• Berita
  • Mempertahankan Ruang Hidup di Sinema Darurat

Mempertahankan Ruang Hidup di Sinema Darurat

Sinema Darurat, ruang diskusi dan pemutaran film di Rumah Kuri, Bandung memutar film Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor. Perjuangan warga menolak kerusakan lingkungan.

Pemutaran film Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor di Rumah Kuri, Bandung, Jumat, 31 Januari 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah7 Februari 2025


BandungBergerak.id - Film memerlukan wadah apresiasi. Hal ini disadari oleh Rumah Kuri dengan mengagas Sinema Darurat sebagai ruang untuk siapa saja yang ingin memutar film. “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor” menjadi salah satu film yang diputar di ruang komunitas Bandung utara ini. 

Film garapan Terracota Films yang berkolaborasi dengan PBHI Jawa Barat dan bandungbergerak ini bercerita tentang dampak proyek strategis nasional (PSN) terhadap warga di kaki Gunung Tampomas yang terusik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (geothermal). Warga khawatir pengeboran geothermal di Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang mengancam lingkungan dan ruang hidup mereka. 

Pengelola Sinema Darurat Darmawan Syahid menuturkan, film Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor menunjukkan negara tak pernah melibatkan masyarakat dalam pembangunan proyek strategis nasional atau pengeboran geothermal. Rencana ini bukan hanya menganggu lingkungan melainkan juga bisa berdampak pada ekonomi dam budaya. 

"Geothermal yang dipraktikkan di Indonesia itu tidak berpihak pada masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam PSN itu sangat sedikit dan yang jelas itu buruk," kata Darmawan, kepada BandungBergerak di Rumah Kuri, Jumat, 31 Januari 2025. 

Darmawan menambahkan, ke depan Sinema Darurat terbuka bagi individu atau komunitas yang ingin memutar film berbagai tema. Ruang Kuri merupakan ruang apresiasi bagi film-film karya para sineas.

Senada dengan Darmawan, Ridha Budiana, salah satu peserta yang hadir, mengatakan film-film yang menyoal permasalahan ekologi penting untuk didiskusikan dan dikabarkan agar semua memiliki empati dan tergerak hatinya menjaga bumi. 

Di Bawah Bayang-bayang Mata Bor sendiri merupakan film dokumenter yang menceritakan perjuangan warga di tiga kecamatan sekitar Gunung Tampomas. Warga melawan rencana pengeboran panas bumi yang direncana pemerintah sejak tahun 2008. 

Sayangnya, beberapa arsip perjuangan warga tidak terdokumentasikan. Akan tetapi, dalam dokumenter yang tayang kurang 32 menit ini berhasil merekonstruksi perjuangan warga melalui animasi.

Lena, ilustrasitor film Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor menjelaskan, pengerjaan gambar untuk ilustrasi film tidak memakan waktu lama karena ia sudah mengantongi hasil riset. 

"Setelah riset, lalu menggambar perjuangan warga dan bagaimana geothermal dibangun. Jadi tiba-tiba ada alat industri dan lahan yang banyak bangunan, kerasa banget beda. Gersang dan segala macamnnya," ujar Lena.

Baca Juga: Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik lewat Sinema Kuriling
Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan
Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal

Geotermal dan Dampak Buruk Bagi Masyarakat 

Di Jawa Barat sedikitnya terdapat di 331 titik sumber energi yang diklaim sebagai energi terbarukan. Narasi pemerintah mengenai energi terbarukan cenderung mengedepankan masalah investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dan mengesampingkan kepentingan warga.

Padahal, eksplorasi dan eksploitasi panas bumi untuk pengadaan energi sama sekali tidak boleh mengesampingkan faktor dampak sosial serta lingkungan hidup masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL). 

Celios (Center of Economic and Law Studies) dan Walhi dalam Geothermal di Indonesia Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi (2024) menjelaskan, pengembangan geothermal dan penetapan lokasi pembangunan kerap kali mendapat protes dan penolakan warga. Masyarakat tidak dilibatkanya dari awal pembangunan. Persoalan semakin besar ketika protes atau keberatan masyarakat atas rencana itu diabaikan.

Di Desa Karang Tengah, Banyumas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden menghasilkan ancaman ruang hidup berupa kerusakan lingkungan. Terjadi konflik ruang hidup warga dengan PT Sejahtera Alam Energy (SAE) yang berbekal Izin Eksplorasi Kepmen ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010 dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui SK Gubernur Jateng Nomor 451/27/2011.

Kedatangan PT SAE dan melakukan eksplorasi dan pengeboran tidak diketahui warga sekitar dan tidak disosialisasikan pembangunannya. Dari laporan Tim Riset Aliansi Selamatkan Slamet dikatakan bahwa  PT SAE baru melakukan sosialisasi tahun 2016 dan 2017 atau 56 tahun setelah eksplorasi dimulai. 

Sosialisasi dilakukan setelah warga merasakan dampak lingkungan berupa air sungai keruh dan serbuan satwa liar yang merusak lahan pertanian warga sekitar gunung Slamet. 

Celios dan Walhi mencatat pembangunan PLTP di Indonesia hanya mengutamakan kepentingan para pengembang baik swasta ataupun perusahaah pemerintah. Pelibatan warga dianggap tidak penting.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Panas Bumi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//