• Berita
  • PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Gonjreng Sore Bersama Abah Omtris

PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Gonjreng Sore Bersama Abah Omtris

Abah Omtris, musikus balada, merayakan seabad Pram di Bandung dengan musik akustik. Karya-karya Pram dekat dengan kehidupan rakyat kecil.

Abah Omtris merayakan Perayaan seabad Pram di Bandung dalam sesi Gonjreng Sore di teras Toko Buku Bandung, Rabu, 12 Februari 2025. (Foto: Abdurrauf Syaban/BandungBergerak)

Penulis Abdurrauf Syaban15 Februari 2025


BandungBergerak.idPerayaan seabad Pram di Bandung banyak dilakukan dengan kegiatan membaca karya penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah tanggal 6 Februari 1925. Abah Omtris merayakannya dengan caranya sendiri, yaitu melalui nada, irama, dan lirik dalam sesi Gonjreng Sore di teras Toko Buku Bandung, Rabu, 12 Februari 2025.

Di tengah suasana sore yang terasa hangat, musikus balada pemilik nama Trisno Yuwono itu melantunkan lagu yang dia ciptakan terinspirasi oleh Pram dan karya-karyanya. Dia memainkan lagu-lagunya diiringi gitar akustik.

Abah Omtris mengenal Pram melalui karya-karyanya sejak tahun 90an. Pria yang tahun ini akan berumur 56 tahun melihat Pram sebagai sosok yang kritis, sikap yang semua orang miliki.

“Pram itu kan orang kritis. Bayangin aja, tiga rezim, kolonial, Sukarno, Suharto, Pram mengalami dibui karena pikiran yang kritis. Karena bangsa ini, negara ini merdeka dibangun oleh pikiran kritis,” jelas Abah Omtris.

Bagi Abah Omtris, karya-karya Pram masih bisa dikaitkan dengan isu yang sedang dan masih terjadi sampai sekarang. Karya-karya Pram masih relevan di setiap zaman.

“Ternyata apa yang digambarkan Pram di buku-bukunya masih terjadi sampai saat ini, soal penguasaan tanah, soal penindasan, pemerasan buruh, masih banyak. Sangat relevan,” ujarnya.

Abah Omtris menciptakan lagu tentang Pram sejak akhir-akhir ini. Dia membuat sesi Gonjreng Sore berawal dari keisengannya yang dilakukan di mana pun, bahkan di platform Tiktok. Keikutsertaannya dalam perayaan seabad Pram di Bandung berawal dari ajakan pemilik Toko Buku Bandung.

Sebagai musikus balada, karya-karya Abah Omtris banyak bersentuhan dengan kondisi sosial, lingkungan, dan masyarakat. Dia tergabung dalam komunitas musisi balada Bandung. Musisi balada sendiri erat kaitannya dengan kondisi sosial dan lingkungan. Hal itu juga yang dimiliki oleh sosok Pram dan karya-karyanya. 

Kekuatan Seni dalam Membentuk Karakter Masyarakat

Abah Omtris sudah lama berkecimpung di bidang musik. Dengan musik ia mendukung serikat buruh, petani, dan aktivis lingkungan. Baru-baru ini dia menciptakan lagu yang didedikasikan untuk para buruh yang berjudul “Buruh Tak Menjual Nyawa”. Lagu tersebut tercipta dari hasil workshopnya bersama para buruh dan aktivis buruh di Rancaekek dan Cileunyi.

“Karena kan di samping persoalan upah, kondisi kerja buruh kadang-kadang tidak terperhatikan. Buruh itu menjual tenaga, menjual skill, kemampuan, bukan menjual nyawa,” ujarnya.

Abah Omtris berkeyakinan bahwa musik atau seni secara luas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu bangsa. Tegak berdiri dan robohnya satu bangsa bisa dilihat dari kualitas musiknya.

“Kalau masyarakat menganggap musik itu hanya sebagai hiburan untuk dansa-dansa, itu indikasi jatuhnya moral suatu bangsa, maka ga akan lama lagi suatu negara atau bangsa itu akan runtuh. Tapi sebaliknya, sebagus-bagusnya musik itu adalah yang membangkitkan jiwa, mengisi jiwa suatu bangsa untuk memperkokoh bangsa itu sendiri,” jelasnya.

Dia juga berpandangan bahwa apresiasi masyarakat terhadap seni bisa menjadi barometer kualitas moral dari masyarakat itu sendiri. Sebagai orang Bandung, dia merasa apresiasi masyarakat terhadap seni sudah menurun. Faktornya, antara lain masifnya penggunaan gawai dan kurangnya peran pemerintah.

Pemerintah merupakan pembuatan aturan dan kebijakan, hal itu adalah tanggung jawab yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menjadikan seni sebagai alat untuk membangun karakter bangsa. Sayangnya, pemerintah khususnya di Kota Bandung masih berpikiran bahwa seni adalah alat untuk memajukan pariwisata.

Padahal peran musik atau seni lebih dari sekedar pariwisata. Seni merupakan alat untuk membentuk karakter masyarakat menuju peradaban yang lebih maju. Maka dari itu, pemerintah dan seniman perlu bekerja sama untuk menciptakan seni yang membangkitkan jiwa dan membentuk karakter masyarakat yang lebih baik.

Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Tertolong Buku dan Lagu
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Klub Buku Laswi Edisi Spesial, Menulis Adalah Melawan
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Membaca Dalam Hati di The Room 19, Pameran Patung di Blora

Biografi Pramoedya Ananta Toer 

Laman Ensiklopedia Kemdikbud mencatat ringkasan biografi Pramoedya Ananta Toer, birikut ini intisarinya: Pram terkenal sebagai pengarang novel tahun 1940-an dengan novelnya, antara lain, Keluarga Gerilya dan Perburuan. Dia lahir di Blora dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita dari Blora.

“Nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya,” kata Ensiklopedia Kemdikbud, diakses Sabtu, 15 Februari 2025.

Ayahnya Pram adalah seorang guru yang mula-mula bertugas di HIS Rembang, kemudian menjadi guru sekolah swasta Boedi Oetomo dan menjadi kepala sekolah. Ibunya adalah anak penghulu di Rembang.

Di lingkungan keluarganya Pram dipanggil sebagai Mas Moek karena menjadi anak sulung 8 bersaudara (5 lelaki dan 3 perempuan). Atas "perintah" Pram, adiknya meletakkan nama belakang Toer sehingga nama keluarga, yakni Pradito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemisapatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer.

Pramoedya Ananta Toer menamatkan sekolah rendah (sekolah dasar) Instituut Boedi Oetomo di Blora lalu melanjutkan pendidikannya selama satu setengah tahun di sekolah teknik radio Surabaya (Radiovakschool Surabaya) tahun 1940—1941. Dia tidak memiliki ijazah dari sekolah itu karena ijazah yang dikirimkannya ke Bandung untuk disahkan tidak pernah diterima kembali akibat kedatangan Jepang ke Indonesia pada awal tahun 1942.

Bulan Mei 1942 Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Rembang dan Blora untuk pergi ke Jakarta. Dia bekerja di Kantor Berita Domei. Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944—1945) lalu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.

Tahun 1945 ia keluar dari Kantor Berita Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa. Bulan Agustus 1945, saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia sedang berada di Kediri. Tahun 1946 ia ikut menjadi prajurit resmi sampai mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur.

Dia kembali ke Jakarta tahun 1947 melalui penyusupan, tetapi ditangkap militer Belanda yang berada di Cipinang. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Dia dipenjarakan tanpa diadili di penjara Bukit Duri sampai tahun 1949.

Tahun 1950—1951 ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1950 ia menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan. Pada tahun yang sama ia menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara ketika Pram berada di penjara, yang masih keluarga dekat, Husni Thamrin.

Tahun 1952 Pramoedya Ananta Toer mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta sampai tahun 1954. Tahun 1953 ia pergi ke Negeri Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan) dan tahun 1956 berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Shun.

Dia terkagum-kagum terhadap kejayaan Revolusi Tiongkok dalam segala bidang. Tahun 1958 Pramoedya Ananta Toer masuk anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterlibatannya dengan Lekra memperhadapkannya dengan seniman golongan lain yang tidak sealiran, terutama kelompok seniman penanda tangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI.

Tahun 1962 ia menjabat redaktur Lentera. Dia juga bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai. Meletusnya gerakan 30 September 1965 (Gestapu/PKI) menghadirkan kenangan pahit dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer.

Pada penangkapan yang dilakukan oleh gerombolan pemuda bertopeng tanggal 13 Oktober 1965, ia mendapatkan penghinaan dan perlakuan yang kejam. Pendengarannya rusak karena dipukul dengan tommygun pada bagian kepalanya. Setelah itu, ia dipenjarakan di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun ia hidup dalam pengasingan di Pulau Buru.

Selepas dari pengasingan di Pulau Buru, Pram menghasilkan beberapa buku yang pada umumnya dilarang oleh Kejaksaan Agung. Namun, di luar negeri buku-buku itu terbit dan beredar luas. Bahkan, buku-buku tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Belanda. Buku-buku yang dilarang ialah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).

Beberapa tahun terakhir ini sejumlah buku Pramoedya Ananta Toer yang semula dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer memperoleh 16 penghargaan, antara lain Penghargaan Balai Pustaka (1951) dan tahun 1995 menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina. Pengukuhan Pramoedya Ananta Toer sebagai penerima hadiah tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat pada saat itu, mengingat sejarah masa silamnya. Hal itu yang menjadi dasar Mochtar Lubis mengembalikan hadiah yang sama yang diterimanya tahun 1958.

Sementara itu, Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan kepada Pramoedya dengan alasan bahwa Pram dinilai berhasil melakukan pencerahan dengan cerita yang bernas tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia. Pram juga mendapat penghargaan PEN International (1998), Dia mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun (1999), Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, (2000), dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

*Kawan-kawan bisa menyimak reportase lain dari Abdurrauf Syabanatau tulisan-tulisan menarik lain Pramoedya Ananta Toer

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//