Imlek dan Evolusi Identitas Sosial Setempat
Fenomena perpaduan budaya Tionghoa diaspora dengan komunitas setempat menunjukkan wujud “penghayatan” tentang identitas sosial di Nusantara.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/9/2/7/927_300x206.png)
Stephanus Djunatan
Ketua Center for Philosophy, Culture and Religious Studies (CPCReS) Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
13 Februari 2025
BandungBergerak.id – Masa Imlek masih berlangsung sampai perayaan Capgome atau Capgo Meh (hari ke-15; jatuh pada 12 Februari 2025). Dalam masa Imlek ini kita menyaksikan pagelaran budaya digelar di mana-mana. Barongsai dan Naga, juga kuliner marak disajikan oleh komunitas Tionghoa di Nusantara. Selebrasi ini ditujukan baik untuk komunitas Tionghoa, maupun kepada masyarakat umum.
Fenomena Evolusi Identitas Sosial Setempat
Yang menarik dari selebrasi ini, kita bisa menyaksikan ekspresi tradisi ini melibatkan berbagai macam representasi identitas sosial. Bisa dikatakan telah terjadi perpaduan berbagai unsur yang berasal baik dari tradisi Tionghoa Diaspora maupun dari tradisi komunitas setempat (yang juga sifatnya beragam). Perpaduan itu “berhasil” menampilkan identitas sosial masyarakat setempat secara perlahan. Kita dapat menyebut proses tampilnya identitas sosial setempat ini sebagai “evolutif”.
Dalam perayaan barongsai, kita bisa perpaduan evolutif tersebut. Kita menyaksikan pemain/penari yang mengarak barongsai, pemukul genderang, bahkan pelatihnya, melibatkan remaja yang berasal dari komunitas setempat di sekitar komunitas Tiongho). Kerja sama pemain yang berlatar-belakang identitas sosial yang beragam ini menggarisbawahi bahwa pagelaran Barongsai bukan eksklusif milik tradisi Tionghoa Diaspora. Dalam hal ini kita bisa mengandaikan, pertunjukan Barongsai merupakan perpaduan berbagai identitas sosial komunitas Tionghoa diaspora dengan komunitas lainnya. Wujudnya ialah makin tumbuhnya representasi identitas sosial setempat. Misalnya, pengalaman kota Tangerang yang makin menyaksikan tampilnya identitas sosial mereka yang multietnik.
Mirip dengan Tangerang, pertunjukan Barongsai di kawasan lain di Nusantara juga telah menjadi representasi identitas sosial setempat. Di Kawasan Kalimantan Timur misalnya. Pemain dan penabuh musik Barongsai berasal dari representasi beberapa suku bangsa. Perpaduan yang mirip tersebut tampil pula dalam selebrasi Imlek di kawasan-kawasan lainnya di Nusantara.
Sementara itu, representasi identitas sosial setempat semakin kaya kita saksikan melalui media kuliner. Kuliner masyarakat Tionghoa dan setempat adalah bukti yang tak dapat dibantah mengenai evolusi tampilnya identitas sosial setempat. Kuliner dari komunitas Tionghoa diaspora Nusantara bukan lagi milik tradisi Tionghoa bersifat baku (mulai dari segi bahan baku sampai rasa). Kuliner ini sudah menjadi representasi identitas sosial Nusantara melalui proses penyesuaian dan kreativitas rasa dan selera. Dari generasi ke generasi, selera dan rasa dari komunitas Tionghoa telah mengambil dan berkontribusi pada selera dan rasa komunitas setempat. Jejalin rasa dan selera ini menampilkan kreativitas kuliner yang unik dan khas memadukan bahan dan cara mengolah makanan dan minuman. Perpaduan kuliner selama beberapa generasi ini secara evolutif menjadikan kuliner Tionghoa sebagai khazanah kuliner identitas sosial setempat. Uniknya lagi, bahkan kuliner Tionghoa di satu kawasan identitas sosial, misalnya di Jawa Tengah, akan berbeda nuansa rasanya dengan kuliner Tionghoa di kawasan lainnya, misalnya di Sumatra Utara.
Pertunjukan Barongsai dan sajian kuliner merupakan indikasi yang berbentuk material tentang evolusi perpaduan identitas sosial setempat yang memadukan representasi komunitas Tionghoa dengan komunitas setempat. Sedangkan di tataran yang konseptual, perpaduan antara representasi identitas sosial setempat juga tampil dalam Perayaan Imlek itu sendiri. Imlek merupakan hari raya tahun baru berdasarkan penanggalan bulan. Perayaan Tahun Baru ini sebenarnya diikuti oleh bangsa-bangsa di Kawasan Asia Timur (China, Korea, Jepang dan Asia Tenggara). Perayaan ini merupakan ungkapan syukur dan permohonan atas dinamika kehidupan yang telah berlalu dan untuk dinamika di tahun berikutnya.
Sejak era Reformasi dimulai, Perayaan Imlek sendiri makin menjadi bagian yang tidak terpisah di Nusantara. Perayaan ini dinanti setiap tahunnya. Kemeriahannya bukan sebatas pertunjukan Barongsai dan sajian kuliner. Selebrasi ini juga menawarkan nilai kehidupan personal dan sosial dan harapan siapa saja untuk dinamika hidup yang lebih baik dalam tahun yang baru berjalan beberapa minggu ini. Tawaran nilai dan norma-norma kehidupan ini berkaitan dengan kemampuan setiap pribadi dan komunitasnya untuk mengalami hidup yang bertujuan. Tujuan tersebut ialah kesejahteraan. Tawaran nilai dan norma hidup ini dapat tampil dalam bentuk ‘meramalkan’ dinamika perkembangan diri sebagai pribadi yang menjadi anggota komunitas. Setiap orang dari berbagai latar-belakang dapat mencermati apa yang sebaiknya menjadi antisipasi baik untuk hal-hal positif maupun negatif.
Baca Juga: Jejak Peradaban Tionghoa di Pecinan Kota Bandung
Peran Terlupakan Kesusastraan Tionghoa di Peta Sastra Indonesia
Lilin Imlek dari Situ Aksan
Proses Interkultural: Menjadi “Setempat”
Fenomena perpaduan budaya Tionghoa diaspora dengan komunitas setempat menunjukkan wujud “penghayatan” tentang identitas sosial di Nusantara. Dari generasi ke generasi, penghayatan tersebut telah mengikuti alur evolusi. Proses evolusi yang dimaksud tidak hanya mempertahankan hidup. Evolusi mencakup pula kemampuan mengembangkan diri. Dari generasi ke generasi Tionghoa diaspora menunjukkan kemampuan mengembangkan penghayatan mereka sebagai bagian dari identitas sosial setempat.
Pengembangan penghayatan diri komunal ini telah berlangsung berabad-abad. Proses penghayatan identitas diri setempat ini secara berkelanjutan mengalami adaptasi (kontribusi unsur budaya Tionghoa ke luar untuk penyesuaian dengan budaya setempat); adopsi (mengintegrasi unsur budaya setempat ke dalam budaya Tionghoa diaspora). Dua proses penyesuaian interkultural ini terjadi baik disadari/diprogramkan maupun tidak/berjalan spontan, bawah sadar. Proses interkultural ini mewujud secara bertahap sedemikian rupa sehingga representasi komunitas Tionghoa diaspora selalu berproses menjadi bagian dari identitas sosial setempat. Proses interkultural ini pun berlangsung dalam bidang ekonomi, politik, budaya, hukum, dan agama. Inilah yang membuat kenapa Tionghoa diaspora di Jawa tetap khas jika disandingkan dengan Tionghoa diaspora di Sumatra, Sulawesi, Kalimanta, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Common sense Identitas Sosial Nusantara
Tentu saja evolusi proses interkultural ini membuat representasi Tionghoa diaspora tidak akan mencerminkan lagi representasi identitas sosial Tionghoa di tanah asalnya: Tiongkok. Ikatan dengan tanah leluhur tersebut bisa dikatakan telah sangat longgar (jika tidak dikatakan terputus, mengingat apa yang sudah terjadi secara berkelanjutan dengan budaya Tiongkok di Tiongkok). Ikatan eksistensial dengan “tanah air” leluhur berganti dengan ikatan dengan tanah setempat. Di satu pihak, Ikatan dengan “tanah” setempat ini telah menjadi “hal yang sama-sama” (atau common sense) dihayati oleh Tionghoa diaspora dengan representasi identitas sosial setempat. Di pihak lain, representasi identitas sosial Nusantara justru menjadi “masuk akal” karena “sama-sama dihayati” melalui melalui proses interkultural tersebut. Inilah mengapa keberagaman representasi Nusantara ini tidak lagi bisa dikembalikan kepada wujud homogen. Justru upaya-upaya yang selalu ingin mewujudkan suasana homogen di Nusantara akan menghapus nuansa “masuk akalnya” “Nusantara” itu sendiri.
Walaupun tetap ada upaya komunitas Tionghoa diaspora untuk kembali ke representasi leluhur melalui bahasa, adat-istiadat, ritual, dan seni, komunitas Tionghoa diaspora mengandaikan evolusi ikatan interkultural dengan representasi identitas sosial setempat. Tanpa kembali kepada representasi identitas lokal, kehadiran dan keberadaan Tionghoa diaspora justru tidak dikenali. Justru upaya kembali kepada identitas leluhur itu menegaskan evolusi komunitas Tionghoa diaspora yang khas di tengah-tengah komunitas setempat. Kehadiran itu mewarna-warnikan atau memperkaya “rasa bersama” akan penghayatan identitas setempat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang budaya