• Kolom
  • MEMOAR BUKU #15: Dede Haris dan Musik Kritis di Bandung

MEMOAR BUKU #15: Dede Haris dan Musik Kritis di Bandung

Dede Haris, musisi yang dianggap guru oleh Iwan Fals. Musik dan syairnya tidak lepas dari potret realitas sosial. Memainkan musik balada dengan lirik yang kritis.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku Mengenang Perjalanan Dede Harris 1956-1999. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

13 Maret 2025


BandungBergerak.idApakah selamanya politik itu kejam /Apakah selamanya ia datang tuk menghantam / Ataukah memang itu yang sudah digariskan / Menjilat, menghasut, memperkosa hak-hak sewajarnya…

Lirik lagu berjudul Sumbang yang dinyanyikan musisi Iwan Fals ini yang memantik saya untuk mulai menyukai lagu-lagu bertemakan kritik sosial. Penggalan lagu tersebut menjadi backsound ketika terjadi penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996 di beberapa tayangan TV swasta. Bagaimana tidak dengan latar belakang politik, penguasa melakukan kekerasan yang ditayangkan secara telanjang ke hadapan rakyatnya sendiri. Meskipun jauh sebelumnya tak sedikit juga berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya.  Sejak saat itu saya mulai menyukai dan menikmati lagu dengan tema-tema kritik sosial, politik, dan kemanusiaan lainnya baik dari penyanyi lokal maupun interlokal. Saya mulai mencari kaset-kaset Iwan Fals di lapak-lapak kaset Dewi Sartika atau Dalem Kaum, bahkan ketika tahun 1999 Iwan Fals melangsungkan konser musik dengan tema “Stop Kekerasan, Titik” di Gedung Sabuga Bandung, saya turut menyaksikan dengan ribuan penggemar lainnya.

Kebesaran nama Iwan Fals di dunia musik balada tidak bisa dipungkiri harus berkaitan dengan aktivitas sebelumnya ketika ia meniti karier sebagai musisi, khususnya di kota Bandung.  Banyak musisi yang lahir dan merintis kariernya di kota ini, tak terkecuali dengan Iwan Fals. Di usia belia Iwan Fals mulai mengamen di jalanan Kota Bandung dengan memainkan alat musik gitar secara otodidak. Selain itu Iwan Fals juga banyak belajar dari musisi lainnya seperti Dede Harris yang disebut sebagai gurunya ketika belajar musik di Bandung. “Dede adalah guru saya,” ucap Iwan Fals dalam sebuah wawancara.

Ada nama yang pernah menjadi gurunya Iwan Fals ini tentu membuat saya penasaran, kalau muridnya saja (Iwan Fals)  sudah hebat begini apalagi gurunya pikirku saat itu. Siapa sebenarnya Dede Harris ini?

Baca Juga: MEMOAR BUKU #12: Buku Yang Mempengaruhi (2) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
MEMOAR BUKU #13: Menerbitkan Kembali Buku Pers dan Massa Karya Njoto
MEMOAR BUKU #14: Membaca Ulang Sang Pemula

Siapa Dede Harris

Dede Haris dilahirkan di Bandung pada 16 Agustus 1956 dari keluarga Epe Syafei Adistira. Ayahnya seorang pengajar di Konservatori Karawitan Bandung, sedangkan kakaknya Handi Bratadilaga juga seorang pemusik. Bakat seninya dipupuk dari semenjak remaja ketika ia banyak belajar kepada Iwan Abdurrahman yang banyak menciptakan lagu untuk grup Bimbo. Ia memainkan alat musik gitar dengan tangan kiri (kidal), tetapi posisi senar gitarnya tidak di ubah tentu menjadi keunikan tersendiri, karena jarang musisi yang memainkan gitar dengan gaya seperti itu.

Pilihan untuk memainkan musik dengan genre balada bukanlah tanpa sebab karena bagi Dede Harris musik tidak sekedar bunyi tetapi harus mampu berbicara, mempunyai misi serta harus memiliki fungsi kritis. Secara umum memang musik memiliki dua karakter. Pertama, musik saja yang berbicara. Artinya musik hanya sebatas dimainkan tak ada pesan ataupun misi yang ingin disampaikan,  musik hanya sekedar hiburan dan harus patuh pada  kepentingan pasar komersial. Sedangkan yang kedua, tidak hanya musiknya yang berbicara tetapi dipadukan dengan teks atau puisi yang juga ikut berbicara, sehingga fungsi kritis dari musik bisa disampaikan.

Tampaknya poin kedua inilah sebagai pijakan Dede Harris dalam membuat dan memainkan musik. Musik dan syairnya tidak lepas dari potret realitas sosial . Memainkan musik balada dengan lirik-lirik yang kritis sebenarnya sangat efektif untuk menyampaikan pesan, ketika saluran-saluran politik yang seharusnya mendengarkan untuk menegakkan hukum dan demokrasi yang lebih baik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bob Dylan musisi yang memenangkan Nobel kesusastraan 2016 pernah menulis dalam salah satu lagunya  “And how many ears must one man have / before he can hear people cry“ (dan seberapa banyak telinga yang harus dimiliki seseorang sebelum dia bisa mendengar orang menangis). Artinya mendengarkan merupakan suatu keniscayaan bagi setiap orang apalagi bagi orang-orang yang diamanahi kekuasaan ataupun lembaga-lembaga yang seharusnya mendengarkan keluhan dan tangisan rakyat haruslah lebih sensitif karena jika semuanya tersumbat maka lahirlah suara-suara yang menyuarakannya, baik itu melalui demontrasi, puisi, seni pertunjukan, seni musik, dsb.

Jadi tidak usah heran kalau saat ini ada lagu Bayar, Bayar, Bayar sebagai antitesa atas perilaku korup yang ada dilingkungan kepolisian. Lagu yang dibawakan band punk asal Purbalingga Sukatani ini seakan mewakili suara rakyat yang pernah mengalaminya berurusan dengan pihak polisi . Kritik terhadap institusi kepolisian yang disampaikan band Sukatani itu sebenarnya sudah jauh-jauh sebelumnya pernah disuarakan Dede Harris dalam salah satu lagunya Anak Merdeka , berikut penggalannya :

Yang Paling enak anak polisi / Dihormati oplet dan taksi / Tunduklah wahai pengemudi / Peluitnya mengandung sanksi.

Meskipun dengan gaya Bahasa yang berbeda tetapi tidak mengurangi substansinya bahwa perilaku oknum-oknum berseragam coklat ini ada dan dirasakan oleh masyarakat kita. Tidak hanya pihak kepolisian yang dikritisi tetapi Dede Harris juga menyinggung institusi militer dalam syair berikutnya :

Yang paling Hebat anak tentara / Pinjam bedil pistol negara / Pasti ditakuti oleh semua / Gratis jika naik bis kota.

Penggalan lirik ini mengingatkan saya pada saat demo-demo mahasiswa Reformasi 1998. Beberapa lagu yang kerap dinyanyikan oleh para demonstran selain lagu Buruh Tani, Darah Juang, Mars Mahasiswa-Totalitas Perjuangan, Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan; ada juga lagu Mars ABRI yang dipelesetkan begini baitnya :

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia / Tidak berguna, diganti Menwa / Yah sama saja, lebih baik diganti Pramuka / Naik Bis kota tak pernah Bayar, Apalagi makan di warung tegal .........       

Sebagai seorang yang juga berprofesi pengacara tentunya paham betul dengan kondisi hukum dan keadilan di negeri ini, kegelisahannya terhadap kondisi masyarakat dituangkannya dalam aktivitas seni musik balada yang mengangkat tema-tema kemasyarakatan. Tidak hanya persoalan politik ataupun hukum, tetapi isu lingkungan juga tak luput dari perhatiannya misalnya gugatan dalam lagu berjudul Kotaku yang masih relevan dengan kondisi Bandung saat ini, di mana jalan-jalan berkolam saat hujan menjelang, lahan yang semakin sempit dengan penduduk saling berdesakan.

Tawaran untuk pentas dari kampus ke kampus mulai banyak berdatangan, sedangkan  pentas yang relatif besar digelar pada bulan Agustus 1993 di Taman Ismail Marzuki  Jakarta dengan tajuk Pentas Musik Dede Harris Wajah Kita. Judul lagu Wajah Kita merupakan gambaran miniatur Indonesia karena semua liriknya mencerminkan persoalan bangsa. Dari mulai korupsi, tawuran pelajar, bobroknya sistem peradilan, keharusan berkumpul dan berorganisasi secara tunggal , semuanya termaktub dalam lagu tersebut.  

Perjalanan musisi Dede Harris harus terhenti ketika pada tanggal 28 Februari 1999 ia ditemukan meninggal dunia di tepi Jalan Soekarno Hatta Bandung  akibat serangan jantung. Meski Namanya tidak sepopuler gurunya Iwan Abdurrahman ataupun muridnya Iwan Fals, tapi Dede Harris dengan semua karya dan keunikannya telah mempunyai tempat tersendiri di kalangan pencinta musik balada, khususnya di Bandung. Dan untuk mengenang sosoknya pada tanggal 4 September 1999 sejumlah teman dan koleganya mengadakan malam kenangan di Kedai Musik Remaja lingkungan Gelanggang Generasi Muda (GGM) Jalan Merdeka Bandung dengan meluncurkan sebuah booklet. Booklet setebal 70 halaman ini berisi berbagai foto, potongan koran, dan tulisan-tulisan tentang Dede Harris yang disusun oleh Budi Ekapaksi, Tatjana Luck, dan Dedi.

Pada saat itu saya juga termasuk yang rajin mendatangi acara-acara di GGM terutama yang terkait dengan Buku dan Sastra yang begitu semarak, entahlah kalau kondisi GGM saat ini. Adapun saya mendapatkan kembali booklet ini dari pelapak buku online dengan harga Rp 10.000, buku yang saya rasakan sangat penting di tengah terbatasnya data-data dokumentasi mengenai sosok Dede Harris sebagai salah satu seniman yang berkiprah dan turut mewarnai seni dan budaya kota Bandung.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//