Menelusuri Ragam Kuliner Lokal Melalui Diskusi Gastronomi Jawa Barat
Selain kebutuhan dasar manusia, makanan turut mewarnai kultur atau identitas suatu bangsa. Diperlukan upaya pelestarian kuliner nusantara.
Penulis Salma Nur Fauziyah31 Juli 2024
BandungBergerak.id - Gedung Badan Pembudayaan Kejuangan '45 pada Kamis 25 Juli 2024 malam ramai dengan orang-orang. Para peserta diskusi dijamu dengan makanan lokal khas Bandung, seperti mie kocok, bandrek, dan beberapa kuliner tradisional lainnya.
Malam itu diskusi bulanan Paguyuban Pelestari Budaya Bandung (Bandung Heritage) membahas mengenai ragam kuliner Jawa Barat. Dalam kesempatan tersebut, Dewi Turgarini, seorang pakar gastronomi dan juga dosen pengampu di Prodi Manajemen Industri Katering dan Magister Pariwisata UPI, berbagi banyak hal mengenai gastronomi Jawa Barat dari zaman prakolonial, kolonial, dan pascakolonial.
“Kalau kita bicara kuliner berbicara makanan semua setuju semua makhluk hidup ciptaan Tuhan memerlukan makan. Jadi itu sudah kebutuhan manusiawi ketika membutuhkan makan,” ujar Hilwan Saleh, memberikan sebuah pengantar sebagai moderator sebelum sesi diskusi dimulai.
Keberadaan makanan memang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Lebih dari itu, makanan juga tidak terlepas sebagai pembentukan sebuah kultur atau identitas suatu bangsa. Studi yang fokus dengan perpaduan antara elemen budaya dan perilaku manusia sebagai pendukung utamanya mencakup berbagai aspek disebut gastronomi.
Hal inilah yang dibahas tuntas oleh Dewi Turgarini. Melihat kuliner tidak hanya menjadi sebagai alat pemenuhan dasar manusia, tetapi produk kebudayaan yang perlu dilestarikan. Sebagai pakar gastronomi, Dewi menyebut makanan tradisional dan lokal ini masuk ke dalam pusaka budaya nonragawi karena ketahanan pangan tersebut yang tidak lama.
Perkembangan gastronomi di Jawa Barat, khususnya Bandung, sangat bermacam-macam. Mulai makanan tradisional Sunda dan juga makanan lokal yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan. Pada zaman prakolonial, temuan makanan tradisional Sunda telah ditemukan sejak Kerajaan Galuh berkuasa, sekitar 600an masehi yang termaktub di beberapa naskah dan situs kuno. Makanan tradisional yang masih bertahan hingga kini seperti bajigur, bandrek, lalapan, nasi (sangu) tutug oncom, nasi (sangu) tumpeng, dan lainnya.
Hal yang menarik disebutkan Dewi adalah bagaimana nasi tumpeng memiliki ragamnya sendiri. Nasi tumpeng khas Sunda berbeda dengan nasi tumpeng yang kita kenal saat ini. Ketika banyak nasi tumpeng memamerkan lauk pauknya, lauk-lauk sangu tumpeng Sunda berada di bagian dalam.
Dalam upacara adat di Desa Cikondang, Pangalengan tumpeng yang dihadirkan bermacam-macam. Ada tumpeng utama, di dalamnya terdapat ayam satu ekor utuh. Ada tumpeng pangiring yang lauknya sudah dipotong-potong. Varian tumpeng itu memang disajikan berdasarkan posisi orang yang memakannya.
“Tumpeng Sunda itu ciri khasnya begitu, isinya tergantung dari kondisi geografis masing-masing,” tambah Dewi.
Beberapa makanan lokal yang berkembang pun sangat beragam. Makanan lokal sendiri merupakan makanan hasil akulturasi dengan kebudayaan lain. Pengaruh makananan barat saat masa kolonial menghasilkan makanan lokal seperti beberapa kudapan yang sering mewarnai hari raya tiba, yaitu kue keju (kastengel), nastar (ananastaart), putri salju (vanillekipferi), dan semprit (spritskoekjes). Bahkan jajanan seperti batagor atau bakmie yang merupakan akulturasi budaya Tionghoa (Tiongkok), juga martabak yang memiliki pengaruh dari negara Timur Tengah.
Baca Juga: Eksistensi Kuliner Lokal dalam Menghadapi Menjamurnya Makanan Cepat Saji
Keberagaman Indonesia dalam Menu Kuliner
Jejak Perpaduan Budaya Kuliner di Masa Hindia Belanda
Upaya Melestarikan Makanan Lokal dan Tradiosional
“Banyak warisan sejarah kita tidak dipelihara dengan baik,” kata Dewi.
Hal ini diucapkan Dewi saat melihat masih banyak wisata bersifat kebudayaan seperti museum yang sepi peminat. Di sisi lain pengaruh kebudayaan negara lain, seperti Korean Wave, mulai merajalela. Khususnya dalam bidang kuliner.
Dalam perjalanannya sebagai pakar gastronomi, Dewi bercerita melakukan banyak penelitian gastronomi di desa-desa wisata dengan bantuan ibu-ibu. Sebagai seseorang yang menguasai dapur, Dewi menuturkan, ibu-ibu menyimpan banyak sekali cerita mengenai masakan tradisional.
Kemunculan kota-kota gastronomi di dunia pada tahun 2004 mendorong kesadaran Indonesia untuk mulai mengembangkan wisata gastronomi beberapa tahun berselang. Persisnya pada tahun 2011. Namun, hal yang menjadi persoalan adalah belum adanya aktivitas dan kompetensi yang optimal dalam mengembangkan wisata gastronomi ini. Mengembangkan dan melestarikan gastronomi Indonesia memang tidak dapat dilakukan secara individu atapun suatu kelompok kecil.
“Jika mau melestarikan harus dilaksanakan secara terpadu. Harus melestarikan secara bersama-sama,” katanya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Kuliner Jawa Barat