Ulasan Food Vlogger, Membangun atau Meruntuhkan Usaha Kuliner?
Food vlogger memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan informasi akurat dan konstruktif. Sementara pelaku usaha harus terbuka terhadap kritik.

Heny Hendrayati
Dosen Prodi Manajemen – Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
18 Maret 2025
BandungBergerak.id – Belakangan, sebuah ulasan makanan yang dibuat oleh influencer dapat mengubah nasib sebuah bisnis. Kontroversi yang melibatkan food vlogger Codeblu menjadi contoh nyata bagaimana ulasan kritis dapat memicu perdebatan luas di media sosial. Publik berdebat antara pentingnya kritik yang membangun dan potensi kerugian finansial yang dihadapi bisnis kuliner akibat ulasan negatif. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebebasan berekspresi dalam memberikan ulasan selalu sejalan dengan tanggung jawab sosial dan etika bisnis?
Media sosial telah mengubah cara konsumen memperoleh informasi dan menentukan pilihan. Ulasan di platform digital dapat menarik atau justru menjauhkan pelanggan. Food vlogger memainkan peran strategis dalam memberikan informasi tentang suatu produk, tetapi ketika ulasan tidak didasarkan pada kejujuran atau transparansi, dampaknya bisa sangat merugikan. Kepercayaan pelanggan adalah aset penting dalam dunia bisnis kuliner.
Dari perspektif ekonomi, ulasan yang tidak objektif dapat menimbulkan konsekuensi besar. Sebuah ulasan negatif yang viral dapat menurunkan minat konsumen, menyebabkan penurunan pendapatan, hingga menutup usaha, terutama bagi restoran kecil dengan margin keuntungan tipis. Oleh karena itu, etika bisnis harus menjadi landasan utama dalam pengulasan. Seorang reviewer tidak hanya bertanggung jawab dalam menyampaikan kritik, tetapi juga mempertimbangkan dampak ekonominya.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kepercayaan antara pembuat konten dan audiens sangat dipengaruhi oleh integritas informasi. Studi dalam International Journal of Advertising menemukan bahwa kredibilitas influencer –yang mencakup keahlian, kepercayaan, dan daya tarik– secara signifikan memengaruhi sikap konsumen terhadap iklan dan keputusan pembelian mereka (Lou & Yuan, 2019). Selain itu, penelitian dalam Journal of Marketing Research menekankan bahwa transparansi dalam pengungkapan iklan oleh influencer meningkatkan kepercayaan konsumen dan efektivitas pemasaran digital (Evans, Phua, Lim, & Jun, 2017).
Transparansi merupakan aspek krusial dalam menjaga kredibilitas ulasan. Penelitian oleh Wiedmann & von Mettenheim (2020) dalam Journal of Consumer Behaviour mengungkapkan bahwa keterbukaan mengenai hubungan komersial atau imbalan dari pihak restoran sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan. Ketika seorang vlogger tidak mengungkapkan adanya kerja sama atau sponsor, hal ini dapat menimbulkan persepsi negatif di kalangan konsumen. Transparansi bukan hanya soal etika, tetapi juga menjamin kelangsungan bisnis yang sehat di era digital.
Tanggung jawab sosial dalam ulasan makanan juga tidak bisa diabaikan. Studi dalam Journal of Business Ethics menyoroti bahwa etika bisnis tidak hanya tentang kepatuhan terhadap aturan formal, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dari tindakan tertentu (Carrigan & Attalla, 2021). Ulasan yang bersifat destruktif tanpa solusi perbaikan dapat menciptakan ketidakpercayaan yang meluas. Jika seorang food vlogger hanya berfokus pada kekurangan tanpa memberi gambaran yang seimbang, hal ini dapat menghambat pertumbuhan sektor kuliner secara keseluruhan. Kritik yang tidak konstruktif bukan hanya merugikan pemilik usaha, tetapi juga menimbulkan ketidakstabilan ekonomi karena pelanggan menjadi ragu untuk mendukung bisnis yang terdampak.
Baca Juga: Keberagaman Indonesia dalam Menu Kuliner
Menelusuri Ragam Kuliner Lokal Melalui Diskusi Gastronomi Jawa Barat
Mempertahankan Kuliner Asli Sunda, Tantangan Terberat
Etika dalam Ulasan Makanan
Dalam regulasi Indonesia, prinsip etika dalam penyampaian informasi memiliki dasar hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam informasi yang disampaikan ke publik. Walaupun tidak secara spesifik mengatur ulasan makanan, nilai-nilai dalam undang-undang ini seharusnya menjadi pedoman bagi food vlogger. Jika sebuah ulasan terbukti menyesatkan dan merugikan ekonomi bisnis kuliner, maka hal tersebut tidak hanya melanggar etika profesional tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan pelaku usaha.
Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat (3) juga melarang pencemaran nama baik yang dilakukan di ruang digital. Jika sebuah ulasan dibuat dengan tujuan merusak reputasi usaha tertentu tanpa dasar yang jelas, pemilik usaha memiliki hak untuk mengambil langkah hukum. Sayangnya, banyak UMKM yang tidak memiliki akses terhadap perlindungan hukum yang memadai.
Pendekatan kritis yang konstruktif dalam menyampaikan ulasan memiliki dampak positif bagi ekonomi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kritik yang membangun dan disertai saran perbaikan dapat mendorong inovasi di kalangan pelaku usaha (Wiedmann & von Mettenheim, 2020). Dengan begitu, ulasan negatif yang diberikan secara bertanggung jawab tidak selalu merugikan, tetapi juga dapat menjadi pemicu perbaikan dan peningkatan kualitas produk serta layanan. Sebaliknya, kritik yang bersifat menghancurkan dan mencari sensasi, seperti yang sering terlihat dalam kasus Codeblu, dapat menyebabkan kerugian besar akibat boikot konsumen dan rusaknya reputasi usaha (Carrigan & Attalla, 2021).
Fenomena boikot terhadap bisnis kuliner akibat ulasan negatif di media sosial menunjukkan betapa kuatnya pengaruh platform digital dalam membentuk opini publik. Di satu sisi, kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu, tetapi di sisi lain, kebebasan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menyebarkan informasi yang tidak berdasar dan merugikan bisnis orang lain. Oleh karena itu, keseimbangan antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab sosial harus selalu dijaga.
Solusi
Seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya peran media sosial dalam bisnis, semua pihak perlu menyadari bahwa ulasan makanan bukan hanya kritik semata, tetapi juga bagian dari ekosistem ekonomi digital. Food vlogger memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan informasi yang akurat dan konstruktif, sementara pelaku usaha harus terbuka terhadap kritik yang membangun guna meningkatkan kualitas produk mereka. Di sinilah peran pemerintah juga menjadi penting. Pemerintah perlu mengkaji kembali regulasi yang ada atau bahkan menyusun pedoman etika khusus bagi para influencer dan food vlogger untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen dan pelaku usaha.
Solusi untuk mengatasi permasalahan ini tidak hanya terletak pada penegakan regulasi yang lebih ketat, tetapi juga peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat. Konsumen yang cerdas akan mampu menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh ulasan sensasional. Di sisi lain, pelaku usaha harus lebih proaktif dalam membangun hubungan yang transparan dengan pengulas dan media sosial, misalnya dengan mengadakan kerja sama yang menjamin keterbukaan informasi.
Ekosistem digital di Indonesia dapat tumbuh lebih sehat dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Ulasan makanan yang jujur, transparan, dan konstruktif tidak hanya akan mendidik konsumen tetapi juga mendorong pelaku usaha untuk terus berinovasi dan meningkatkan kualitas mereka. Dengan adanya regulasi yang mendukung dan peningkatan literasi digital, konsumen dapat lebih melindungi diri dari informasi yang menyesatkan, sementara pelaku usaha dapat menjaga reputasi mereka. Pada akhirnya, keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial menjadi kunci utama dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Heny Hendrayati, atau artikel-artikel lain tentang Dunia Digital