PAYUNG HITAM #53: Kecemasan Massal, Lubang Menganga Kapitalisme dan Neoliberal
Lubang depresi masyarakat yang lahir karena kapitalisme dan neoliberalisme, melahirkan masyarakat yang individual. Penting bagi kita untuk memperkuat jaring sosial.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/7/6/2/762_300x206.jpeg)
Ressy Rizki Utari
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba)
6 Februari 2025
BandungBergerak.id – Menurut data dari WHO, dalam satu tahun lebih dari 700.000 orang melakukan tindakan bunuh diri. Itu berarti terdapat satu orang yang melakukannya di setiap 40 detik. Jika dihitung dalam satu jam terdapat lebih dari 90 orang melakukan bunuh diri. Bahkan sebelum penulis menuntaskan paragraf ini satu orang di tempat lain tengah bergelut secara emosional dan akhirnya menyerah pada hidup. Namun, tidak ada darurat kesehatan atau lock down yang dilakukan untuk menghentikan ini terjadi.
Celakanya, tragedi ini lahir dari rasa cemas yang terakumulasi. Ditambah, kecemasan kini menjadi suatu hal yang kian erat dengan keseharian kita. Keadaan ini kerap terjadi pada keluarga, teman sampai tetangga kita.
Cemas, kesulitan mendapat pekerjaan sedangkan kondisi semakin mendesak. Cemas gaji di bawah UMR dengan token listrik terus menjerit minta di isi menjadi hantu hari ke hari. Cemas karena tekanan pekerjaan hingga ingin resign tetapi dapur rumah harus tetap ngebul.
Ada juga yang dibuat cemas dengan pemenuhan diri pada tuntutan sosial, kendaraan yang mewah, rumah yang megah baju yang bermerek sampai pasangan yang memiliki prestise. Entah jenis kecemasan mana yang tengah pembaca hadapi, tapi percayalah bahwa kita semua telah dibuat cemas. DIBUAT, artinya kita bahkan akan tetap cemas meski tak ada tindakan kita yang mengakibatkan kecemasan itu muncul.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #50: Sisi Lain Wisata di Lembang, Cerita Pahit Pekerja Pariwisata
PAYUNG HITAM #51: 18 Tahun Aksi Kamisan, Menolak Lupa! Melawan Impunitas! Pelanggar HAM Masih Berkeliaran
PAYUNG HITAM #52: Pemberontakan Sehari-hari Tanpa Harus Menunggu Revolusi
Jerat Kapitalisme dan Individualisasi Neoliberal
Neoliberal kerap menawarkan gagasan kesuksesannya. Hal ini melahirkan mekanisme pengawasan ke dalam subjektivitas dan kisah hidup banyak orang. Setiap orang memberi nilai dan score kesuksesan pada dirinya dan orang lain.
Rasionalitas pasar memberi masyarakat peran mengevaluasi. Namun, tindakan yang sesuai dan dianggap berharga hanya dapat diterima jika sesuai dengan manfaat pasar. (Brown 2006; Corrie 2006; Esposito 2011; Giroux 2008)
Masyarakat konsumen mendorong orang untuk menyesuaikan sikap, kebiasaan, dan perilaku mereka agar sesuai dengan tuntutan pasar, kemudian dikaitkan dengan perilaku fungsional atau rasional. Sikap tidak menerima atau gagal terintegrasi ke dalam realitas pasar, akan dianggap sebagai jenis idealisme tidak rasional atau tidak produktif. Lebih umum banyak dikaitkan dengan penyimpangan pribadi dan patologi.
U’ren 1997 menyatakan kapitalisme dan psikiatri sangat menghargai produktivitas. Menurut kapitalisme karakter baik itu terdapat pada individu yang bekerja keras dan sungguh-sungguh. Masyarakat konsumen kerap mempromosikan kerja keras sebagai jalan menuju kesuksesan. Psikiatri juga mengatakan jika kemampuan serta keinginan untuk bekerja dan mengonsumsi merupakan tanda kesehatan mental.
Para arsitek neoliberalisme termasuk tokoh tokoh seperti Friedrich Hayek, dan Milton Friedman memahami pasar bebas sebagai sebuah kekuatan apolitis yang mendorong kebebasan pribadi, mendorong tanggung jawab individu, mematikan pemanfaatan sumber daya sosial dan ekonomi secara efisien untuk mendorong cara hidup yang optimal (Harvey 2005).
Realitas sosial versi pasar, memahami individu sebagai satu-satunya unit perhatian dan analisis yang layak (Esposito 2011; Giroux 2008). Oleh karena itu, ''masyarakat'' tidak lebih dari sekadar sekumpulan individu. Hal ini juga menunjukkan bahwa ranah pribadi lebih diutamakan daripada ranah sosial.
Dengan kata lain, daripada menekankan jaringan kekuatan institusional dan hubungan sosial sebagai pembentuk perilaku dan keputusan individu, agensi manusia dipahami hanya sebagai suatu masalah pilihan-pilihan individual dan kegiatan-kegiatan pribadi.
Menurut pasar, manusia adalah makhluk mandiri. Ia ''menghasilkan dan memperbarui energi mereka dari dalam diri mereka sendiri'' (Beck dan Beck.Gernsheim 2002: xxi). Energi internal ini diasumsikan sebagian besar bersifat kompetitif dan mementingkan diri sendiri, keduanya menjadi kecenderungan yang dihargai dalam masyarakat pasar.
Konsisten dengan penggambaran dari liberal klasik tentang homo economicus yang dijadikan dalil kaum neoliberal. Bagi mereka pasar bukan hanya sekedar sistem kelembagaan yang sewenang-wenang, tetapi merupakan perpanjangan dari sifat manusia itu sendiri (Jameson 1991:263). Sehingga masyarakat menilai perilaku yang menyimpang dari kontur sistemik sistem pasar diasumsikan menyimpang dari tatanan alamiah.
Individualisasi dan privatisasi menjadi corak yang jelas dalam pasar bebas. Seperti menemukan partner sejati, kapitalisme dan neoliberal membuat lubang depresi di masyarakat.
Setelah melemahkan hubungan sosial dan melahirkan individualisme di masyarakat, kapitalisme dan neoliberal menjadikan manusia sebagai komoditas yang dapat dibuang. Sistem ini dapat membuang siapa pun, kapan saja dengan kehilangan pekerjaan, akses sosial, atau posisi dalam masyarakat.
Menurut tesis kecemasan dari Institute for Precarious Conciousnes, sistem ini telah membatasi pilihan kita hanya berupa inklusi atau eksklusi desosialisasi. Individu dipaksa memilih dua hal, tetap berada dalam sistem sosial tetapi merasa terasing (Baca:Alienasi) atau eksklusi desosialisasi, keluar dari sistem sosial sepenuhnya.
Ancaman dikeluarkan atau diisolasi dari sistem sosial terwujud dalam berbagai bentuk tindakan disipliner. Time-out, pembatasan akses internet hingga bentuk yang sangat keras berupa pemecatan dan pengurangan bantuan sosial. Tahap puncaknya bisa berupa isolasi total di penjara.
Tesis ini melihat jika sistem semacam ini menggunakan rasa cemas sebagai alat kontrol: dengan meruntuhkan kualitas hubungan sosial dan menempatkan individu dalam situasi yang penuh bahaya. Ini ditujukan untuk menghasilkan keruntuhan kepribadian –menyebabkan kehancuran psikologis dan hilangnya rasa diri.
Kecemasan yang melanda saat ini juga dikenal sebagai prekaritas –jenis ketidakpastian hidup yang memperlakukan orang sebagai komoditas sekali pakai untuk memberlakukan kontrol. Berbeda dari penderitaan (misery), dalam prekaritas kebutuhan hidup bukan tiada. Kebutuhan tersebut tersedia, namun diberikan dengan syarat tertentu. Prekaritas, bukan hanya menciptakan perasaan tidak aman, melainkan juga menyebabkan keputusasaan yang meluas; kegelisahan tubuh yang konstan tanpa pelepasan.
Sistem ini mengepung pilihan kita pada situasi yang terbatas juga tidak masuk akal. Memilih cemas karena tidak dapat mengakses kebutuhan hidup atau cemas karena menjalankan syarat yang diberikan dalam mengakses kebutuhan hidup.
Salah satu pilihan yang diberikan sistem ini agar mendapat akses terhadap kebutuhan hidup adalah pinjaman online dan judi online. Banyak orang melakukan tindakan tidak masuk akal ini untuk bertahan dalam inklusi desosialisasi –bertahan dalam sistem sosial. Tragisnya tindakan ini membawa orang pada jurang kecemasan yang lebih dalam.
Keputusasaan yang semakin dalam akhirnya membuat orang mencari cara mengakhiri situasi ini. Namun sistem yang mengepung ini memberikan jalan pada kebuntuan-kebuntuan lain. Pada Minggu (15/12/24) di Ciputat Seorang ayah memilih bunuh diri setelah membunuh anak dan istrinya karena diduga terjerat judi dan pinjaman online. Berita yang juga sempat ramai kita dengar seorang ibu membunuh keempat orang anaknya karena jeratan kemiskinan. Sistem ini memaksa mereka memilih kematian dibanding hidup dalam keputusasaan dan kegelisahan secara terus menerus.
Bahkan pilihan buntu itu juga diberikan di dunia akademik berupa pinjaman pendidikan. Sistem ini mengajarkan jika pendidikan merupakan tiket kesuksesan. tetapi tiket ini juga tidak diberikan secara cuma-cuma. Sistem ini memasang tarif yang tidak murah hingga hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Kemudian sistem ini memberi tawaran berupa dana pinjaman pendidikan.
Namun di Indonesia, pendidikan tinggi tidak menjamin kamu mendapat pekerjaan. Terhitung 1,4 juta lulusan lahir setiap tahunnya, tetapi lapangan kerja formal yang tersedia hanya 141 ribu. Jika melihat data ini sekitar 1,2 juta lainnya akan menganggur.
Belum selesai, bahkan jika sistem ini akhirnya berhasil menyediakan pekerjaan. Mereka harus melunasi dana kredit pendidikan itu hingga sisa hidupnya. Menurut penelitian dari One Wisconsin Institute jika kredit pendidikan sarjana di Amerika membutuhkan 19,7 tahun untuk melunasinya setelah lulus dan 23 tahun untuk pendidikan magister.
Laporan bank sentral AS, Federal reserve (The Fed), terdapat 6,9 juta peminjam student loan yang sudah berusia antara 40 dan 49 tahun, utang gabungan mereka berjumlah $229,6 miliar. Artinya, warga negara AS memiliki rata-rata sisa pinjaman pendidikan sebesar $33.765 per orang di usia 40-an.
Sedangkan di Inggris ketidakpastian hidup ini telah membuat proporsi anak muda yang hidup di rumah orang tuanya semakin tinggi. Lebih dari 10% populasi di Inggris mengonsumsi antidepresan. Tingkat kelahiran menurun, karena ketidakamanan membuat orang enggan untuk memulai keluarga. Di Jepang, jutaan anak muda tidak pernah meninggalkan rumah mereka (hikikomori), sementara yang lainnya bekerja hingga mati dalam skala epidemi.
Menurut survei yang disebutkan dalam tesis kecemasan, populasi Inggris mengalami ketidakamanan pendapatan. Secara ekonomi, sistem kecemasan mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan dan berkontribusi pada ketidakamanan dan ketidakpastian hidup. Sistem produksi ramping, efek perampingan biaya namun menambah beban pekerja. Perbudakan utang, kecepatan aliran informasi dan globalisasi produksi di bungkus dengan nama finansialisasi.
Tesis kecemasan dari Institute for Precarious Conciousnes menyebutkan, pusat panggilan (call center) dan tempat kerja serupa kian banyak dijumpai. Melalui panggilan ini setiap orang harus mengawasi kinerjanya sendiri, menjaga sikap positif dan profesional.
Mereka juga harus selalu tunduk pada tekanan sistem uji ulang (evaluasi kinerja) dan potensi kegagalan jika tidak memenuhi persyaratan kuantitatif jumlah panggilan, atau gagal karena ditolak untuk mendapatkan kontrak tetap –mereka harus bekerja selama enam bulan, yang pada dasarnya juga tidak memberi jaminan untuk mendapatkan kontrak tetap.
Sesuai dengan definisi Johan Galtung tentang kekerasan struktural, kebijakan dan praktik neoliberal seperti deregulasi, de-unionisasi, dan outsourcing pada dasarnya telah mendorong ''gangguan yang dapat dihindari kebutuhan dasar manusia'' dengan merampas jutaan orang dari pekerjaan yang stabil, keamanan ekonomi, dan rasa kebersamaan yang kuat (Ho, 2007:3).
Namun konsisten dengan ortodoksi neoliberal, alih-alih mengatasi masalah ideologis dan kekuatan institusional yang mendorong kekerasan struktural ini dan dampaknya terhadap mental kesehatan, solusi dominan untuk mengatasi masalah tersebut adalah solusi pasar yang berfokus pada individu.
Privatisasi Kesehatan Mental
Tasis kecemasan dari Institute for Precarious Conciousnes menyebutkan, kelas pekerja kontemporer tengah dilanda simtom kecemasan. Sedangkan, di abad 19 kelas pekerja mengalami kondisi misery atau kesengsaraan dan awal abad 20 mereka dilanda kebosanan.
Sayangnya kecemasan kini justru diprivatisasi –menjadi persoalan pribadi. Seolah-olah kerusakan jiwa hanya disebabkan kegagalan individu mengelola diri.
Padahal kecemasan merupakan sebuah simtom dari virus yang tidak hadir dari ruang hampa. Virus ini sama mematikan dan masifnya dengan covid-19. Menurut survei dari Asia Care, 56% dari 1000 orang responden mengalami stres, gangguan tidur sebanyak 42,6% orang. Disusul dengan 28,2% orang mengalami kecemasan dan 24,9% mengalami kesepian. 20,7% depresi dan 9,1% lain mengalami gangguan kognitif.
Di masyarakat logika mistika symptom kecemasan yang akut kerap disangkut pautkan dengan hantu. Misalnya gejala stres pada ratusan buruh yang tertekan karena pekerjaan akhir tahun disebut sebagai kesurupan.
Menurut penelitian dari Universitas Berry: Neoliberalisme and The Commodification of Mental Health, konsep kesehatan mental ini dihasilkan dari konstruksi sosial masyarakat neoliberal. Klasifikasi gangguan mental menjadi suatu proses yang jauh dari sekedar ilmiah. Hal ini dibentuk oleh tujuan tujuan politis dan orientasi pada keuntungan yang terkait dengan meningkatnya korporatisasi kedokteran , termasuk bidang kesehatan mental (Jasso aguilar dan Watzkin 2012 ; Thomas et al. 2005; Timimi 2012a; Watters 2010; whatley dan Raven 2012).
Menurut penelitian ini, konsep gangguan mental disebarkan oleh banyak orang dibidang medis sebagai fakta medis. Kemudian mulai dipandang sebagai kondisi yang sebagian terpisah dari kontingensi sosial, ekonomi dan politik. Kesehatan mental berubah menjadi patologi pribadi yang dapat didiagnosis dan diobati melalui tradisi yang dianggap bebas nilai dan metode naturalistik sains dan kedokteran. Akibatnya penyakit-penyakit dan perawatannya diubah menjadi komoditas atau merek yang dapat dibeli dan dijual.
Diceritakan dalam penelitian ini jika penggunaan obat psikotropika terus menjadi pendekatan utama untuk mengobati setiap individu. Pengobatan ini memungkinkan mereka mengatasi tantangan pribadi mereka dan menyesuaikan diri ke dalam tatanan pasar yang berlaku
Seiring dengan meningkatnya kemampuan farmakologis kedokteran untuk menciptakan pil khusus untuk kondisi tertentu. Pasar memberikan solusi untuk masalah kehidupan, dalam bentuk konsumsi obat.
Dua faktor utama inilah yang menyebabkan penyebaran luas obat ''antipsikotik'' pertama dan memulai revolusi psikofarmakologi –yaitu, pemasaran dan pencitraan merek serta pemeliharaan tatanan– diperkuat secara signifikan setelah penggabungan dengan ideologi neoliberal dan kerangka kelembagaan yang mempromosikan pasar sebagai prinsip pengorganisasian kehidupan manusia dan konsumerisme sebagai ''bentuk kewarganegaraan tertinggi'' (Giroux 2008).
Penelitian ini mengatakan jika menentang kekuatan kontrol medis saat ini membutuhkan lebih dari sekadar gerakan menuju demedikalisasi. Namun hal itu tidaklah cukup, dibutuhkan juga oposisi ideologis yang terpadu terhadap asumsi dasar dan praktik kelembagaan yang membentuk cara kita memahami apa artinya menjadi manusia dan masyarakat.
Maka penting untuk melihat ini secara historis. Di Amerika peningkatan medikalisasi terjadi selama 30 tahun. Sebagian besar merupakan produk dari desakan masyarakat pasar bahwa kebahagiaan manusia, dan pengobatan tekanan mental, hanya dapat dicapai melalui konsumsi.
Seperti biasanya akhirnya sistem yang sakit ini hanya akan menawarkan penawar rasa sakit, tetapi tidak pernah mengobati penyakitnya. Prozac menjadi salah satu obat terlaris tak lama setelah diperkenalkan sebagai ''antidepresan'' pada tahun 1987, estimasi frekuensi gangguan depresi dalam setengah abad terakhir telah meningkat 1.000 kali lipat, dari 50 hingga 100 per juta pada tahun 1950-an menjadi 100.000 per juta pada tahun 2000 (Healy 2002:69).
Penelitian ini menyatakan beberapa dekade kebijakan neoliberal dan revolusi psikofarmakologis diterapkan, justru mulai mengubah penderita tekanan mental menjadi konsumen. Tetapi, kebijakan ini tidak membuat sebagian besar penduduk AS lebih waras, lebih bahagia, kurang cemas, atau kurang tertekan.
Sebaliknya, sejak tahun 1955, telah terjadi peningkatan yang ''menggemparkan'' dalam jumlah kejadian gangguan mental berat yang dilaporkan di seluruh Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena setiap metrik yang digunakan untuk mengukur gangguan mental yang melumpuhkan di Amerika Serikat justru menunjukkan peningkatan secara dramatis. Tren ini, sebagaimana diamati oleh Healy (2002), dapat disaksikan dalam semua aspek psikiatri
Peningkatan ini tidak hanya menunjukkan kegagalan medikalisasi sebagai cara utama untuk mengatasi tekanan mental tetapi juga fakta bahwa kebijakan neoliberal terutama (sejak tahun 1980-an) merupakan bentuk kekerasan struktural yang jelas dampaknya pada kesehatan mental seseorang.
Kecanduan dan perilaku adiktif bagi banyak kritikus neoliberalisme, merupakan hasil yang dapat diprediksi dari masyarakat konsumen. Konsumerisme dalam bentuknya yang paling mendasar membuat kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui konsumsi. Hal ini erat kaitannya dengan pemenuhan ego, kepuasan spiritual, dan identitas pribadi (Pe’rez dan Esposito 2009).
Bahkan penelitian ini mengungkapkan banyak obat farmasi saat ini tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan itu sendiri, tetapi malah dirancang untuk meningkatkan tubuh sedemikian rupa sehingga membuat seseorang lebih kompetitif, menarik, dan/atau laku, sekaligus mengabaikan peran struktur sosial dalam semua pertimbangan ini.
Sekali lagi, neoliberalisme dan kapitalisme dalam mengatasi “penyakit yang di pribadisasi” di masyarakat yang tertekan, cemas dan tidak puas adalah dengan memainkan peran konsumen. Orang-orang tidak hanya didorong menghadapi masalah kesehatan mental dengan mengonsumsi obat-obatan. Namun, mereka juga hidup dalam konteks budaya yang mendorong bentuk-bentuk ''pelarian'' dari realitas pasar yang menindas mereka. Orang beralih ke televisi, video permainan, dan gosip selebriti sebagai cara untuk ''melarikan diri'' dari kenyataan sehari-hari. Mereka secara tidak sadar memainkan peran sebagai konsumen sambil terus indoktrinasi ke dalam sistem nilai –individualisme, kompetisi, kekayaan, materialisme– yang menopang realitas pasar yang berlaku.
Jika di muka telah dipaparkan lubang depresi masyarakat yang lahir karena kapitalisme dan neoliberalisme melahirkan masyarakat yang individual bersamaan. Maka kemudian penting bagi kita untuk memperkuat jaring sosial bukan?
Jika kapitalisme telah mendudukkan kerentanan situasi dan ketidakberdayaan pada setiap individu, maka penting bagi kita untuk keluar dari kebuntuan-kebuntuan ini secara kolektif.
Kita akhirnya harus menyadari jika kecemasan ini tidak hanya terjadi pada kamu. Tapi juga pada orang yang mungkin saat ini tengah duduk di sampingmu.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung