Mengupas Pandangan Jurnalis Perempuan AS dan Ulama Oxford terhadap Islam di The Room 19
Damainya Islam tergambar dari kisah hidup dua orang dengan pandangan berbeda. Program Pesantren Kilat At The Library The Room 19.
Penulis Fauzan Rafles 8 Maret 2025
BandungBergerak.id - Islam, sebagaimana banyak media barat menggambarkannya sebagai agama yang penuh kekerasan, mengajarkan terorisme, dan patriarkis. Namun, seorang jurnalis Amerika Serikat (AS) bernama Clara Power memiliki pemikiran dan pertanyaan besar di dalam kepalanya. Semangat Carla untuk mencari tahu kebenaran dari stereotip itu terangkum dalam memoar berjudul “If the Oceans Were Inks”.
Buku ini dapat memberi intisari yang mendalam soal Islam dan perspektifnya dari kaum nonmuslim. Buku ini membahas tuntas apa yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Di dalamnya terangkum hikmah dalam Al Quran dan masalah apa di dalamnya yang masih dirasakan di era modern.
Perjalanan mengenal Islam Carla Power dimulai ketika kejadian sabotase pesawat 9/11. Sejak saat itu, petunjuk dari yang maha kuasa mengantarkannya untuk menjelajahi dunia Islam.
“Ia bekerja sama dengan ulama terkemuka dari Oxford, Sheikh Mohammad Akram Nadwi. Keduanya menjalani proyek bareng yakni mempelajari Al Quran bersama-sama,” kata Aliyyah membuka diskusi buku “If the Oceans Were Ink” di The Room 19, 7 April 2025.
Rangkaian acara ini adalah kolaborasi antara The Room 19, Salman ITB, dan Studi Humanika untuk menggali lebih dalam soal Islam dalam program Pesantren Kilat at the Library.
Di bukunya Carla Power menuliskan kisah persahabatan lintas budaya dengan Sheikh Mohammad Akram Nadwi, juga menyinggung soal kerukunan antargender, peranan wanita dalam Islam, dan konsep jihad.
Carla Power dan Sheikh Mohammad Akram Nadwi juga tak segan untuk saling menantang pemahaman satu sama lain. Dari percakapan Carla dan dengan sang ulama, pembaca bisa lebih paham bahwa Islam lebih dari sekadar agama yang penuh aturan.
Buku ini ditulis Carla untuk menonjolkan dua manusia dengan pemikiran berbeda. Carla adalah wanita Amerika yang melabeli dirinya sebagai feminis, berpandangan modern, dan solois. Sedangkan Akram adalah seorang ulama yang telah menelan pendidikan Islam sejak dini.
Pola pikir Sheikh Mohammad Akram Nadwi berpusat pada Tuhan. Menurutnya, semua adalah titipan Tuhan dan puncak eksistensinya adalah ketika ia bisa mengekspresikan agensinya sebagai manusia.
Carla, sebagai perempuan yang tumbuh dengan pemahaman barat, ia melihat ada sesuatu yang tak ia setujui di dalam ajaran Islam. Ia heran kenapa banyak umat muslim yang mau diatur oleh Tuhan tanpa menolak sedikit pun.
Dan keraguan itulah yang menjadi tujuan Carla untuk meminta Akram mengajarinya soal isu-isu tersebut dalam Islam. Dengan pengetahuannya yang luas, Akram mengajari Carla secara perlahan dan mendalam.
Islam Sebagai Agama yang Kaku
Islam terkenal dengan agama yang konservatif. Itu juga memengaruhi pandangan Carla yang menyangka bahwa Islam juga menolak sains. Namun, semua stereotip itu dipatahkan oleh Akram.
Arkam memiliki anak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Anak Akram sudah seperti simbol yang menunjukkan jika Islam sangat membolehkan perempuan untuk mengemban pendidikan.
Di buku ini jelas menggambarkan pola pikir Carla dan Akram. Aditya Firman Manajer BPP Salman ITB mengatakan, satu hal yang menarik dari buku ini adalah ketika Akram disuruh mendeskripsikan dirinya. “Tapi, Akram hanya menjawab bahwa dirinya adalah seorang hamba Allah tanpa menyebut titel apa pun,” kata Aditya Firman, pemantik diskusi buku “If the Oceans Were Ink” di The Room 19.
Individualitas dalam Islam bukanlah suatu hal yang perlu dijadikan patokan. Berbeda dengan budaya barat yang selalu ingin bergerak dan selalu maju. Dan Islam hanya memandang dunia sebagai refleksi soal akhirat.
Terkait sama refleksi, buku ini sebetulnya menggambarkan jelas tujuan Islam, yaitu menjadikan agama yang damai, tidak memerangi sesama manusia, dan melawan pembodohan. Sesederhana frasa “only god can judge me”.
Dari perjalanannya memperdalam ajaran Islam, Carla menemukan kontradiksi dari semua pemahamannya, seperti wanita yang selalu dibelenggu dalam Islam. Namun Carla tidak melihat itu dalam keluarga Akram.
“Di buku ini ada satu cerita kalau dia kaget anak perempuannya pakai cadar tanpa disuruh. Dan itu sepenuhnya keinginan sang anak dan Akram membebaskan itu,” cuit Reiza yang juga menjadi pemantik.
Memakai cadar tanpa suruhan seseorang menurut Carla adalah betul-betul puncak keimanan tertinggi seseorang. Dengan cadar, dalam kata lain berarti seorang perempuan sudah siap meninggalkan semua hal soal berdandan. Itulah alasan Islam dan Al Quran lahir sebagai agama terakhir yang melengkapi seluruh umat manusia.
Baca Juga: Menimbang Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Sebuah Catatan Harian
Harmoni Sunda dan Islam dalam Puisi Isra Miraj
Tantangan Berat Sarekat Islam Majalaya
Berpandangan Terbuka dalam Islam
Dari diskusi ini, audiens menyoroti peranan wanita dalam Islam. Ola, selaku penanya meminta penjelasan mengenai Nabi Muhammad SAW yang menikahi anak berumur sembilan tahun bernama Aisyah.
Lalu, dengan mengutip dari buku tersebut, Aliyyah menjawab “Akram tuh bilang kalau Rasul tidak menikahi seseorang tanpa wahyu. Jadi rangkaian cerita rumah tangga Rasulullah itu semua berdasarkan wahyu.”
Hal-hal seperti faktor zaman, penanggalan yang belum jelas, serta cerita yang dinarasikan oleh paham pengadu domba sering kali membuat nama Islam menjadi buruk.
Jika ingin menggunakan istilah ‘open minded’ seharusnya, manusia tidak akan memandang Islam sebagai agama yang sexist. Atau, makian terhadap rasul adalah seorang pedofil tidak akan terjadi.
“Belajar Islam tuh fokusnya bukan ke hal itu. Nabi itu memang manusia biasa, tapi dia itu utusan Tuhan. Banyak perintah yang langsung dari Tuhan untuk beliau lakukan dan manusia biasa tidak mungkin lakukan,” jelas Aditya.
Tuhan sejatinya mendesain rasulnya sesuai dengan umat dan permasalahan umatnya. Manusia era modern seperti saat ini tidak seharusnya menerima mentah-mentah apa yang ada di dalam cerita nabi.
Nabi memang berperang. Namun, yang sering kali manusia lupa adalah, nabi tidak pernah serta merta langsung berperang tanpa melalui proses musyawarah. Banyak hal yang nabi lakukan sebelum akhirnya memerangi kaum kafir.
Pun juga soal menikahi banyak wanita atau anak berumur sembilan tahun. Itu adalah proses panjang yang sudah Tuhan sesuaikan untuk zamannya. Di zaman ini, tentu tidak mungkin menjiplak apa yang nabi lakukan di zamannya.
Itulah yang dimaksud berpikiran terbuka. Memahami sejarah, mengerti perjalanan hidup, dan mengerti bias apa yang ada dalam diri sendiri. Konsep ‘open minded’ seperti itulah yang diajarkan Islam. Islam yang benar tidak akan bertindak duluan sebelum memahami ilmunya terlebih dahulu.
Perjalanan Carla dalam buku ini memang tidak mengantarkannya menjadi seorang mualaf. Namun, dari pengalamannya, ia berhasil pada apa yang ia tuju. Luasnya kebijaksanaan dalam agama ini membuat dia ternganga. Dan sebagai jurnalis, ia menyebarkannya melalui artikel-artikel yang ia tulis.
Semua tulisannya bertujuan hanya untuk melawan tulisan-tulisan yang dibuat oleh media provokasi. Media yang tidak menulis tentang Islam dengan bahasaya. Melainkan dengan bahasa dan sudut pandang barat.
Dari persahabatannya dengan Akram, Carla mendapat pelajaran bahwa Rasulullah selalu mencari titik tengah dalam menghadapi permasalahan. Bagaimana seorang nabi dengan kelembutannya menyebarkan agama terhadap orang yang ingin membunuhnya. Semua dengan kesabaran dan pemikiran terbuka.
“Jadi, titik tengah itu lahir dari diskusi. Itu yang membantu kita nyari titik tengah biar manusia gak berlebihan dalam hal apa pun. Rasul dengan sangat anggun dalam menyikapi sesuatu, ya, karena dia paham titik tengah. Dia tahu kapan harus bertindak dan kapan harus berucap,” ujar Aditya sekaligus menutup diskusi tepat sebelum adzan Maghrib berkumandang.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Agama