• Kolom
  • MEMOAR BUKU #14: Membaca Ulang Sang Pemula

MEMOAR BUKU #14: Membaca Ulang Sang Pemula

Buku yang paling representatif yang memberikan gambaran tentang kiprah Tirto Adhie Soerjo adalah bukunya Pramoedya Ananta Toer, yakni Sang Pemula.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Lukisan Tirto Adhie Soerjo di tembok luar Gedung YPK. (Foto: Liqo Lintang Literasiana)

4 Maret 2025


BandungBergerak.id – Beberapa bulan lalu saya mendapat pesan WhatsApp (WA) dari seorang perempuan kalau tidak salah  bernama Santi seorang pegawai dinas Museum Penerangan Jakarta yang sedang bertugas membuat konten berita sejarah terkait dengan beragam sumber penerangan yang pernah digunakan masyarakat. Adapun pesan yang disampaikan adalah mengundang saya menjadi nara sumber untuk membahas tentang peranan tokoh sekaligus perintis pers nasional R. M. Tirto Adhie Soerjo. Sebelum menerima permintaan tersebut, terlebih dulu saya menanyakan alasannya. Dari jawaban yang disampaikan, ternyata mereka mengetahui saya dari konten YouTube tentang Catatan Sejarah Pers Bandung yang diproduksi oleh Monumen Pers Nasional Solo. Memang sebelumnya  Monumen Pers Nasional pernah membuat rekaman tentang Sejarah Pers Bandung dan kebetulan saya menjadi salah satu bagian yang terlibat.           

Setelah itu saya memastikan bersedia memenuhi permintaan Museum Penerangan tersebut. Mereka menyodorkan pada saya tema besar untuk memberi gambaran tentang kiprah dan peran R. M. Tirto Adhie Soerjo yang dinobatkan sebagai perintis pers Indonesia. Tentu saja tema tersebut bukan tanpa alasan, karena Tirto dianggap sebagai orang pribumi yang berjuang dalam dunia jurnalistik yang jejak-jejaknya sangat berpengaruh pada perkembangan pers nasional.

Saya mulai membaca-baca lagi buku yang terkait Tirto, dan bahasan yang paling representatif adalah bukunya Pramoedya Ananta Toer, yakni Sang Pemula. Buku yang pertama yang diterbitkan oleh Hasta Mitra  tahun 1985 ini merupakan buku non fiksi (Jurnalistik) dan Fiksi (Cerpen dan Novel) Tirto Adhie Soerjo.  Awal saya mendapatkan buku Sang Pemula itu sekitar tahun 2003-an di lapak Pak Doni di Pasar Buku Palasari, saat sedang hunting buku dengan seorang kawan, Cery Yanto.

Saat itu dengan harga relatif murah Rp 45.000 saya mendapatkan buku Sang Pemula, waktu itu harga buku-buku Pram memang belum segila sekarang. Adapun kawan saya mendapatkan buku tebal Sedjarah Hidupnya K. H. A Wahid Hasyim. Sedangkan untuk keperluan wawancara dengan pihak Museum Penerangan itu, saya membaca ulang buku Sang Pemula yang telah direvisi terbitan Lentera Dipantara (2003), ditambah buku Oleh-oleh Dari Tempat Pembuangan terbitan Octopus Jogja (2017), buku yang menghimpun tulisan-tulisan Tirto yang dimuat dalam surat kabar Medan Prijaji tahun 1910.

Sampul buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Indra Prayana)
Sampul buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Indra Prayana)

Baca Juga: MEMOAR BUKU #11: Buku Yang Mempengaruhi (1) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
MEMOAR BUKU #12: Buku Yang Mempengaruhi (2) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
MEMOAR BUKU #13: Menerbitkan Kembali Buku Pers dan Massa Karya Njoto

Wawancara tentang Tirto

Tiga hari setelah obrolan dengan Mbak Sinta di pesan WA itu,  saya disuruh datang ke Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) di Jl. Naripan Bandung untuk wawancara dan pengambilan gambar. Gedung YPK sendiri sebagaimana banyak ditulis sejarawan merupakan tempat lahirnya surat kabar Medan Prijaji yang dirintis Tirto. Sekitar jam 2 siang saya sampai ke lokasi, di ruang utama sudah siap sebuah kursi dan kamera-kamera yang dihadapkan. Sebelum giliran saya tiba, pihak Museum Penerangan terlebih dahulu mewawancarai kang Isa Perkasa selaku kurator Gedung YPK. Tak lama setelah itu saya dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan, dengan dua orang  dari pihak Museum Penerangan yang sudah siap mewawancara. Setelah aba-aba dari kameramen, pertanyaan mulai meluncur dari mereka. Berikut sedikit transkrip wawancaranya :

Tanya: Kang , gimana sebenarnya latar belakang dan kehidupan Tirto Adhi Soerjo itu ?

Jawab: Tirto Adhie Soerjo atau TAS sebagai mana banyak ditulis oleh para sejarawan dilahirkan di Blora Jateng pada tahun 1880, tetapi dalam buku “Perjuangan Indonesia dalam Sejarah“ (penerbit Patani Bogor 1950) yang ditulis oleh anak sulungnya Raden Mas Priatman , menyebutkan bahwa TAS lahir pada 1875. Begitu juga pendapat Soebagijo I. N. dalam bukunya “Sebelas Perintis Pers Indonesia” yang menuliskan 1875. Sedangkan dalam buku Sang Pemula Pramoedya menyepakati TAS lahir pada 1880, entah pendapat mana yang lebih akurat.  Tirto memiliki nama kecil Djokomono yang selepas menamatkan sekolah dasar Belanda , langsung masuk sekolah dokter STOVIA di Batavia.      

T: Bagaimana perjalanan karier Tirto Adhi Soerjo sebelum mendirikan Medan Prijaji ?

J: Perjalanan karier kewartawanannya dimulai saat membantu “Chabar Hindia Olanda” yang terbit di Batavia antara 1888-1897  pimpinan Alex Regensburg selama beberapa tahun, selanjutnya Tirto juga membantu “Pembrita Betawi” sebuah surat kabar berkala pimpinan Overbeek Bloem, sempat juga bekerja di Pewarta Priangan yang terbit di Bandung. Setelah bermukim di Cianjur dengan menikahi  Siti Habibah, Tirto menetap di Desa Pasircabe Cianjur dan mendirikan Soenda Berita (1903) dengan bantuan Bupati Cianjur R. A. Prawiradiredja, Soenda Berita yang dalam buku Sang Pemula Pramoedya  itu disebut sebagai terbitan pertama dalam sejarah Pers Indonesia. Selain itu ia juga membuat Poetri Hindia (1908), dll.

T: Apa sebenarnya visi dan misi Tirto Adhi Soerjo dalam mendirikan Medan Prijaji itu ?

J: Setidaknya ada beberapa poin yang kemungkinan dapat dijadikan landasan Tirto dalam mendirikan Medan Prijaji . Pertama sebagai alat untuk menyampaikan informasi kepada publik, kedua sebagai pembela dan penyuluh keadilan, ketiga sebagai “lawyer” yang memberikan bantuan hukum kepada orang-orang yang tertindas, keempat dapat menggerakkan bangsa untuk berorganisasi dan mengorganisir diri, kelima memperkuat dibidang usaha perdagangan, dan dapat membangun dan memajukan bangsanya. Poin-poin itulah yang ia tuangkan dalam menerbitkan Medan Prijaji pada tahun Januari 1907 dan berakhir pada 3 Januari 1912.

T: Bagaimana Medan Prijaji menyuarakan kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda?

MP melakukan kritik kepada sistem pemerintah kolonial sangat lugas dan terbuka bahkan keras, misalnya pada kasus penyalahgunaan kekuasaan A. Simon yang bersekongkol dengan seorang wedana untuk mendongkel seorang lurah di sebuah pedesaan. Dalam menentang perilaku seperti itu , ia langsung menyebutnya sebagai “Monyet Ingusan”, artinya kritik tersebut tanpa tedeng aling-aling. Tunjuk dan lugas.

Tentang berbagai tindak kesewenang-wenangan ini, Tirto pernah menulis di Medan Prijaji No. 20 tahun 1910 :

“Orang-orang yang pegang pemerintahan sering berpikir, bisa menjalankan pemerintahan dengan sempurna, mesti dilakukan dengan paksaan dan kekerasan jadi bukan dilakukan dengan teladan yang baik sehingga dengan teladan yang baik ini orang melakukan kewajibannya dengan cinta dan setia. Tidak demikian halnya dengan paksaan dan kekerasan, itu hanya dilakukan kepada yang terperintah, dan hanya takut dan batinnya tidak terlepas dari kebencian” (Hal: 6, 2017)

T: Apa pengaruh Medan Prijaji dalam membangkitkan kesadaran nasional bangsa Indonesia?

J: Dalam surat-surat rahasia dari seorang penasihat gubernur Dr. Rinkes kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pernah menyarankan untuk memperhatikan gerak-gerik Medan Prijaji dan mengambil tindakan apabila perlu karena menurutnya Medan Prijaji  telah menimbulkan keresahan dan kekhawatiran. Dalam salah satu cacatannya Rinkes menulis bahwa:  satu-satunya terbitan yang mendominasi semua terbitan adalah Medan Prijaji , selain lebih energik, penuh bakat, dan lebih berbisa sepak terjangnya dengan menjadikan seluruh Jawa sebagai medan geraknya. Artinya apa yang diwartakan oleh Medan Prijaji itu merupakan konsolidasi kesadaran secara kolektif , karena dengan kesadaran bersama senasib sepenanggungan inilah yang akan menjadikan sebuah kekuatan untuk mempreteli kolonialisme itu sendiri sehingga terbangun rasa kesadaran nasional.

T: Bagaimana pengaruh pemikiran Tirto Adhi Soerjo pada pergerakan nasional Indonesia?

J: Tirto tidak hanya dikenang sebagai seorang jurnalis tetapi juga sebagai aktivis pergerakan yang menyokong semua elemen rakyat, tak terkecuali dengan kemajuan kaum Perempuan. Misalnya saat Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Keutamaan Istri di Bandung pada tahun 1904, Tirto menjadi bagian donatur dan penasihat untuk sekolah yang didirikan khusus untuk kaum Perempuan itu. Tirto juga yang  mengangkatnya dalam laporan Medan Prijaji sehingga sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika itu terpublikasi secara luas , tidak hanya diketahui oleh kepala negeri tetapi juga oleh Inspektur Inlands Onderwijs (Lembaga Pengajaran Pribumi). Begitu pun dengan perjuangan emansipasi perempuan yang diusung oleh R. A. Kartini, Tirto  sangat antusias membantunya, dan semua pemikiran Tirto tentang nasib dan perjuangan kaum perempuan Indonesia itu di tuangkan dengan menerbitkan surat kabar Poetri Hindia  di mana  Tirto sebagai pemimpinnya.

T: Bagaimana Tirto Adhi Soerjo dikenang dan dihormati di Indonesia saat ini?

J: Karena jasa-jasanya yang besar.  Ialah orang pribumi pertama yang menerbitkan pers nasional, pribumi pertama yang menggunakan daya cetak (media) untuk membentuk opini publik, membuka ruang untuk pembaca dan penulis wanita . Ia juga  memelopori pemberian bantuan hukum dan mendirikan badan hukum.

T: Oke terima kasih Kang....

*

Sekitar satu jam kami berbincang dengan hangat dan santai, setelah itu pengambilan foto dilakukan di beberapa sudut ruangan Gedung YPK yang bersejarah itu. Di akhir pertemuan saya diberi bingkisan berupa suvenir dari Museum Penerangan Jakarta, sedangkan saya  sendiri memberikan beberapa eksemplar buku Jejak Pers di Bandung yang related dengan pers sebagai salah satu medium penerangan publik, karena dalam buku itu juga saya menempatkan Sang Pemula R.M. Tirto Adhie Soerjo dan surat kabar Medan Prijaji-nya di urutan pertama.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//