• Kampus
  • Pustakawan Bukan sekadar Penjaga Buku

Pustakawan Bukan sekadar Penjaga Buku

Pustakawan adalah pengelola ilmu pengetahuan. Seorang pustakawan dituntut menguasai literasi informasi.

Pengunjung membaca buku di tengah pameran Ramadhan Post Book 2021 di Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, 18 April 2021. Ramadhan Post Book merupakan pameran buku pertama yang digelar di Bandung di masa pandemi. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana29 Oktober 2021


BandungBergerak.idDewasa ini, pustakawan atau petugas perpustakaan tidak lagi identik dengan penjaga buku. Ada tugas lebih besar di pundak seorang pustakawan, baik pustakawan umum maupun pustakawan kampus, yaitu mengelola pengetahuan.

Untuk membedah tugas pustawakan ini, Kelompok Keilmuan (KK) Literasi, Media, dan Budaya, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengadakan lokakarya bertajuk “Peningkatan Peran Pustakawan Perguruan Tinggi dalam Memperkuat Integritas Akademik”, Kamis (14/10/2021) lalu.

Tri Sulistyaningtyas, Ketua KK Literasi, Media, dan Budaya, FSRD ITB, mengatakan memang selama ini pustakawan diasumsikan sebagai penjaga buku. Padahal tugas mereka lebih dari itu, yaitu mengelola pengetahuan sekaligus mengolah informasi secara profesional.

“Tugas ini tidak mudah, permasalahan yang dihadapi perpustakaan di perguruan tinggi lebih rumit mengingat lembaga ini bersentuhan dengan dunia akademik dan penelitian,” ujar Tri Sulisytaningtyas.

Ia menjelaskan, penguasaan terhadap literasi informasi oleh seorang pustakawan tidak semata-mata berkaitan dengan materinya, tetapi juga dengan strategi menjalankan dan mengajarkannya. Melalui program literasi informasi, lanjut Tri, komunitas perguruan tinggi dapat merasakan penting atau peran penting pustakawan secara langsung dalam kegiatan akademik.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (19): Geotrek, Perjalanan Menafsir Bumi
Roman Sunda Siti Rayati, Bacaan Liar Versi Kolonial
Bicara Banjir Hoaks di Amerika Serikat dan Indonesia

Pemateri lokakarya, Ida Fajar Priyanto, seorang Dosen Sekolah Pascasarjana UGM yang juga Pakar Ilmu Perpustakaan dan Informasi, mengungkapkan ada enam peran perpustakaan dalam membangun keberhasilan pendudukan tinggi, di antaranya, membangun komunikasi dengan seluruh unit lembaga;

Membangun rasa percaya diri sivitas akademika; membangun visibilitas lembaga; mengontrol karya-karya produksi sivitas akademika sejalan dengan visi dan misi lembaga; media komunikasi ilmiah; dan layanan integritas akademik.

Narasumber lainnya, Yona Primadesi dari Universitas Negeri Padang membawakan materi perihal perpustakaan dan kebutuhan informasi masyarakat perguruan tinggi. Yona menyampaikan pentingnya peran pustakawan dalam memahami kebutuhan pemustaka untuk memahami kebutuhan informasi dan pola pencarian informasi.

“Masyarakat perguruan tinggi merupakan pengguna informasi paling ilmiah, paling spesifik, dan paling canggih sehingga kita tidak hanya harus berkutat [tentang] bagaimana proses pembangunan koleksi, tetapi juga bagaimana proses interaksi pustakawan dan pemustaka,” tutur Yona.

Ketika sudah terbangun interaksi antara pustakawan dan pemustaka, langkah berikutnya ialah perihal layanan referensi. Pustakawan dalam layanan referensi bagaikan tangan kanan dalam penyelesaian pembuatan suatu tulisan. Dalam kerangka literasi akademik, hal yang dibahas bukan hanya kerangka berpikir kritis dan membaca sumber informasi, melainkan juga bagaimana menuliskan hal tersebut menjadi informasi baru dan mengomunikasikan sumber yang didapat – setelah mendapatkan sumber informasi yang relevan, kesulitan berikutnya ialah cara menuliskan hal tersebut.

Sementara Fitrina Cahya dari Universitas Gajah Mada membeberkan lima prinsip dasar integritas akademik, yaitu kejujuran (honesty), kepercayaan (trust), keadilan (fairness), hormat (respect), dan tanggung jawab (honesty).

Cahya menjelaskan tiga tempat yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi sehat secara emosional. Tempat pertama adalah rumah dan tempat kedua adalah kantor atau kampus (tempat seseorang banyak menghabiskan waktu, melakukan kegiatan, dan menjalin relasi). Tempat ketiga, katanya, merupakan “welcoming ‘other space’”, dapat berupa kafe, restoran, taman, dan perpustakaan.

“Di Singapura, mahasiswa lebih suka belajar di perpustakaan dibandingkan tempat lain ketika masa ujian,” katanya.

Cahya menyampaikan peran perpustakaan dalam proses penelitian dan pengabdian masyarakat, juga pentingnya menjaga nilai kejujuran dan tanggung jawab di pembelajaran maupun penelitian dalam membangun atmosfer integritas. Selain menyinggung terkait pelanggaran integritas akademik seperti plagiarisme, ia juga memberikan masukan atau saran mengenai hal-hal yang dapat diaplikasikan pada situs perpustakaan, termasuk aplikasi analisis teks seperti voyant tools dan vos viewer.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//