti, mereka sepakat mendukung nakhoda modern bernama presiden. Namun dalam perjalanan sejarah republik, kekuasaan yang berpusat di satu sumbu cenderung menghendaki absolutisme. Sejak zaman Orde Lama, Demokrasi Terpimpin telah mengubah republik demokrasi “atas nama bangsa Indonesia” menjadi negara otoriter. Memasuki Orde Baru, republik ini lebih gelap lagi karena Suharto memimpin secara totaliter.
Zaman terus bergerak, rezim militeristik Orde Baru tumbang dan melahirkan pemimpin-pemimpin pascareformasi dengan berbagai karakternya. Paling anyar, kita baru saja menyaksikan transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo dengan latar belakang militer dan catatan pelanggaran HAM di masa lalu. Banyak ahli yang mengkhawatirkan republik ini telah jatuh kembali ke rezim militer atau menuju totalitarianisme. Indikasi ini sebenarnya sudah terlihat sejak satu dekade pemerintahan Jokowi.
Yang terbaru, kapal-kapal tongkang milik korporasi yang berduet maut dengan penguasa memuat eskapator-eskapator yang siap menggarap proyek strategis nasional di belantara Merauke, kawasan hutan yang masuk wilayah suku-suku adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew, penduduk asli Papua (Yayasan Pusaka Bentala, Selasa, 28 Januari 2025). Proyek mencetak sawah tidak hanya terjadi di hutan Merauke. Banyak hutan-hutan di Indonesia yang didiami masyarakat adat yang menghadapi konflik serupa melawan pemerintah dan korporasi. Dengan dalih kedaulatan pangan dan energi, banyak hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Hutan-hutan yang banyak didiami suku-suku adat dianggap kosong dan sepi. Mungkin penguasa republik lupa suku-suku adat telah mendiami hutan-hutan dan kampung adat jauh sebelum republik ini berdiri. Atau bisa jadi penguasa terkena sindrom Quixotik yang melihat kincir-kincir angin adalah raksasa, menganggap panci sebagai helm kesatria, sehingga menganggap hutan sebagai lahan tak bertuan yang cocok dipakai mencetak sawah atau sawit.
Begitulah buah dari politik dinasti yang bekerja sama dengan korporasi dan melahirkan oligarki. Mereka akan menganggap masyarakat-masyarakat adat tidak ada. Di masa kerajaan, politik dinasti memang suatu kelaziman, ketika konsep demokrasi belum dikenal atau malah belum ditemukan. Tetapi di zaman sekarang, politik yang mendahulukan kepentingan pribadi atau keluarga di atas kepentingan rakyat sambil menunggangi demokrasi, sungguh tidak lagi relevan. Faktanya, selama lima atau 10 tahun ke depan, kita mundur ke zaman yang tidak relevan itu. Baru 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, setelah satu dekade negeri ini dipimpin Jokowi, bapaknya Gibran.
Ketika raja-raja sudah lama menanggalkan politik dinastinya, segelintir elite politik justru berusaha membangun kerajaannya. Kepala-kepala daerah sibuk membangun kerajaan-kerajaan kecilnya. Politik dinasti bikin negara sakit dan rakyat menjerit.
Baca Juga: NGABANDUNGAN: Tafsir Tunggal Pancasila
NGABANDUNGAN: Penggusuran Tamansari
NGABANDUNGAN: Palestina vs Israel 2-0
Ruang Penampakan
Ada kalanya kita boleh berpihak pada politik dinasti, yaitu saat nonton film! Film-film kerajaan yang kisahnya terinspirasi kehidupan nyata, telah menunjukkan bagaimana busuknya politik dinasti yang menggerogoti kerajaan dari dalam dan hanya menempatkan rakyat membeku di pinggiran tembok-tembok kastil.
House of The Dragon, prekuel film Game of Thrones, menjadi contoh film yang menunjukkan busuknya politik dinasti. Anehnya – tidak benar-benar aneh, sebetulnya – saya menamatkan “House of The Dragon, Musim Kedua” di Yogyakarta.
Ketika raja Viserys I Targaryen yang sudah tua, tongkatnya selalu mendahului langkah kedua kakinya yang rapuh dan gemetaran, lalu jatuh sakit, bagian tubuhnya terus membusuk, klan-klan Targaryen mulai berbisik-bisik soal suksesi. Otto Hightower, tangan kanan raja, sejak awal telah memainkan peran yang cerdas (licik?) dengan mendorong putrinya Alicent Hightower untuk mendampingi sang raja di masa sakit dan kesepiannya [istrinya lebih dulu meninggal saat melahirkan].
Viserys, raja adil bijaksana yang menguasai 7 kerajaan (Seven Kingdoms) di negeri Westeros, berbaring tak berdaya di ranjangnya setelah minum obat bius Milk of the Poppy. Di samping ranjang Alicent bersimpuh, menunggu suaminya menyampaikan wasiat terakhir tentang penerus tahta kerajaan, Iron Throne. Viserys mengigau tentang Aegon Sang Penakluk, sosok legendaris dari wangsa naga yang dilukiskan dalam Song of Ice and Fire. Jauh sebelum Viserys berkuasa dan ratusan tahun jaraknya dengan Jon Snow dan Daenerys Targaryen atawa Daenerys Stormborn di serial Game of Thrones, Aegon Sang Penakluk berhasil memenangkan pertempuran. Pedang-pedang dari pertempuran ini kemudian dipakai untuk membentuk Iron Throne. Namun, Alicent lebih setuju jika kata-kata pamungkas Viserys ditujukan kepada putranya yang juga bernama Aaegon.
Politik dinasti menjalar seperti tanaman rambat, merasuk ke keluarga masing-masing wangsa naga, memecah-belah persaudaraan, dan kawan sejalan. Alicent merupakan sobat medok Rhaenyra, putri Viserys sekaligus pewaris sah Iron Throne. Viserys saat sehat sudah menggadangkan Rhaenyra sebagai penerus Seven Kingdoms. Alicent keukeuh bahwa wasiat terakhir Viserys sebagai karpet merah bagi anaknya, tak peduli persahabatannya dengan Rhaenyra hancur.
Tafsir sepihak Alicent berbuah malapetaka pertama bagi kerajaan yang ratusan tahun hidup dalam kedamaian. Memang wasiat Viserys tidak dalam bentuk tertulis, apalagi surat wasiat, tetapi hanya berupa bisikan orang sekarat di pembaringan. Namun bagaimanapun Viserys adalah raja, kata-katanya adalah konstitusi kerajaan, barang siapa yang melanggar kata-kata sang raja maka hukuman berat akibatnya. Klan Alicent akhirnya menduduki takhta kerajaan. Rhaenyra tersingkir dari King's Landing dengan cap sebagai pengkhianat dan perebut takhta.
Di film yang lahir dari novel George R. R. Martin “Song of Ice and Fire”, penonton atau pembaca berada di posisi harus berpihak pada politik dinasti yang mana. Masing-masing wangsa naga, dalam film disebut house, memiliki kelemahan dan kelebihan, kebobrokan dan kebenaran, kesucian dan kemaksiatan – hampir semua klan terlibat permainan liar yang melahirkan banyak anak-anak haram, tak terkecuali Rhaenyra.
Di antara sejumlah kebusukan politik dinasti itu, penonton diajak menyaring house mana yang lebih berhak atas Seven Kingdoms. Rhaenyra, dengan segenap kecerdasan, kebijaksanaan, dan kebinalannya bagaimanapun ada di posisi benar. Ia dan keluarganya berhak melanjutkan tahta besi.
Di luar film, para filsuf sudah lama melihat kebusukan politik dinasti sehingga mereka merumuskan demokrasi. Agar kekuasaan tidak terjerumus pada absolutisme, mereka menyusun batasan-batasan berupa pembagian kekuasaan yang disebut trias politica. Di sini tidak ada lagi istilah titah raja sebagai sabda. Kekuasaan harus dibagi-bagi antara lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Namun, karena kekuasaan cenderung korup, ketiga lembaga trias politica masih juga bisa diakali seperti yang terjadi di Pemilu 2024. Tiga lembaga trias politica bahkan saling bermufakat untuk satu suara dan bukan saling mengawasi. Bahkan lembaga konstitusi yang mestinya diisi orang-orang setengah dewa, para mufti hukum yang punya kebijaksanaan kaum filsuf, justru malah mengedepankan kepentingan keluarga.
Sayangnya, rakyat tidak sedang nonton Game of Thrones. Rakyat yang membaca ada pelanggaran mendasar terhadap konstitusi akan bersikap tidak berpihak pada politik dinasti yang berwatak membusukkan dari dalam.
Rakyat menonton kebusukan-kebusukan itu walaupun penguasa menganggap sepi. Dalam situasi ini, Hannah Arendt, filsuf politik Jerman yang mengkaji totalitarianisme, menyatakan bahwa rakyat akan membentuk ruang-ruang penampakan untuk menuntut penguasa. Ruang penampakan adalah, “...tempat manusia tidak sekadar ada seperti makhluk hidup atau benda mati lainnya, tetapi juga menampakkan diri secara eksplisit,” kata Arendt (plato.stanford.edu, Selasa, 28 Januari 2025).
Agar lebih bermakna menghasilkan perubahan, ruang penampakan menurut Arendt memerlukan tindakan. Rakyat perlu berkumpul untuk membahas masalah-masalah yang menjadi perhatian publik. Ruang penampakan yang ditopang tindakan ini dapat muncul tiba-tiba, seperti dalam kasus revolusi, atau dapat berkembang perlahan dari upaya-upaya untuk mengubah suatu undang-undang atau kebijakan tertentu.
Munculnya ruang-ruang penampakan seperti yang diramalkan Arendt menjadi keniscayaan karena sejarah telah membuktikannya. Dia akan berwujud diskusi-diskusi, demonstrasi, dan aksi lainnya yang menuntut keadilan. Ruang-ruang penampakan itu mestinya sudah terlihat entah di masa program 100 hari kerja, 100 minggu, 100 bulan. Sekuat apa pun politik dinasti pada akhirnya... valar morghulis.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Iman Herdiana tentang Ngabandungan