• Opini
  • Kebijakan Baru Distribusi LPG 3 Kilogram, Solusi atau Beban Anyar Bagi Rakyat Kecil?

Kebijakan Baru Distribusi LPG 3 Kilogram, Solusi atau Beban Anyar Bagi Rakyat Kecil?

Pengecer LPG 3 kilogram yang ingin beralih menjadi pangkalan resmi sulit memproses perizinan. Regulasi baru lebih menguntungkan pelaku usaha besar.

Heny Hendrayati

Dosen Prodi Manajemen – Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

Warga saat banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 27 April 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

6 Februari 2025


BandungBergerak.idPemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengumumkan kebijakan baru terkait distribusi gas elpiji 3 kilogram yang mulai berlaku pada 1 Februari 2025. Kebijakan ini bertujuan memastikan subsidi tepat sasaran dengan membatasi penjualan hanya melalui pangkalan resmi Pertamina, sementara pengecer harus mendaftar sebagai pangkalan resmi untuk tetap beroperasi. Meski niat kebijakan ini baik, pelaksanaannya menimbulkan berbagai tantangan di masyarakat.

Saat ini, harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kilogram yang ditetapkan oleh Pertamina bervariasi di setiap daerah. Secara umum, HET LPG 3 kilogram di kalangan pangkalan gas di Jawa Barat berkisar antara 16.600 hingga 19.500 rupiah per tabung, tergantung pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sementara di pasar pengecer harganya bisa mencapai 22.000 hingga 25.000 rupiah per tabung. Perbedaan harga ini menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar antara harga resmi dan realitas di lapangan.

Ketimpangan Ekonomi dalam Kebijakan Baru

Jika dilihat dari sisi ekonomi, kebijakan ini membawa dampak yang beragam. Salah satu dampak positifnya adalah harga LPG yang lebih stabil, terutama di pangkalan resmi. Selama ini, masyarakat sering kali membeli LPG dengan harga lebih mahal di pengecer. Dengan sistem distribusi yang lebih ketat, seharusnya harga dapat lebih terkendali.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru menghadirkan tantangan besar, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya mengandalkan pengecer untuk mendapatkan LPG. Kini mereka harus pergi lebih jauh ke pangkalan resmi yang menambah biaya transportasi dan waktu. Bagi rumah tangga miskin yang daya belinya terbatas, tambahan pengeluaran ini bisa menjadi beban yang berat.

Sementara itu, pelaku usaha kecil seperti warung makan dan pedagang kaki lima juga terdampak. Pasokan yang lebih sulit diperoleh menyebabkan harga LPG berpotensi naik, sehingga mereka terpaksa menaikkan harga jual produk mereka. Hal ini bisa mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan dan menurunkan omzet usaha kecil.

Bagi para pengecer, kebijakan ini bisa menjadi pukulan telak. Banyak dari mereka yang kini kehilangan mata pencaharian karena tidak mampu memenuhi syarat untuk menjadi pangkalan resmi. Hal ini meningkatkan potensi pengangguran di sektor informal, yang pada akhirnya berdampak lebih luas terhadap kondisi ekonomi masyarakat kelas bawah.

Dampak Sosial: Stigma dan Ketidakadilan dalam Distribusi

Dari sisi sosial, kebijakan ini juga memunculkan berbagai permasalahan baru. Di satu sisi, dengan pembatasan distribusi, diharapkan hanya masyarakat yang benar-benar membutuhkan yang mendapat subsidi. Namun, kebijakan ini juga berisiko menciptakan stigma bagi mereka yang harus menunjukkan dokumen tertentu untuk mendapatkan LPG bersubsidi. Banyak keluarga miskin yang merasa tidak nyaman ketika harus membuktikan bahwa mereka berhak menerima subsidi ini.

Lebih jauh lagi, keterbatasan jumlah pangkalan resmi di beberapa daerah dapat mendorong munculnya pasar gelap. Jika distribusi LPG 3 kilogram tidak cukup merata, masyarakat yang tidak bisa mengakses pangkalan resmi mungkin terpaksa membeli dari pedagang ilegal dengan harga yang lebih tinggi. Ini bertentangan dengan tujuan utama kebijakan, yakni memastikan subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat miskin.

Kurangnya sosialisasi mengenai perubahan sistem distribusi ini juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak masyarakat yang masih belum memahami bagaimana cara mendapatkan LPG bersubsidi di bawah aturan baru ini sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

Birokrasi Perizinan: Mengapa Harus Berbelit-belit?

Salah satu kritik terbesar terhadap kebijakan ini adalah sulitnya proses perizinan bagi pengecer yang ingin beralih menjadi pangkalan resmi. Mereka harus memenuhi berbagai persyaratan administratif, seperti memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), NPWP, serta sertifikat keamanan penyimpanan LPG. Proses perizinan yang panjang dan rumit ini membuat banyak pengecer kecil tidak bisa melanjutkan usahanya.

Lebih dari itu, ada indikasi bahwa regulasi ini lebih menguntungkan pelaku usaha besar yang memiliki akses lebih mudah terhadap birokrasi dan modal untuk memenuhi persyaratan perizinan. Akibatnya, pasar distribusi LPG 3 kilogram bisa semakin terkonsentrasi di tangan segelintir pihak saja, yang berpotensi meningkatkan ketimpangan ekonomi.

Tidak hanya itu, praktik pungutan liar dalam proses perizinan juga menjadi perhatian. Banyak pelaku usaha kecil mengeluhkan adanya biaya-biaya tidak resmi yang harus mereka bayarkan agar proses perizinan berjalan lebih cepat. Jika tidak ada pengawasan yang ketat, kebijakan ini justru bisa membuka celah bagi korupsi dalam sektor distribusi energi. 

Baca Juga: Mengapa Banyak Startup di Indonesia Tutup dan tak Bisa Bersaing?
Menyusun Strategi Kampanye Pilkada Berdasarkan Data dan Analisis Media Sosial
Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial

Pekerja sedang bertugas di pangkalan gas Limas Raga, Bandung, Jawa Barat, 11 Juli 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Pekerja sedang bertugas di pangkalan gas Limas Raga, Bandung, Jawa Barat, 11 Juli 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Solusi yang Bisa Diterapkan

Agar kebijakan ini bisa berjalan dengan lebih efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif yang besar, beberapa langkah perbaikan perlu segera dilakukan:

1. Penyederhanaan Proses Perizinan [tulis tebal dari penulis, red]. Pemerintah harus menyederhanakan mekanisme perizinan bagi pengecer yang ingin menjadi pangkalan resmi. Jika memungkinkan, pendaftaran bisa dilakukan secara daring dengan prosedur yang lebih transparan dan sederhana.

2. Menambah Pangkalan Resmi di Daerah Terpencil. Untuk mengatasi kesulitan akses, pemerintah perlu memastikan bahwa jumlah pangkalan resmi mencukupi di seluruh daerah, terutama di wilayah terpencil yang selama ini mengandalkan pengecer.

3. Meningkatkan Pengawasan terhadap Harga di Lapangan. Pengawasan ketat terhadap harga elpiji 3 kilogram di pasaran sangat diperlukan untuk mencegah harga yang melambung akibat kelangkaan. Sanksi tegas harus diberikan kepada pihak yang terbukti menjual LPG bersubsidi dengan harga di atas HET.

4. Menghapus Pungutan Liar dalam Perizinan. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada pungutan liar dalam proses perizinan. Mekanisme pengaduan harus diperkuat agar pelaku usaha kecil bisa melaporkan jika menemukan praktik korupsi dalam proses perizinan.

5. Sosialisasi yang Lebih Intensif. Banyak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami kebijakan baru ini. Oleh karena itu, sosialisasi harus dilakukan lebih luas melalui berbagai kanal, termasuk media sosial, surat kabar, dan pertemuan langsung di tingkat desa. 

Penutup : Perbaiki Regulasi, Jangan Tambah Beban Rakyat

Kebijakan distribusi LPG 3 kg yang baru ini memiliki niat baik, namun pelaksanaannya masih jauh dari kata ideal. Jika pemerintah tidak segera memperbaiki mekanisme perizinan dan distribusi, kebijakan ini berisiko semakin menambah beban ekonomi masyarakat miskin dan usaha kecil. Regulasi yang diterapkan seharusnya tidak sekadar memastikan subsidi tepat sasaran, tetapi juga tetap mempertimbangkan kemudahan akses bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkannya.

Masyarakat Indonesia berharap agar kebijakan ini tidak hanya menjadi langkah administratif belaka, tetapi juga benar-benar memberikan manfaat nyata bagi mereka yang membutuhkan. Jika pemerintah ingin memastikan keadilan dalam distribusi energi, maka pendekatan yang lebih inklusif dan solutif harus segera diterapkan.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Heny Hendrayati, atau artikel-artikel lain tentang Kemiskinan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//