• Opini
  • Memang Karya Musik dapat Mengusik?

Memang Karya Musik dapat Mengusik?

Video klarifkasi permintaan maaf dan penarikan lagu Bayar Bayar Bayar oleh Band Sukatani membuat semua orang menjadi gaduh. Ancaman pada kebebasan berekspresi?

Bagus Fauzan

Dosen fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Ahli Hukum Kekayaan Intelektual.

Solidaritas Bandung menyatakan TAGAR Kami Bersama Sukatani pada Aksi Kamisan Bandung di Taman Vanda, seberang Polrestabes Bandung, Kamis, 20 Februari 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

25 Februari 2025


BandungBergerak.id – Kamis, 20 Februari 2025 Band Sukatani dengan genre musik post-punk menjadi perhatian publik di Indonesia. Karena musisi yang berasal dari Purbalingga, pencipta lagu dengan judul “Bayar Bayar Bayar”. menjadi trending di media sosial. Band Sukatani ini melakukan pernyataan klarifikasi secara terbuka melalui laman Instagram. Klarifikasi tersebut terdiri dari 2 pernyataan, yang pertama isinya kurang lebih meminta maaf kepada institusi Polri dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kedua adalah pernyataan tentang penarikan semua lagu dengan judul “Bayar Bayar Bayar” dari semua platform digital, dan pengimbauan agar seluruh masyarakat yang memiliki lagu tersebut agar tidak menggunakannya kembali. Setelahnya video klarifikasi tersebut viral, tagar #KamisBersamaSukatani pun menjadi trending di laman internet X.

Fenomena tersebut menjadi perhatian publik karena Alectroguy dan Twister Angel selaku pencipta dan penyanyi dari Band Sukatani melakukan pernyataan klarifikasi tersebut diduga karena dianggap melanggar hukum.

Baca Juga: Mahasiswa ISBI Bandung Turun Aksi, Mengencam Tindakan Pelarangan Lakon Teater Wawancara dengan Mulyono
Solidaritas untuk Sukatani dari Aksi Kamisan Bandung, Putar Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” di Seberang Polrestabes
Parade Poster Protes Indonesia Gelap di Kawat Berduri DPRD Jabar, Menyuarakan Penderitaan Rakyat dan Bersolidaritas untuk Sukatani

Kebebasan Berekspresi vs Pembatasan Hukum

Indonesia, adalah negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat (3), sebagai negara demokrasi, menjunjung tinggi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, kebebasan ini tidak bersifat mutlak dan dapat dibatasi oleh undang-undang, terutama jika dianggap mengancam ketertiban umum, keamanan negara, atau hak-hak orang lain. Dalam konteks ini, muncul dinamika pelarangan pembuatan lagu yang isinya mengkritik pemerintah dan aparat penegak hukum. Artikel ini akan membahas dinamika tersebut dari perspektif hukum Indonesia, dengan contoh konkret yang terjadi di Indonesia.

Isu pembatasan karya seni khususnya lagu sempat ramai pada tahun 2019 silam. Saat sosialisasi RUU tentang permusikan, di mana di dalamnya ada pasal yang berisi “kebebasan berekspresi, berinovasi dan berkarya dilakukan oleh Pelaku/Praktisi musik dengan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal tersebut menjadi landasan penolakan oleh sebagian besar musisi di Indonesia karena ditakutkan menjadi alat pembatasan dalam berkarya. Alhasil RUU tersebut tidak jadi dinaikkan ke Prolegnas.

Kebebasan berekspresi, termasuk melalui karya seni seperti lagu, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Seperti amanat Pasal 28C (1) UUD 1945 yang mengatakan “..setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya..”.

Namun, kebebasan ini sering kali dianggap berbenturan dengan kepentingan negara dalam menjaga ketertiban dan stabilitas. Di Indonesia, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang No 1 tahun 2024 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No 11 tahun 2008 (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Contoh Pelarangan Lagu di Indonesia

Salah satu contoh konkret pelarangan lagu yang mengkritik pemerintah adalah 1970-an ada Mimpi di Siang Bolong ciptaan Doel Sumbang, tentang kritik terhadap pemerintah Soeharto, dianggap provokatif, yang mana komponen musik dan liriknya dianggap berpotensi untuk membangkitkan opini publik terhadap pemerintah. Meski judulnya tampak santai, isi lirik dari lagu tersebut mengkritik praktik korupsi dan manipulatif elite politik pada era Orde baru.

Kemudian ada Gossip Jalanan, Slank. Lagu ini mirip dengan lagu Mimpi di Siang Bolong Doel Sumbang, liriknya menggambarkan mafia polisi, mafia pemilu, tentara yang menjadi pengawal pribadi, serta mafia narkoba yang beroperasi dengan bebas. Oleh karenanya, lagu ini sempat di larang beredar karena dianggap mengganggu stabilitas Nasional.

Surat untuk Wakil Rakyat & Bento ciptaan Iwan Fals, dengan lagunya Iwan mengungkapkan kekecewaan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, seperti kebiasaan tidur saat sidang dan kurangnya perhatian terhadap aspirasi rakyat.

Kasus lagu "Darah Juang" yang dinyanyikan oleh band bernama Banda Neira. Lagu ini, yang merupakan lagu lama dari gerakan mahasiswa tahun 1998, dianggap mengandung lirik yang provokatif dan mengkritik pemerintah. Pada tahun 2020, lagu ini dilarang untuk dinyanyikan dalam acara-acara publik oleh kepolisian setempat dengan alasan menjaga ketertiban umum dan mencegah provokasi massa.

Kasus lain yang mencuat adalah pelarangan lagu-lagu yang dianggap menghina aparat penegak hukum. Misalnya, pada tahun 2019, seorang musisi bernama Jerinx dituduh melanggar UU ITE karena lagunya yang dianggap menghina polisi. Jerinx, yang juga vokalis band SID (Superman Is Dead), membuat lagu yang mengkritik keras kinerja polisi dalam menangani kasus-kasus tertentu. Akibatnya, ia dilaporkan ke polisi dan berpotensi dijerat dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik.

Klarifikasi Electroguy & Twister Angel dalam Perspektif Hukum

Melihat video klarifkasi permintaan maaf dan penarikan lagu dari peredaran oleh Band Sukatani yang ramai di sosial media, membuat semua orang menjadi gaduh. Karena dugaan masyarakat ada intimidasi dari instansi Polri karena dijadikan obyek kritik dalam lagu “Bayar Bayar Bayar”. Bila hal tersebut tidak ada konfirmasi oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dapat menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia. Khususnya bagi para komposer/pencipta musik, karena ruang ekspresi mereka akan terbatas karena rasa takut dari fenomena tersebut. Hal ini akan menjadi problematika hukum baru di Indonesia.

Melihat musik dari perspektif hukum, pertama pada tahun 2017, Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang salah satu objeknya adalah seni, salah satunya adalah seni musik yang harus di kembangkan. Tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan ini agar dapat menjadi haluan Pembangunan Nasional. Bayangkan ketika tujuan baik dari satu peraturan di tingkat Undang-Undang dibatasi oleh tindakan pihak penegak hukum yang bersifat represif.

Klarifikasi Band Sukatani juga diduga melanggar peraturan perundang-undangan terkait penghinaan atau ujaran kebencian, oleh karenanya mereka meminta maaf. Namun menjadi pertanyaan, atas dasar apa mereka meminta maaf, peraturan mana yang diduga dilanggar oleh Band Sukatani.

Bila mengacu kepada pasal 157 KUHP, ujaran kebencian di sini bila disiarkan, pertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, tidak ada tentang lagu. Kemudian melihat pasal 310 KUHP, “..barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal..”. dari diksi tersebut sebenarnya ditujukan kepada seseorang. Namun bilamana ditafsirkan menjadi subyek hukum, berarti bisa orang atau badan hukum. Dalam hal ini lembaga Polri bisa dikategorikan sebagai badan hukum, namun sifatnya publik.

Menariknya adalah badan publik itu modalnya berasal dari uang rakyat melalui pajak, dan sifatnya harus terbuka dan siap dengan segala masukan dalam bentuk kritikan. Berbeda dengan badan hukum yang sifatnya privat, karena modalnya dari pendiri itu sendiri.

Bila mengacu kepada UUITE 2024, jelas tidak ada dasar hukum karena yang bentuk ujaran kebencian ditujukan kepada individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis, kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Lebih spesifik dari UUITE yang sebelumnya.

Pernyataan selanjutnya tentang penghentian & penarikan dari peredaran, itu tidak bisa serta merta dilakukan oleh masyarakat. Karena lagu itu adalah benda yang diciptakan oleh Electroguy, menurut hukum perdata di Indonesia. Sebagai contoh seseorang mengunduh (download) lagu “Bayar Bayar Bayar” dari platform atau sosial media, benda tersebut secara kepemilikan sudah berpindah ke tangan orang lain karena si pencipta lagu tersebut sudah memberikan akses orang lain untuk dapat memilikinya. Jadi orang lain yang sudah memiliki benda tersebut, bebas untuk memanfaatkannya.

Penarikan barang dari peredaran sebenarnya bisa saja dilaksanakan, bilamana mengacu terhadap Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun tindakan tersebut harus melalui penetapan pengadilan.

Fenomena Band Sukatani adalah segelintir permasalahan dalam dunia permusikan, harapan dari tulisan ini adalah sesuai dengan quotes “seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran” karya Pablo Picasso.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang Hukum, atau tulisan-tulisan lain tentang Pemberedelan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//