Makan Kenyang Gizi Kurang, Sayur dan Buah Belum Jadi Elemen Utama Menu Harian Warga Jawa Barat
Warga Jawa Barat memiliki sejarah konsumsi sayuran sebagai bagian sistem ketahanan pangan mereka. Kultur ini cenderung bergeser dan dilupakan.
Penulis Hanifa Paramitha Siswanti8 Maret 2025
BandungBergerak.id - Mayoritas keluarga di Indonesia belum memprioritaskan konsumsi sayur dan buah sebagai kebutuhan pokok. Padahal keberadaannya melimpah dan peranannya vital untuk memasok kebutuhan nutrisi harian tubuh.
Nita (40 tahun), seorang ibu dengan tiga anak yang berusia remaja dan balita, mengungkapkan dirinya berusaha memasukkan sayur dalam menu sehari-hari keluarganya. Namun, untuk konsumsi buah ia mengakui anak-anaknya lebih fleksibel.
"Sayur sehari dua kali, kalau buah semaunya aja, tapi diusahakan setiap hari makan buah," ujarnya. Meski demikian, ada tantangan dalam memperkenalkan beberapa jenis sayuran kepada anak-anak, seperti brokoli yang kurang disukai oleh anak bungsunya.
Kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah juga bervariasi di kalangan remaja. Ansar (17 tahun), siswa SMKN 1 Katapang Kabupaten Bandung, memiliki pola konsumsi yang lebih fleksibel dibandingkan keluarga Nita. "Tidak ada jadwal khusus untuk mengonsumsi sayur dan buah, hanya saja bila ingat belum makan, baru segerakan makan," ujarnya.
Namun, Ansar mengakui tidak semua teman-teman di sekolahnya memiliki kebiasaan yang sama. "Biasanya dari selera mereka yang kurang menyukai buah dan sayur. Terus harga buah agak sedikit mahal," kata Ansar.
Salah satu faktor yang memengaruhi konsumsi sayur dan buah adalah keberadaan makanan dan minuman kekinian yang tinggi gula dan kalori. Nita menyebut anak-anaknya mudah tertarik dengan jajanan di luar rumah, terutama setelah mereka bersekolah.
"Yang susah itu yang udah sekolah, nggak kekontrol kan ya jajanannya. Tapi kalau udah masuk rumah, ya makan dan minum yang ada di rumah," jelasnya.
Nita juga menekankan iklan makanan dan minuman kemasan berpengaruh besar terhadap kebiasaan konsumsi anak-anaknya. "Mereka suka penasaran dengan rasanya. Minta paling kalau ke minimarket dan itu juga dilihat dulu komposisinya," ujar warga Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat ini.
Sementara itu, Ansar juga mengakui makanan dan minuman kekinian lebih menarik bagi anak muda. "Rasanya lebih lezat, seperti asin, manis, pedas. Biasanya teman-teman lebih memilih itu daripada makanan real food yang berbobot," katanya.
Ia pun menambahkan iklan makanan kemasan memiliki pengaruh besar terhadap pilihan konsumsi banyak orang. "Sangat berpengaruh karena membuat orang tertarik untuk mencoba dan orang tersebut malah kecanduan. Bikin kebiasaan untuk membeli makanan dan minuman seperti itu setiap harinya, sehingga lupa pada sayur, protein, dan buah," jelas Ansar.
Selain pengaruh makanan kekinian, harga dan aksesibilitas sayur serta buah juga berperan dalam tingkat konsumsi masyarakat. Nita merasa harga sayur dan buah masih cukup terjangkau. "Alhamdulillah masih terjangkau, pintar-pintar saja menyesuaikan dengan budget," ungkapnya.
Nita lebih memilih membeli sayur dan buah dari pasar tradisional karena harganya lebih murah dibandingkan supermarket, misalnya wortel, buncis, kangkung, labu siam, timun, apel, jeruk, dan pisang.
Senada dengan hal tersebut, Ansar pun lebih sering membeli sayur dan buah dari pedagang keliling, yakni wortel, kol, dan brokoli, serta buah-buahan seperti jeruk, apel, dan pepaya. "Karena lebih mudah ditemui dan harganya lebih murah," tuturnya.
Baik Nita maupun Ansar sepakat pemerintah dan komunitas memiliki peran penting dalam meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Nita menyarankan agar edukasi mengenai manfaat sayur dan buah lebih sering dilakukan di posyandu atau melalui iklan di berbagai media. "Bisa kasih edukasi soal sayur dan buah via posyandu misalnya atau dibikin iklan-iklan yang menarik di berbagai media," katanya.
Sementara itu, Ansar menambahkan pemerintah sebaiknya memfasilitasi masyarakat dengan cara menurunkan harga sayur dan buah serta membantu petani untuk meningkatkan produksi. Dengan demikian masyarakat bisa lebih mudah mengakses buah dan sayur dan petani semakin produktif menanam komoditas ini.

Konsumsi Buah dan Sayur dalam Sejarah Kuliner Sunda
Budaya konsumsi sayur dan buah di masyarakat Sunda memiliki akar yang kuat dan berbeda dengan tradisi kuliner di wilayah lain di Indonesia. Menurut akademisi dan peneliti sejarah pangan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, kebiasaan ini telah berlangsung sejak masa prakolonial dan menjadi bagian penting dalam pola makan masyarakat.
"Masyarakat Sunda sangat mengonsumsi aneka ragam sayur dan buah yang dipakai sebagai kebutuhan primer. Tradisi ini dapat ditelusuri melalui jejak sejarah, seperti prasasti dan naskah kuno yang mencatat kebiasaan mengonsumsi lalaban dan kuluban, dua jenis hidangan khas Sunda yang berbasis sayuran segar atau rebus,” tuturnya.
Selain didukung oleh faktor budaya, kebiasaan konsumsi sayur dan buah juga dipengaruhi oleh kondisi alam dan vegetasi. Wilayah Priangan yang memiliki curah hujan tinggi dan tanah yang subur sangat mendukung pertumbuhan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan.
Dalam buku Indische Groenten yang terbit tahun 1931, ahli botani kolonial JJ Ochse dan RC Bakhuizen van den Brink mendokumentasikan jenis lalaban yang menjadi makanan kegemaran masyarakat Sunda.
Ochse menyebutkan konsumsi sayuran dan buah di Tatar Sunda memang sangat tinggi, sehingga masyarakatnya tidak bisa lepas dari lalaban. Faktor ini juga menjadi alasan utama mengapa konsumsi protein nabati lebih dominan dibandingkan daging, tidak seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang lebih banyak mengonsumsi daging karena kondisi alam yang berbeda.
Namun seiring waktu, ada perubahan yang terjadi dalam pola konsumsi masyarakat Sunda. Masuknya berbagai jenis sayuran dan buah dari luar Nusantara sejak era kolonial telah memengaruhi komposisi lalaban.
"Orang Eropa memperkenalkan tanaman sayur dan buah baru seperti tomat, wortel, kol, dan timun sejak abad ke-16 dan ke-17. Beberapa jenis sayuran asli Sunda, seperti kecipir, honje, dan bunut, kini mulai jarang ditemukan di perkotaan dan lebih banyak tumbuh liar di perdesaan. Ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi dalam konsumsi sayur dan buah yang semakin dipengaruhi oleh globalisasi dan industri pangan modern,” papar Fadly.
Selain perubahan preferensi, faktor lingkungan dan krisis iklim juga turut berdampak pada produksi, pola panen, dan kualitas hasil pertanian. Selain itu, perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin bergantung pada makanan olahan dan cepat saji turut menggeser kebiasaan konsumsi sayuran dan buah segar.
Tantangan ini semakin besar ketika generasi muda lebih mengenal makanan asing dibandingkan makanan lokal berbasis sayuran. Menghadapi tantangan tersebut, Fadly menekankan pentingnya edukasi dan strategi kebudayaan untuk mengangkat kembali kuliner berbasis sayur dan buah sebagai bagian dari identitas masyarakat Sunda.
Upaya ini bisa dilakukan melalui sinergi antara akademisi, pelaku usaha kuliner, dan pemerintah untuk mempromosikan kembali makanan berbasis sayuran melalui berbagai media, termasuk budaya populer seperti film dan media sosial.
"Kalau generasi sekarang lebih tahu makanan Korea, kita butuh strategi kebudayaan untuk memperkenalkan kuliner Sunda agar tidak kalah dengan kuliner asing. Dengan strategi yang tepat, bukan tidak mungkin kuliner Sunda yang kaya akan sayuran dan buah dapat dikenal luas seperti halnya kimchi dari Korea,” tegasnya.
Pemenuhan Gizi yang Belum Berkelanjutan
Dilansir dari Sehat Negeriku, kanal Kementerian Kesehatan, masyarakat Indonesia terutama balita dan anak usia sekolah dianjurkan untuk mengonsumsi sayuran dan buah-buahan 300-400 gram per orang per hari dan bagi remaja dan orang dewasa sebanyak 400-600 gram per orang per hari. Sekitar dua per tiga dari jumlah anjuran konsumsi tersebut adalah porsi sayur.
Banyak studi yang mengungkapkan manfaat buah dan sayur. Sulistyorini dan kawan-kawannya dalam Jurnal Kesehatan Mahardika mengungkapkan, mereka yang mengonsumsi buah dan sayur berpeluang 3,9 kali terhindar dari diabetes. Sementara, Chaerunnisa dan Triyanti dalam Indonesian Journal of Public Health Nutrition mengungkapkan, mereka yang mengonsumsi sayur dan buah lebih terlindungi dari peningkatan risiko penyakit tidak menular. Kedua jurnal ini dipublikasikan pada 2023.
Dampak positif lainnya adalah penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi seperti ditulis Yakub dan Frare dalam Jurnal Nusantara Media pada 2020 lalu. Di tahun yang sama, Prastikaningrum dalam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Graduate Conference juga memublikasikan hasil penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan fungsi kognitif pada anak usia sekolah dasar yang mengonsumsi buah dan sayur.
Dosen Agribisnis Pangan Politeknik Negeri Lampung, Dita Pratiwi, menjelaskan sayur dan buah memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat. Kandungan serat, vitamin, dan antioksidan di dalamnya membantu sistem pencernaan, meningkatkan daya tahan tubuh, serta mencegah penyakit kronis.
“Sayur dan buah kaya akan serat, vitamin, dan antioksidan yang mendukung sistem pencernaan, daya tahan tubuh, serta mencegah penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, dan jantung. Untuk meningkatkan konsumsi, perlu edukasi sejak dini, akses mudah dan terjangkau, serta inovasi olahan yang menarik. Kebiasaan makan sehat harus dimulai dari keluarga dengan menyediakan sayur dan buah dalam menu harian maupun camilan,” jelasnya.
Selain aspek kesehatan, konsumsi sayur dan buah lokal juga berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Produk lokal lebih mudah didapat, lebih murah, dan mengurangi ketergantungan pada impor.
“Konsumsi pangan lokal mengurangi ketergantungan impor, lebih terjangkau, dan ramah lingkungan karena mengurangi jejak karbon. Meningkatnya permintaan juga membantu kesejahteraan petani serta membuka peluang usaha di bidang pangan sehat seperti jus, keripik, dan makanan fermentasi,” ujar Dita.
Meski begitu, konsumsi sayur dan buah masih menghadapi berbagai tantangan. Harga yang fluktuatif, keterbatasan pasokan di beberapa daerah, serta kebiasaan masyarakat yang lebih memilih makanan instan menjadi kendala utama.
“Kurangnya inovasi dan pengaruh kuat iklan makanan tidak sehat juga memperburuk situasi. Solusinya, edukasi harus lebih intensif, kualitas produk ditingkatkan, akses diperluas dengan harga terjangkau, dan inovasi dalam penyajian diperlukan agar lebih menarik,” tambahnya.
Sebagai akademisi, Dita memandang lembaga pendidikan dan masyarakat memiliki peran penting dalam mewujudkan sistem pangan yang mandiri dan berkelanjutan. Institusi pendidikan dapat berkontribusi melalui pengajaran tentang ketahanan pangan, keberlanjutan (sustainability), serta pemanfaatan sumber daya lokal dalam kurikulum, didukung oleh kegiatan praktik seperti kebun sekolah, penelitian inovatif, dan pelatihan kewirausahaan berbasis pangan lokal.
“Masyarakat juga dapat mendukung gerakan konsumsi pangan lokal, mengurangi ketergantungan pada impor, serta menerapkan pola konsumsi yang lebih berkelanjutan melalui inisiatif seperti urban farming atau memanfaatkan pekarangan sebagai lahan untuk menanam sayur dan buah. Kolaborasi antara masyarakat, petani, dan pelaku usaha juga dapat memperkuat rantai pasok pangan yang lebih adil dan efisien,” sambungnya.
Masih Sekadar Hiasan Piring
Hasil Survei Kesehatan Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) pada tahun 2023 mengungkapkan lebih dari 96 persen masyarakat Indonesia masih kurang dalam mengonsumsi sayur dan buah. Sederhananya, hanya satu dari 10 orang yang cukup mengonsumsi sayur dan buah.
Angka tersebut memperlihatkan masih adanya tantangan besar dalam mencapai pola makan bergizi seimbang di Indonesia.
Dilansir dari laman Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA), Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan NFA, Rinna Syawal mengungkapkan konsumsi sayur dan buah per kapita di Indonesia pada tahun 2023 baru mencapai 240,5 gram per hari.
Angka ini masih berada di bawah target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) NFA yaitu 286,9 gram per hari.
Peraturan perundang-undangan sebenarnya telah mengatur pentingnya konsumsi pangan lokal, seperti dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, PP No. 22 Tahun 2009 tentang Penganekaragaman Konsumsi Pangan, dan PP No 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal.
Terkait kebijakan pemerintah, Dita berpendapat regulasi yang ada saat ini telah memberikan dukungan terhadap pengembangan dan pemanfaatan pangan lokal, tetapi masih menghadapi tantangan dalam implementasinya. “Perlu penguatan dalam implementasi kebijakan, insentif bagi produsen pangan lokal khususnya petani serta edukasi yang lebih luas agar masyarakat lebih sadar dan tertarik untuk mengonsumsi produk lokal,” tukas Dita.
Sementara itu, Jawa Barat sendiri memiliki Perda No. 4 Tahun 2012 mengenai kemandirian pangan daerah. Berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jawa Barat, konsumsi buah dan sayur masyarakat berada di angka 6 persen dari total skala konsumsi pangan yang didominasi oleh padi-padian. Hal ini menunjukkan masyarakat masih memprioritaskan karbohidrat sebagai sumber energi utama, sementara buah dan sayur cenderung dianggap sebagai pangan tambahan.
Meskipun demikian, penerapan di lapangan masih menemui kendala, terutama dalam edukasi masyarakat serta aksesibilitas buah dan sayur lokal. Selain itu, budaya makan di Indonesia cenderung mengedepankan lauk berprotein seperti daging dan ikan dibandingkan dengan sayur dan buah.
Banyak keluarga masih menganggap sayuran sebagai sekadar pendamping nasi dan lauk, bukan sebagai elemen utama dalam menu harian. Hal ini juga diperkuat oleh persepsi buah lebih dilihat sebagai camilan atau hidangan penutup daripada bagian integral dari pola makan sehari-hari.
Kurangnya variasi dalam pengolahan sayur dan buah serta anggapan makanan sehat kurang mengenyangkan semakin memperparah rendahnya konsumsi di masyarakat. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, potensi masalah gizi, seperti defisiensi serat dan vitamin, dapat meningkat di berbagai kelompok usia.
Meskipun regulasi sudah ada, implementasinya di lapangan masih menghadapi kendala. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya diversifikasi pangan dan kecenderungan untuk tetap mengandalkan bahan pokok seperti nasi sebagai sumber utama energi. Oleh karena itu, edukasi dan promosi gizi seimbang menjadi langkah penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi buah dan sayur.
Baca Juga: Sinergi Pengawasan Antargenerasi Menangkal Hoaks Pilkada
Mencegah Politisasi Lembaga Penyiaran Selama Pilkada
Risiko Politik Populisme di Balik Fenomena Naturalisasi Artis di Gelanggang Pilkada Serentak 2024

Upaya Pemerintah Tingkatkan Konsumsi Buah dan Sayur
DKPP Jawa Barat membuat program ASRI (Anggota Keluarga Sehat Pekarangan Lestari) untuk mendorong masyarakat menanam sayur dan buah sendiri di pekarangan rumah agar akses terhadap pangan sehat menjadi lebih mudah dan murah.
"Melalui program ini, kami mengajak masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong dengan menanam berbagai jenis tanaman pangan, seperti cabai, bawang, jeruk, pepaya, dan bahkan beternak ayam dalam satu kelompok Posyandu," jelas Kabid Konsumsi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia DKPP Jawa Barat Adji Sumarwan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan gizi keluarga melalui pemberian bantuan benih atau bibit sayuran, buah-buahan, tanaman obat dan juga ayam petelur. Kegiatan tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam pencegahan dan penanganan stunting di Jawa Barat.
Pada tahun 2024, terdapat 20 kelompok di 9 kota dan kabupaten yang mendapatkan bantuan ASRI, yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Bogor, Majalengka, Tasikmalaya, Sukabumi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Sukabumi.
Adji menambahkan, distribusi pangan juga terus diperbaiki agar buah dan sayur lokal lebih mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Menurutnya, saat ini satgas pangan Jawa Barat terus memantau harga dan ketersediaan pangan melalui sistem informasi pangan dan gizi berbasis digital, yaitu SIMAWAS PAGI.
“Setiap tahun kami pun melakukan edukasi dan sosialisasi terkait gizi seimbang bekerja sama dengan akademisi. DKPP juga membuat lomba cipta menu berbasis pangan lokal yang digelar secara rutin bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kreativitas masyarakat dalam mengolah makanan sehat berbasis buah dan sayur lokal,” sambung Adji.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Tim Buah dan Hias Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distanhorti) Jawa Barat Risma Fitriyani mengungkapkan pemerintah juga melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya konsumsi buah dan sayur melalui berbagai medium dengan melibatkan akademisi dan komunitas masyarakat.
"Kami rutin menggelar pasar tani tiga kali dalam sebulan, salah satunya di GOR Arcamanik, untuk memperkenalkan buah dan sayur unggulan Jawa Barat kepada masyarakat," kata Risma.
Ia menjelaskan, produksi buah dan sayur di Jawa Barat saat ini mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat setempat. Berdasarkan data statistik terbaru, total produksi sayur dan buah mencapai 5,547 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat Jawa Barat yang berjumlah sekitar 49 juta jiwa hanya sekitar 4,193 juta ton.
“Dengan angka tersebut, Jawa Barat masih mengalami surplus produksi yang berarti hasil pertanian lokal cukup untuk mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk tanpa bergantung pada pasokan dari luar daerah,” tutur Risma.
Adapun jenis buah dan sayur yang paling digemari masyarakat Jawa Barat cukup beragam. Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 104 Tahun 2020, terdapat beberapa komoditas hortikultura yang menjadi binaan sektor pertanian. Risma menuturkan, buah yang paling banyak dikonsumsi meliputi pisang, pepaya, jeruk, dan semangka. Sementara itu untuk kategori sayuran, bayam, kangkung, bawang merah, aneka cabai, serta kentang menjadi favorit di kalangan masyarakat.
Dengan berbagai tantangan yang ada, masih dibutuhkan upaya bersama dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menjadikan sayur dan buah sebagai elemen utama dalam pola makan harian. Edukasi, pengendalian iklan makanan kemasan, serta kebijakan ekonomi yang mendukung aksesibilitas sayur dan buah menjadi kunci untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dan memperbaiki pola makan generasi mendatang.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Hanifa Paramitha Siswanti, atau artikel lain tentang Keberagaman Pangan