• Buku
  • BUKU BANDUNG #78: Menjelajah Bandung dan Memahami Kompleksitasnya dalam Novel Braga At Paris Van Java

BUKU BANDUNG #78: Menjelajah Bandung dan Memahami Kompleksitasnya dalam Novel Braga At Paris Van Java

Novel Karya Foggy F.F ini tidak hanya menggali sisi romantisme Kota Bandung. Novel Braga At Paris Van Java menyajikan cerita warga kota dan problematikanya.

Foggy Fauziah Ferdiana (tengah) dan Sudarsono Katam (ujung kanan) dalam Ngadu Buku Bandung, di Kedai Jante, Bandung, 15 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Ernawatie Sutarna16 Februari 2025


BandungBergerak.idMembaca novel “Braga At Paris Van Java” karya Foggy Fauziah Ferdiana (Foggy FF) yang diterbitkan Yrama Widya terasa masuk ke dunia Anneke Maris. Dunia yang tidak asing untuk warga kota Bandung, bukan hanya tentang gambaran Bandung sebagai sebuah kota, tapi juga sebuah bingkai yang penuh dengan kenangan-kenangan yang tumbuh seiring bertambahnya usia kota, juga usia para penyimpan kenangan itu.

Keterpautan hati Anneke dengan Bandung bukan hanya karena ia lahir dan besar di Bandung, tapi lebih dari itu, kenangan-kenangan yang tumbuh bersama dirinya yang ditorehkan oleh sang ayah, Acep Maris. Dari Anneke, tergambar sosok Acep Maris yang ternyata bukan orang sembarangan di Kota Bandung.

Acep Maris adalah seorang inohong, tokoh yang tidak diragukan ketokohannya karena dikuatkan oleh pernyataan dan kesaksian yang juga disampaikan tokoh-tokoh lain dalam novel ini. Ketokohan Acep Maris menjadi satu hal yang membuat Anneke bangga namun sekaligus merasa mempunyai satu beban berat di pundaknya. Maris di belakang namanya, mau tidak mau menerbitkan harapan di hati orang-orang yang mengenal ayahnya, bahwa Anneke akan mewarisi kepedulian dan kecintaan seorang Acep Maris pada Kota Bandung.

Anneke memang tumbuh dengan warisan sarat intelektual dari sang ayah. Melalui media yang berbeda dengan ayahnya yang merupakan seorang wartawan semasa hidupnya, Anneke memilih fotografi sebagai caranya menunjukkan rasa cinta dan peduli pada Kota Bandung. Pada awalnya Anneke lebih banyak mengangkat keindahan Kota Bandung, termasuk bangunan-bangunan warisan kolonial sebagai objek fotonya. Hal itu karena besarnya jejak yang ditinggalkan sang ayah pada memorinya tentang sejarah yang mewarnai kisah bangunan-bangunan tersebut. Namun seiring perkembangan Kota Bandung melahirkan berbagai konflik dan masalah sosial. Fenomena ini menambah warna pada objek fotografinya. Ia tak melulu mengangkat tentang romantisme dan keindahan Bandung.

Bandung, Jejak Sejarah dan Problematikanya 

Foggy F.F melalui Anneke mengurai dengan manis sejarah beberapa tempat di Bandung dengan bahasa yang ringan tapi cerdas. Ada nama arsitek, tahun pembangunan, fungsi awal bangunan, dan sejarah yang berkenaan dengan banguna-bangunan tersebut diurai dalam dialog hangat yang sarat kenangan pada sang ayah. Pembaca seolah dilibatkan dalam dialog-dialog yang terjadi antara ayah dan anak tersebut.

“Ia menancapkan tongkat kayunya ke tanah. Zorg, dats als ik terug kom hier een stad is gebouwd! Kitu cenah.”

Salah satu kalimat Acep Maris yang terekam dalam kenangan Anneke saat mereka bercakap tentang awal mula berdirinya Kota Bandung. Tentang titik nol Kota Bandung yang terletak di sisi groote postweg. Dialog-dialog ringan merekalah yang mengantarkan pembaca, terutama warga di luar Kota Bandung yang mampu membawa pada perkenalan lebih dalam pada kota berjuluk Parijs van Java ini. 

Melalui dialog-dialog dan narasi yang ringan tapi dalam, Foggy juga mampu meraih atensi gen Z untuk lebih mendalami asal-usul Kota Bandung. Hal ini didapatkan pada dialog tentang Bandung dengan Dante, saya lebih suka nama itu, juga dengan para pegiat Komunitas Sireum Leutik yang notabene para generasi muda. 

Foggy, tentu saja masih melalui Anneke, menunjukkan kepedulian sekaligus kekhawatiran tentang munculnya berbagai permasalahan sosial di Bandung akhir-akhir ini. Kemacetan, keamanan, dan masalah lingkungan menjadi titik perhatian yang dikemas menarik. Ada solusi yang ditawarkan Dante Fabian yang merupakan seorang pendatang di Kota Bandung,  tentang melimpahnya sampah plastik di Bandung. Mungkin hal yang sangat sederhana, tapi akan berdampak besar jika dilakukan bersamasama secara konsisten. Dan itu pun sempat luput dari kerangka pikiran Anneke sendiri yang merupakan warga asli Kota Bandung. 

Masalah sampah plastik mendekatkan Anneke dan Dante pada satu kisah asmara. Romantis? Jika menurut sebagian besar pembaca hubungan Dante dan Anneke tidak romantis, tapi tetap romantis menurut saya. Romantis tak melulu tentang coklat, bunga, serta kata-kata indah, dan wangi. Membicarakan keberlangsungan hidup suatu kota adalah satu sisi romantis yang unik untuk sebuah hubungan. Ini titik penceritaan yang menarik menurut saya. Mengemas permasalahan suatu kota dalam problematika sebuah hubungan asmara. Keren, sih.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #75: Antara Sarayevo dan Ronggeng
BUKU BANDUNG #76: Masih Bersama Tamansari
BUKU BANDUNG #77: Ginan, Jeruji, dan Semangat Menolak Stigma

Wisatawan usai berkunjung ke kubah refraktor ganda Zeiss di komplek Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (8/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Wisatawan usai berkunjung ke kubah refraktor ganda Zeiss di komplek Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (8/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Napak Tilas Perjalanan Anneke

Hal yang menarik untuk saya yang termasuk warga yang mencintai sejarah Bandung secara ugal-ugalan adalah adanya jejak perjalana yang dilakukan Anneke Maris, entah bersama ayahnya, Acep Maris, ibunya yang mempunyai darah Belanda, Esmee, dan Edda, saudari-saudarinya, Komunitas Sireum Leutik, dan tentu saja bersama Dante Fabian.

Tak hanya seputar Braga dan pusat Kota Bandung yang sudah begitu dikenal sebagai daerah tujuan wisata, tapi menyentuh juga sisi selatan Bandung, seperti Kopo, Margahayu, sampai Lanud Sulaiman. Ke-jarambahan Anneke juga membawanya ke wilayah Bandung Utara, bukan hanya sampai Villa Isola, tapi sampai ke Peneropongan Bosscha, serta wilayah Lembang dan sekitarnya. Untuk mereka yang sudah pernah mengunjungi tempat-tempat yang dijelajahi Anneke, tentu akan membaca disertai rekaman visual tentang tempat-tempat tersebut. Tapi bukan berarti pembaca yang belum pernah berkunjung ke tempat-tempat tersebut menjadi gagap mencerna gambaran lokasi-lokasi yang dimaksud; buku ini dilengkapi sketsa-sketsa karya Dinni Tresnadewi yang mampu memberi ilustrasi yang memandu imajinasi visual pembaca.

Sebagai pembaca saya menunggu pihak penulis dan penerbit untuk menerjemahkan novel ini dalam satu bentuk napak tilas perjalanan Anneke Maris ke tempat-tempat yang disebutkan di dalam novel, hmm.. sepertinya akan menjadi sesuatu yang menarik.

Anneke Maris, Si Anak Tengah

Hal menarik lain dari karakter Anneke adalah posisinya sebagai anak tengah. Banyak pembahasan psikologi mengenai si anak tengah perempuan yang tergambar pula pada karakter Anneke. Sebagai seorang anak yang memiliki seorang kakak perempuan dan adik yang juga perempuan, Anneke tumbuh menjadi sosok penyeimbang di antara keduanya, bahkan tak jarang menjadi sosok yang menguatkan kedua saudarinya dan menyimpan apa yang sebetulnya dia rasakan. Ini bisa disimak pembaca pada saat sang ibu meninggal dunia. Anneke juga memiliki karakter mandiri yang menuntunnya menyelesaikan banyak hal tanpa harus menunggu keputusan orang lain.

Anneke tumbuh menjadi sosok yang mudah beradaptasi pada lingkungan baru, lebih terbuka pada pemikiran baru, juga lebih pemberani dibandingkan kedua saudara perempuannya, kecuali dalam menghadapi si Bleki, anjing milik tetangga. Karakter sebagai anak kedua juga tergambar pada jiwa petualang yang enggan terikat pada satu jenis pekerjaan yang mengharuskannya patuh pada aturan tertentu. Penggambaran itu sangat jelas diberikan Foggy pada sosok Anneke.

Pada simpulan akhir, sebagai sebuah novel, buku ini cukup enak dibaca. Banyak menggunakan dialog-dialog berbahasa Sunda sehari-hari yang mudah dicerna. Untuk beberapa hal, penulis memberi beberapa catatan kaki yang membantu pembacanya lebih paham pada apa yang diceritakan. Cukup mewakili keresahan warga Bandung yang mencintai kotanya. Terima kasih Foggy dan Yrama Widya!

Informasi Buku

Judul: Braga At Paris Van Java

Penulis: Foggy Fauziah Ferdiana (Foggy FF)

Genre: Fiksi

Penerbit: Yrama Widya, 2023

ISBN: 9786232058767

Halaman: 334

Bahasa: Indonesia

*Kawan-kawan yang baik dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Ernawatie Sutarna, atau artikel-artikel lain tentang Buku Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//