• Berita
  • Penggunaan Biomassa dan Batu Bara untuk Bahan Bakar PLTU Sama-sama Memicu Petaka Lingkungan

Penggunaan Biomassa dan Batu Bara untuk Bahan Bakar PLTU Sama-sama Memicu Petaka Lingkungan

Teknik co-firing atau mengoplos batu bara dengan biomassa untuk PLTU diperkirakan akan meningkatkan pembalakan hutan-hutan di Indonesia.

PLTU Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu, 5 Oktober 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah5 Februari 2025


BandungBergerak.id – Teknik co-firing atau mengoplos batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bukan solusi ramah lingkungan untuk menekan emisi. Sebaliknya, penggunaan biomassa justru berpotensi meningkatkan pembalakan hutan (deforestasi) yang memperburuk situasi perubahan iklim.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap batu bara sendiri selama ini menjadi salah satu sektor penyumbang emisi terbesar yang memicu pemanasan global. Dunia internasional telah meminta penghentian operasional PLTU sebagai sumber energi kotor. Sementara pemerintah sudah berencana menghentikan operasional PLTU-PLTU secara bertahap. Salah satu jalan yang diambil pemerintah dengan teknik oplosan biomassa dan batu bara, dengan maksud mengurangi penggunaan bahan bakar batu bara sepenuhnya. 

Dari sisi lingkungan, teknik oplosan alias co-firing dinilai sama saja menghasilkan emisi yang berbahaya. Bahkan co-firing justru akan memicu pembalakan hutan (deforestasi).

Wahana Lingkungan Indonesia Jawa Barat (Walhi Jabar) mencatat, PLTU yang ada di Cirebon, Indramayu, dan Sukabumi diperkirakan bisa memicu deforestasi hutan sekitar 1 juta hektare. Selain itu, penggunaan bahan bakar oplosan biomassa juga mengakibatkan pelepasan emisi baru ke angkasa.

Berdasarkan perhitungan Walhi Jabar terhadap Hutan Tanaman Energi dan industri sawdust (serbuk gergaji) di Jawa Barat memungkinkan terjadi pelepasan emisi baru sebanyak 26,48 juta ton. Terdapat juga potensi konflik di wilayah hulu terkait lahan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) yang digunakan untuk Hutan Tanaman Energi.

Direktur Walhi Jabar Wahyudin mengatakan, ada sekitar 1,1 juta hektare di Jabar untuk dijadikan 4 KPH yaitu KPH Indramayu, KPH Purwakarta, KPH Sukabumi, dan KPH Sumedang yang memanenkan kayu gelondongan serta mendistribusikan pelet kayu untuk dikirim dan dibakar di PLTU.

HTE sendiri telah diatur dalam Permen LHK 8/2021 tentang proyek ketahanan energi dibantu fasilitasi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan. Wahyudin menilai sosialisasinya tidak partisipatif dan implementasinya tidak efektif, sebagaimana yang ia temui di Sukabumi mengenai penyemaian tanaman energi di tahun 2022 namun kemudian ditinggalkan begitu saja.

Wahyudin juga menuturkan, pengembangan HTE yang dilakukan oleh PLN dan Perhutani untuk PLTU Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi membutuhkan keperluan HTE sebanyak 11.500 ton per tahun. Di tahun 2020, sekira 70.418 ton diperlukan untuk kebutuhan PLTU.

Dari sisi kesehatan, Wahyudin mengatakan, masyarakat di sekitar PLTU mengalami gangguan kesehatan pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dari mulai anak-anak hingga orang dewasa. 

“Walau Puskesmas tidak mau mengatakan itu salah satunya dari abu PLTU,” jelas Wahyudin, dalam  dalam diskusi “Sorotan PSN Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU di Jawa Barat” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Senin, 3 Februari 2025.

Baca Juga: Menyoal Ketidakhadiran Negara dalam Mengelola Dampak PLTU Batu Bara di Jawa Barat
PLTU di Jawa Barat sebagai Penyumbang Polusi Udara Lintas Batas
Menanti Pensiun Dini PLTU Batu Bara di Jawa Barat, Bercermin dari Dampak Mematikan Polusi di India 

Kerusakan Lingkungan Akibat Produksi Biomassa

Pemerintah berdalih teknik oplosan untuk bahan bakar PLTU akan turut menyerap pelepasan karbon. Karena penggunaan kayu sebagai bahan biomassa akan meningkatkan hutan tanaman energi.

Namun dalih tersebut tidak sepenuhnya benar. Penyerapan emisi oleh hutan tanaman energi relatif lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan di hutan-hutan alami. Anggi Putra Prayoga, Manajer Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan Forest Watch Indonesia menjelaskan, hutan alam merupakan salah satu ekosistem yang banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.

Setiap hutan tanaman  dapat menyimpan karbon 107,86 ton karbon per hektare, berbeda dengan hutan alam yang dapat menyimpan karbon 254 ton. Anggi menyebut penggunaan biomassa tidak bisa digolongkan sebagai neutral carbon, justru pemanfaatannya diperkirakan menghasilkan emisi yang sama besarnya dengan PLTU.

“Belum lagi jika menghitung emisi dengan penggunaan pupuk kimia dan pembukaan hutan secara masif atau perhitungan hulu-hilir tidak memisahkan antara sektor energi dan sektor hutan lahan,” kata Anggi sebagaimana diakses dari keterangan resmi, Rabu, 5 Februari 2025. 

Biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan, menurut Anggi akan memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran. Di saat yang sama akan  terjadi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia serta mendorong terjadinya deforestasi secara terencana berlabelkan hijau terbarukan.

Anggi menjelaskan, pemanfaatan biomassa di Indonesia dan lahirnya revisi kebijakan energi yang mendorong biomassa sebagai sebagai sumber energi terbarukan dikhawatirkan meningkatkan laju deforestasi sebab aktor-aktor perusahaan yang selama ini bercokol di kehutanan, pertanian, dan pertambangan akan memanfaatkan berbagai skema kemudahan perizinan untuk turut andil dalam bisnis biomassa.

Bisnis biomassa terutama yang berasal dari sawit dan kayu mendorong terjadinya deforestasi melalui pembukaan hutan dan lahan baru di Indonesia. Terbitnya izin baru untuk menggembangkan bisnis biomassa bisa melalui beberapa pintu yaitu, aktivasi izin pada areal eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terbit dari tahun 1998 sampai 2005. Dalam catatan FWI, izin-izin yang sudah tidak aktif yaitu eks-HPH dan yang belum dibebani izin mencapai 35,8 juta hektare di seluruh Indonesia.  

Anggi menegaskan, penerbitan izin-izin baru untuk pemanfaatan biomassa hanya memperpanjang konflik agraria dan penguasaan lahan oleh korporasi dan mempersempit ruang hidup masyarakat dan masyarakat adat.  

*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Proyek Strategis Nasiona PLTU

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//