NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #5
Solidaritas dalam kebersamaan pada sebuah ruang urban yang serba terbatas menjadikan kelompok etnis Tionghoa memiliki kesadaran eksklusif. Tradisi pun dilestarikan.

Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
30 Maret 2025
BandungBergerak.id – Seberapa ketat pemerintah kolonial memberlakukan undang-undang pembatasan terhadap kelompok etnis Tionghoa, pada akhirnya justru memberikan ruang yang tak disangka-sangka bagi kelompok etnis negeri tirai bambu untuk memperluas komunitas mereka. Aturan yang dikeluarkan pada tahun 1835 menyebut bahwa setiap 25 rumah yang berdiri di luar Chineesche kamp, harus dipimpin oleh seorang wijkmeester sebagai penanggung jawab.
Aturan tersebut justru membuat etnis ini dapat meluaskan jangkauan niaga mereka, termasuk ke wilayah Priangan yang sempat terlarang bagi etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa kemudian menyebar dan membesar tanpa terikat atau terkonsentrasi di daerah tertentu seperti yang diinginkan oleh kompeni. Hal ini juga yang menjadi sebab mengapa di daerah Priangan, khususnya Bandung, tidak terdapat Chineesche kamp dengan batasan yang tegas seperti di Batavia, yang dapat kita lihat hingga kini seperti di daerah Penjaringan, Mangga Besar, Tanah Abang, Pasar Baru dan Pasar Senen (Kustedja, 2012; Lohanda,1996).

Tradisi-tradisi Mulai Dilestarikan
VOC melakukan aturan wijkenstelseel, pemusatan tempat tinggal bagi etnis Tionghoa, sehingga menjadi terkonsentrasi yang menjadi cikal bakal Chineesche Kamp atau pecinan. Alasan pemusatan yang diniatkan untuk memberi batasan ketat dengan alasan politis dan ekonomi, menjadikan komunitas ini tumbuh menjadi komunitas yang sangat kuat nilai-nilai kekeluargaannya.
Solidaritas dalam kebersamaan dalam sebuah ruang urban yang serba terbatas, tak heran menjadikan kelompok-kelompok ini memiliki kesadaran eksklusif. Dengan kehidupan serba terkonsentrasi, tidak memungkinkan komunitas Tionghoa ini bergerak bebas untuk melakukan berbagai kegiatan. Sesuai tujuan pelayaran mereka dari awal untuk berniaga, adalah satu-satunya yang dapat mereka lakukan. Tak heran bila etnis Tionghoa hingga kini dikenal sebagai pedagang yang andal.
Selain hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan perdagangan, pembatasan ruang gerak yang diciptakan pihak kompeni mengakibatkan kelompok-kelompok ini tidak dapat berinteraksi bebas dengan etnis lainnya. Kesadaran untuk terus bertahan dalam lingkup serba terbatas mengakibatkan persaudaraan yang sangat erat di kalangan mereka. Maka budaya yang mereka bawa dari tanah lahir dipertahankan dan membawa keragaman yang indah hingga kini di Nusantara.
Tradisi turun temurun yang lahir dari tanah asal, membumi dan terlestarikan di tanah baru, sebuah tanah harapan untuk terus tumbuh dalam ruang yang serba terbatas. Budaya yang mereka bawa dari tanah leluhur meliputi hampir seluruh kehidupan mereka sebagai manusia, dari mulai seorang bayi baru dilahirkan, aturan dan adat pernikahan, upacara kematian, upacara-upacara besar seperti tahun baru China, cara dan gaya mereka berpakaian serta arsitektur rumah yang mereka dirikan.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #3
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #4

Tradisi Permakaman Kuno Tionghoa
Salah satu tradisi permakaman Tionghoa terekam dalam catatan dari Koh The Han Thong, seorang Kepala Urusan Kematian, Kelenteng Ho Hok Bio, Parakan, Bandung yang didokumentasikan oleh Sugiri Kustedja. Catatan ini ditulis dalam sebuah buku berjudul “Bakti anak Kepada Orang Tua”, memuat sebuah tradisi permakaman kuno yang bahkan sudah tidak lagi dikenal oleh kaum muda Tionghoa saat ini.
Setidaknya terdapat 16 tahapan dalam mempersiapkan upacara kematian bagi seorang yang tutup usia dan harus dilaksanakan oleh anggota keluarganya sebagai bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Prosesi pertama, dimulai dengan saat-saat menghadapi tutup usia, seorang anak harus mempersiapkan dipan darurat yang ditutupi oleh kain tebal, prosesi ini disebut sebagai lelengse yang dilanjutkan dengan memberi alas tikar pada dipan yang diberi bantal berwarna perak yang disebut gin cua, dilanjutkan dengan dibaringkannya jenazah di atas dipan tersebut.
Dilanjutkan dengan menyiapkan meja kecil yang ditaruh di dekat dipan, diletakkan di tengah-tengahnya dan siapkan mangkuk khusus yang diberi beras untuk menancapkan hio. Selanjutnya siapkan sepasang lilin merah yang ditaruh di kedua sisi, yang mengapit tempat beras yang ditancapkan dua batang hio, yang disebut hio lou, yang dinyalakan terus menerus hingga menjelang jenazah dimasukkan ke dalam peti mati.
Prosesi tersebut dilanjutkan dengan ritual kedua yaitu memandikan jenazah menggunakan kembang lima rupa, serta arak putih yang dicampur dengan air bersih. Jenazah kemudian dikeringkan dengan handuk, dikenakan pakaian terbaik, lebih baik lagi bila dikenakan “pakaian panjang umur” yang khusus dibuat di bulan 1 un gwe. Setelah itu jenazah harus dipasangkan sarung tangan, kaos kaki serta sepatu, sebelum siap dimasukkan ke dalam peti jenazah.
Mempersiapkan peti mati sendiri dalam tradisi upacara kematian etnis Tionghoa tidak dapat dilakukan secara sembarang. Membeli peti mati adalah tugas dari putra putri mendiang. Mereka harus mempersembahkan peti terbaik yang bisa mereka siapkan sebagai tempat pembaringan terakhir orang tua mereka. Dalam prosesinya anak sulung harus membakar 3 buah hio bergagang merah sambil mengucapkan izin kepada para leluhur dengan ucapan khusus, “Kepada penguasa alam dan leluhur yang dimuliakan, bila menyetujui peti mati ini akan digunakan oleh (sambil menyebutkan nama orang tua berikut disebutkan shio serta tanggal kematiannya) berilah tanda bila peti mati ini disetujui dan bila tidak kami akan segera memilih peti mati yang lain.”

Setelah peti mati dianggap telah disetujui oleh para leluhur, dilanjutkan dengan prosesi ke tiga yaitu pemasangan 7 mutiara pada 4 indra mendiang. Adapun empat indra tersebut yaitu kedua buah mata dengan tujuan agar mata tidak hanya mampu sekedar untuk melihat hingga kedalaman hati. Selanjutnya mutiara dipasang pula pada kedua buah telinga, dengan tujuan agar tidak hanya sekedar dapat mendengar namun dapat lebih bijaksana dalam mendengar dan memutuskan apa yang telah didengarnya dengan bijaksana. Selanjutnya dipasang pada dua lubang hidung serta di mulut yang dipasang di bawah lidah yang keduanya pun memiliki makna yang dalam.
Upacara permakaman tersebut berlanjut pada acara berkabung, lalu berbagai prosesi yang sangat khas lainnya hingga upacara pemberangkatan jenazah hingga permakaman. Tradisi tersebut sangat kental dilaksanakan oleh komunitas Tionghoa, pada era kolonial hingga di awal-awal pascakemerdekaan yang sudah sangat jarang ditemui pada generasi etnis Tionghoa saat ini.
Namun tidak semua tradisi yang dibawa oleh komunitas Tionghoa dari tanah leluhurnya sama sekali hilang di bumi pertiwi ini. Setidaknya ada satu tradisi yang masih dilestarikan dan dapat dinikmati hingga kini, tidak hanya oleh komunitas Tionghoa, namun seluruh masyarakat Indonesia, yakni tradisi tahun baru China yang akan penulis paparkan pada artikel selanjutnya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung Merrina Listiandari merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman