• Kolom
  • PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #5: Agama Sunda

PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #5: Agama Sunda

Berdasarkan tuturan Pantun Bogor, agama Sunda berlandaskan keyakinan akan adanya Sang Hyang Tunggal dan proses perjalanan waktu yang diatur oleh Sang Hyang Kala.

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Batara Kala. (Foto: COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Wajangpop_voorstellende_Batara_Kala_TMnr_3582-69) Figure 1COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Wajangpop_voorstellende_Batara_Kala_TMnr_3582-69, Wikimedia Commons)

11 Februari 2025


BandungBergerak.id – Salah satu misteri dalam sejarah Sunda adalah perkara agama. “Agama apakah yang dianut masyarakat Sunda kuna, sebelum mereka menganut Islam?” merupakan pertanyaan kerap diajukan. Sebagian sejarawan menyebutnya Hindu, sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara pra-Islam. Sebagian lain menyebutnya Sunda Wiwitan, agama lokal orang Sunda. Ki Komara pada bagian “Agama” menyebutkan bahwa ada orang-orang yang menyebut agama orang Sunda adalah agama matahari karena dianggap menyembah matahari. Bahkan, secara lebih “praktis”, ada yang menyebutnya sebagai agama kafir mengingat adanya bukti berupa arca-arca yang disembah dan dikeramatkan oleh orang-orang yang tidak memeluk agama Islam.

Bagaimana dengan keterangan dari Pantun Bogor? Sebagai epos panjang mengenai kehidupan masyarakat Sunda masa Pajajaran, Pantun Bogor –melalui juru pantunnya, Aki uyut Baju Rambeng– menegaskan, “Kata mereka yang mengetahui, agama orang Pajajaran itulah yang disebut Agama Sunda.” Dalam agama tersebut, yang diutamakan dan diagungkan adalah yang disebut Sang Hyang Tunggal, anu nunggal ngan sahiji, anu muhung di ayana, anu aya tanpa rupa tanpa wujud, hanteu kaambeu-ambeu acan (yang manunggal satu-satunya, yang ada senyata-nyatanya, tanpa rupa, tanpa wujud, tak tercium sedikit pun).

Ada pun yang menjadi dewa, bukan Siwa bukan Wisnu, melainkan Sang Hyang Kala. Bagi yang mempelajari dan memahami jiwa Pantun Pajajaran, hal ini bukan merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Keberadaan tokoh Lengser memudahkan jalan menuju pemahaman akan hal tersebut.

Dalam episode “Kujang di Hanjuang Siyang”, ada bagian yang menceritakan penciptaan Sang Hyang Kala:

Sang Hiyang Tunggal lalu mengambil segumpal bayangan yang paling gelap dan segumpal cahaya yang paling terang. Kemudian, keduanya digabungkan untuk menciptakan sosok yang bertugas memelihara jagat, mengendalikan seluruh semesta. Namun, Beliau tidak menyadari jika di bawah tempat menyatukan keduanya, terdapat lubang tempat keluarnya air Ci Kahuripan. Tak lama kemudian, terciptalah Sang Hyang Kala! Berbarengan dengan itu, dari kolam air Ci Kahuripan, muncul sosok yang sangat mirip dengan Sang Hyang Kala! Berkatalah sosok yang merangkak naik bagai kepiting itu, “Kalau nama saya, siapa?” Sang Hyang Tunggal menggaruk-garuk kepala sambil berpikir. Lalu berkata, “Lengser!”

Baca Juga: PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #4: Lembaga Keagamaan

Sang Hyang Kala

Walaupun dalam Pantun Bogor tidak ada yang menceritakan bahwa Lengser merupakan perwujudan Sang Hyang Kala, jika memperhatikan ucapan-ucapan dan nasihat-nasihat Ki Lengser, tampak bahwa Sang Hyang Kala bagi orang Pajajaran bukanlah dewa kematian, bukan pula dewa kemusnahan, melainkan yang menguasai dan berwenang terhadap waktu.

Hal ini menarik karena berbeda dengan kisah Batara kala berdasarkan sumber-sumber dari India dan Jawa. Bagi masyarakat Jawa para-Islam, Batara Kala adalah sosok mengerikan yang sangat ditakuti karena suka memakan manusia, terutama anak-anak. Berdasarkan pandangan inilah kemudian masyarakat Jawa kerap melakukan tradisi ruwatan, yakni upaya pembebasan dari rongrongan Batara Kala (Riyanto, 2006).

Kisah penciptaan Batara Kala memiliki perbedaan yang mencolok. Menurut versi Jawa, berdasarkan kisah wayang purwa yang bersumber dari naskah Kala Tattwa dan Tantu Panggelaran, Batara Kala terlahir tanpa sengaja dan tidak diinginkan. Alkisah, saat para dewa sedang menikmatio keindahan alam di atas samudera, Batara Guru (Siwa) sedang berhasrat pada istrinya, Dewi Uma (Batari Giriputri). Namun, Sang Dewi menolaknya. Dalam pada itu, air mani penguasa kahyangan itu jatuh ke dalam samudera. Dewa Brahma dan Wisnu yang melihat hal itu dengan sekuat tenaga memusnahkannya, namun tak sanggup. Air mani itu menjelma jadi raksasa mengerikan nan sakti mandraguna dan gemar makan manusia dan dewa.

Versi India menyebutkan bahwa persetubuhan antara Batara Guru dan dan Dewi Uma terjadi. Karena dianggap melanggar kepatutan, Dewi Uma diusir dari kahyangan dan berubah wujud menjadi raksasa mengerikan yang kemudian dikenal sebagai Batari Durga atau Dewi Kali. Di suatu tempat, ia melahirkan anaknya yang juga berwujud raksasa. Itulah Kala, yang saat dewasa menikahi ibunya sendiri. Kala dan kali menjadi sepasang dewa-dewi kematian dan kemusnahan.

Sementara, dalam versi Pantun Bogor, Sang Hyang Kala merupakan Dewa yang sengaja diciptakan oleh Sang Hyang Tunggal dan diberi tugas khusus mengelola semesta. Di samping itu, ditegaskan oleh Ki Komara bahwa dalam agama Sunda tidak dikenal Dewa Wisnu dan Brahma. Sang Hyang Kala diciptakan langsung oleh Sang Hyang Tunggal. Hal ini berbeda dengan versi Jawa dan India, yakni bahwa Batara Kala merupakan putra Batara Guru. Sementara, Batara Guru memiliki dua saudara, Batara Wisnu dan Brahma. Kedua Batara inilah yang dapat menaklukkan Batara Kala, khususnya Batara Wisnu, yakni dengan cara menjelma menjadi Dalang Kandhabwana dan Brahma menjadi gender, penabuh gamelan. Dalang bertugas menceritakan asal-usul kelahiran Kala. Maka dari itu, dalam ruwatan, dalang menjadi tokoh sentral karena dianggap jelmaan atau memiliki sifat-sifat Batara Wisnu dan—yang terpenting—dapat menaklukkan Batara Kala, dengan cara menampilkan lakon Wayang Gender atau Murwakala.

Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran naratif, kehadiran Batara Kala dalam tataran simbolik memiliki persamaan. Kehadiran Batara Kala, baik dalam masyarakat Jawa maupun Sunda, sama-sama menggambarkan pandangan mereka terhadap waktu. Melalui simbolisme Batara Kala atau Sang Hyang Kala, masyarakat Jawa dan Sunda memandang waktu sebagai sesuatu yang eksternal, di luar dirinya, dan bergerak secara siklikal-spiral, maju dengan cara memutar. Hal ini berbeda dengan pandangan Barat-Modern yang melihat waktu secara integral dan bergerak secara pantarei, ada titik awal dan akhir yang berbeda. Maka dari itu, takdir atau keadaan tidak ditentukan oleh seberapa jauh seseorang mempersiapkan diri atau melakukan apa pada hari ini, tetapi ditentukan oleh seberapa pandai dia menempatkan diri pada alur atau garis waktu (Budhi, dkk, 2022). Walaupun ditegaskan bahwa Sang Hyang Kala bukan dewa kemusnahan dan kematian, jika mengacu pada pemaknaan simbolik dan universal, kekuasaan Kala mencakup kemusnahan dan kematian –dalam istilah sansekerta sendiri, kala memiliki dua arti, yakni “waktu” dan “kematian”. Bukankah istilah sastrawi untuk kematian atau kemusnahan adalah sandyakala atau senjakala?

Kembali pada Pantun Bogor, Ki Komara mengajukan asumsi mengenai sebabnya orang Sunda begitu pasrah dan toleran pada berbagai keadaan, yakni karena kepercayaan mereka bahwa “segala sesuatu ada waktunya”. Sikap itu kerap terekspresikan dalam ujaran “wayahna,” yang secara leksikal bermakna ‘waktunya, saatnya’. Jika seseorang mengalami hal-hal yang tidak mengenakan, maka akan dihibur dengan mengatakan padanya, “wayahna”, yang secara linguistik-pragmatik lebih sebagai perintah daripada pernyataan, performatif daripada informatif. Jadi, ujaran “wayahna” sebetulnya bermakna, “itu sudah ketentuan, terimalah.”

Kepercayaan Orang Sunda

Dalam konteks narasi Pantun Bogor, upaya penyadaran akan nasib atau takdir ini dilakukan oleh Lengser yang mengingatkan raja dan rakyat Pajajaran agar menerima takdir bahwa Pajajaran akan musnah. Dalam episode “Ngadegna Pajajaran”, dikisahkan bahwa pada saat Raja hendak berperang lagi, Ki Lengser berkata, “Can wayahna (belum waktunya)!”

Masih dalam episode yang sama, Ki Lengser berkata, “Lalakon urang geus ditangtukeun ku Anu Nyiyeun Lalakon mudu kieu. (Lelakon kita sudah ditentukan oleh yang menciptakan lelakon bahwa nasib kita memang begini).”

Masih kata Ki Lengser, “Mun ceuk Inyana kudu kitu, saha anu bisa mungpang papasten (Jika Dia mengharuskan begitu, siapa yang bisa mengangkat senjata)?”

Lebih jelas lagi tampak dalam ucapan Ki Lengser berikut, “Lain ngelehan eleh ku musuh, tapi ngelehan oge urang mah keuna waktu (Bukan mengalah karena kalah oleh musuh, melainkan mengalah karena kita terkena waktu).”

Dalam episode tersebut, dikisahkan peperangan antara pasukan Pajajaran dengan pasukan musuh (tidak disebutkan secara tegas, tetapi dari berbagai penanda atau petunjuk dalam berbagai adegan dan percakapan, sangat mungkin mengacu pada pasukan Kesultanan Banten. Menurut informasi sejarah yang umum diketahui, pajajaran memang berhasil dikalahkan oleh pasukan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf). Pasca-serangan pertama yang sangat memukul Pajajaran, raja berkehendak melancarkan serangan balasan. Hal itu pun memungkinkan mengingat Pajajaran memiliki prajurit-prajurit tangguh dan setia, namun ki Lengser melarangnya.

Meski bukan sosok sentral, Lengser sangat berperan penting dalam keberlangsungan Kerajaan Pajajaran. Dalam bahasa sekarang, lengser seperti penasihat spiritual bagi raja. Di samping memiliki ilmu yang mendalam, kebijaksanaan yang luas, Lengser memiliki kesaktian yang tinggi. Apalagi dalam Pantun Bogor dikisahkan bahwa Lengser bukanlah manusia biasa, melainkan sosok yang diturunkan langsung dari Kahyangan. Dalam proses penciptaan Sang Hyang Kala oleh Sang Hyang Tunggal, Lengser memang diciptakan secara tanpa sengaja, namun kemudian memiliki peran yang istimewa. Maka dari itu, sebesar apa pun hasrat raja, tetap akan patuh pada nasihat Lengser. Lengser adalah perwujudan Sang Hyang Kala, bertugas memelihara kehidupan masyarakat sekaligus memiliki pengetahuan akan yang lampau, kini, dan masa depan. 

Berdasarkan informasi dari Lengser, Masyarakat Pajajaran percaya bahwa Pajajaran akan terlahir kembali. Saat ini, waktunya untuk menghilang. Lengser meminta orang Sunda untuk menerima kekalahan dan kemusnahan Pajajaran sebagai takdir, kemudian menunggu hingga pada suatu masa kelak, Pajajaran akan berdiri kembali, “Urang tanggowan wayahna mapag ngadeg deui Pajajaran (Kita tunggu waktu menjelang berdirinya kembali Pajajaran).”

Demikianlah, dalam agama Sunda, berdasarkan tuturan Pantun Bogor, berlandaskan keyakinan akan adanya Sang Hyang Tunggal dan proses perjalanan waktu yang diatur oleh Sang Hyang Kala. Ada pun Ki Lengser merupakan manifestasi Sang Hyang Kala di tataran profan. Sejarawan Saleh Danasasmita berasumsi bahwa Ki Lengser yang ada dalam carita-carita pantun mengacu pada sosok bernama Perwakalih atau Purwagalih, penasihat Raja Pajajaran. Arca Purwagalih ditemukan di Bogor Selatan, takjauh dari situs-situs bekas Kerajaan Pajajaran. Kini Lengser menjadi salah satu tokoh yang kerap dimunculkan dalam acara perkawinan adat Sunda, yakni penyambut pengantin laki-laki yang bertingkah dan berkata-kata jenaka namun kaya dengan nasihat.

Dalam tulisan berikutnya, akan dibahas agama Sunda dari segi artefaktual, yakni arca yang menjadi properti peribadatan berikut penjelasan mengenai tata cara berdoa.  

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Topik Mulyana, atau artikel-artikel menarik lainnya tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//