MULUNG TANJUNG #20: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (18)
Mitos, kepercayaan spiritual, dan keterjagaan mata air. Abah Ilim dan Aki Omo menjaga mitos untuk melestarikan mata air Ciguriang.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
3 Februari 2025
BandungBergerak.id - Menjadi seorang dobi mungkin bukan suatu profesi mentereng, sekadar tukang cuci. Tapi tenyata Haryoto Kunto membahas hal ini di dalam bukunya “Semerbak Bunga di Bandung Raya”. Dan banyak komunitas sejarah yang melakukan penelusuran keberadaan Kampung Dobi yang disebutkan Kunto dalam bukunya tersebut. Sejarah perkembangan suatu kota memang tak akan lepas dari hal-hal kecil yang mungkin sering kali luput dari pengamatan kita.
Saya yang sehari-hari ada dalam lingkup keseharian aktivitas dan profesi dobi itu menganggap bahwa hal itu biasa saja dan tidak istimewa, sampai akhirnya timbul kesadaran untuk membuka kembali ingatan tersebut dan menuliskannya. Ternyata banyak yang bisa ditulis tentang Abah Salim atau Abah Ilim, seorang dobi yang menjalani profesinya dalam tiga zaman.
Abah memang bukan orang yang terbiasa banyak bercakap. Saya sering mengamati, ketika Aki Omo datang untuk membaca Pikiran Rakyat yang setiap pagi hadir di rumah kami, Abah dan Aki Omo sering asik dengan kegiatannya masing-masing. Mereka bukan tipe dua sahabat yang saling bercerita banyak, ngobrol ngalor ngidul di antara asap rokok dan gelas kopi. Rokok dan kopi memang selalu menemani pertemuan mereka di ruang tamu Abah, tapi Abah asyik menikmati isapan rokoknya tanpa mengganggu keasyikan Aki Omo dengan barisan abjad yang tak terlewat dijelajahinya di dalam lembaran koran hari itu. Tak pernah berisik. Persahabatan dua dobi yang unik.
Seorang sahabat masa kecil menulis pesan setelan membaca tulisanku tentang anak-anak di Ciguriang di tahun 1980-an, “Dulu, ga boleh masuk balong (mata air), kalau masuk dan (me)lewat(i) pagar, sok hareeng (demam)”.
Memang Abah sendiri sering melarang kami bermain di sekitar mata air Ciguriang. Keadaan kolam mata air yang cukup dalam pada waktu itu, memang cukup membuat khawatir jika anak-anak bermain di sekitarnya. Hal itu pula yang sering membuat Abah atau Aki Omo selalu mengusir anak-anak dari sekitar kolam mata air. Bukan tanpa alasan, karena pernah terjadi seorang anak yang tenggelam karena bermain sendirian di sana. Hal itu terjadi di sekitar akhir tahun 70-an atau awal 80-an.
“Pokona sateuacan Galunggung bitu (Pokoknya sebelum Galunggung meletus),” ujar bapak saya.
Hal itu menjadi satu senjata ampuh para orang tua untuk melarang anak-anaknya bermain di sekitar mata air. Dan ternyata satu kejadian lain juga menimpa seorang penjual peuyeum yang menderita demam berhari-hari setelah memetik jamur yang tumbuh di pohon spatodhea yang tumbuh di sisi kolam. Apakah memang akibat dari memetik jamur tanpa permisi, atau sekadar kebetulan? Entahlah.
Beberapa warga sering menyampaikan pengalaman mereka masing-masing, misalnya yang mendengar suara orang mandi sambil cekikikan di tengah malam di pancuran Ciguriang, atau suara orang yang menyapu di seputar kolam mata air dengan suara sapuan sapu lidi yang khas, yang ketika mereka memberanikan diri untuk melihat ke arah suara-suara tersebut nyatanya tak nampak apa pun di sana, apalagi sesosok manusia. Pernah pula di akhir tahun 90-an salah satu sepupu saya yang masih balita dengan bahasa cadelnya menunjuk ke arah kebun, tepatnya tanah kosong yang ditumbuhi tanaman liar, dan berkata satu hal yang membuat orang dewasa sekitarnya cukup merinding.
“Itu ada kuda putih, banyak,” dan tentu saja dalam pandangan mata kami tak ada seekor pun kuda yang berkeliaran di sana.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #17: Ciguriang, Kampung Dobi Dalam Ingatan (15)
MULUNG TANJUNG #18: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (16)
MULUNG TANJUNG #19: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (17)
Ada satu kepercayaan yang tumbuh di kalangan masyarakat Sunda bahwa di setiap mata air atau aliran air selalu memiliki sosok penunggu. Seperti adanya kepercayaan bahwa Sumur Bandung ada di bawah penjagaan Nyi Mas Dewi Kentring Manik, di mata air Ciguriang pun dipercayai adanya penunggu yang menjaga mata air tesebut.
Kepercayaan orang Indonesia dan urang Sunda khususnya, terhadap hal-hal mistis seperti itu diakui atau tidak justru menjadi salah satu hal yang memelihara keberdaan suatu kekayaan alam. Begitupun tentang mata air ini, kepercayaan bahwa tempat ini dihuni oleh makhluk-makhluk tak kasat mata menjadi pencegah tangan-tangan jahil untuk merusak sumber air Ciguriang ini. Mitos-mitos biasanya dikembangkan untuk menanamkan nilai budaya, serta berkembangnya wawasan, bukan malah menyempitkan pola pikir.
Bagi masyarakat Sunda yang patuh pada kepercayaan leluhur, dan masyarakat umum yang cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat spiritual, mitos-mitos tersebut akan lebih mudah dipercaya dan tersebar luas. Hal ini justru akan menguntungkan jika berkaitan dengan kelestarian sumber daya alam. Dengan adanya mitos penunggu mata air, air terjun, atau sungai, membuat masyarakat tidak sembarangan memperlakukan sumber-sumber air tersebut, sehingga keberlangsungan siklus air akan tetap terjaga.
Abah Ilim dan Aki Omo menjaga mitos itu untuk menjaga kelestarian mata air Ciguriang. Ulah (jangan), dan bisi (takut terjadi sesuatu), menjadi dua kata yang sering mereka ucapkan. Ulah bersinonim dengan teu meunang (tidak boleh), kata yang menunjukkan larangan yang disertai oleh bisi yang menunjukkan kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang mungkin alasannya kurang bisa kita terima dengan logika. Tapi kenyatannya hal itu sangat efektif jika disampaikan para sesepuh seperti Abah Ilim dan Aki Omo pada saat itu.
Sayangnya sekarang walaupun masih banyak orang mempercayai mitos-mitos itu, kepedulian akan kelestarian alam umumnya dan sumber air khususnya sudah banyak berkurang. Begitupun dengan mata air Ciguriang ini. Sepeninggal kedua sesepuh itu, banyak hal yang tak lagi dipatuhi. Banyak larangan yang akhirnya dilanggar. Bahkan hal yang paling menyedihkan adalah belasan tahun lalu, ketika mata air mengering di musim kemarau, justru menjadi penuh oleh sampah kantong plastik, botol, dan gelas plastik kemasan minuman, serta sampah-sampah lain yang mengganggu pandangan dan mengusik rasa nyaman.
Ketika itu, rasanya rindu larangan-larangan Abah juga teriakan Aki Omo ketika melihat anak-anak mendekati pagar kolam dan mencuri kesempatan menangkap impun.
“Haliik… teu meunang arulin ka dinyaaaa..! Bisi labuh ka balong..!”
Alfatihah.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung