• Kolom
  • MEMOAR BUKU #16: Buku Kenangan Sang Pangeran

MEMOAR BUKU #16: Buku Kenangan Sang Pangeran

Buku Herinneringen Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat merekam perjalanan hidup sang penulis dan juga peristiwa besar di Banten pada era kolonial Belanda.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku Herinneringen Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat diterbitkan G. Kolff & Co Amsterdam- Batavia 1936. (Foto: Indra Prayana)

14 April 2025


BandungBergerak.id – Menuliskan apa yang menjadi kenangan ataupun pengalaman yang dirasakan oleh diri sendiri sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, dengan profesi apa pun. Tidak mesti orang itu pahlawan, pengusaha ataupun penguasa yang pengalaman dan kiprahnya bisa dituliskan menjadi buku dan dibaca masyarakat luas. Menuliskan tentang “diri sendiri” itu kalau dalam sistematika penulisan bisa disebut sebagai biografi, otobiografi, memoar, ataupun kenangan. Sedangkan teknis penulisannya bisa jadi beragam, ada yang menggunakan jasa penulis bayangan/Ghost Writer, ada yang ditulis berdasarkan wawancara dengan objeknya, dll.

Di era Hindia Belanda banyak tokoh-tokoh baik pribumi ataupun non pribumi yang menuliskan perjalanan hidupnya, satu di antaranya adalah buku Herinneringen Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat.

Pertama kali saya melihat buku ini pada saat hunting buku di Pasar Cihaurgeulis Jalan Suci Bandung. Pasar Buku Cihaurgeulis terletak di lantai 2 sedangkan lantai dasarnya digunakan pedagang pasar tradisional , terdapat sekitar 20 kios buku yang kebanyakan menjual buku-buku dan majalah bekas. Salah satu langganan dan sering saya kunjungi adalah kios buku Tanah Air Klik yang berada paling ujung sebelah barat. Kios buku ini dikelola oleh seorang kurator dan kolektor buku Muhammad Hidayat Rahz atau yang lebih akrab disapa mas Dayat. Saya banyak belajar dari dia terutama dalam buku-buku Antiquriat, dari situ saya mulai mengenal buku-buku opus magnum seperti Oud Batavia, Priangan tulisan Dr. F de Haan , History of Jawa karya Stamford Raflles, termasuk buku Herinneringen karya Aria Achmad Djajadiningrat ini.  Bukunya dibanderol dengan harga mahal yang  jangankan untuk membeli bahkan untuk menawarnya saja saya tidak sanggup.

Selang beberapa tahun tepatnya ditahun 2004 ketika saya membuka kios buku di tempat yang sama. Saya baru bisa mendapatkan fisik bukunya itu pun dengan perantara seorang teman bernama Beben yang kebetulan bekerja sebagai Security di kantor P3G/ Balai Pendidikan Guru di Jalan Dr. Cipto No. 9  Bandung.  Kantornya sendiri memang tempat penataran guru yang sudah ada dulu,  dibangun oleh arsitek Albert Frederick Aalbers pada tahun 1948. Di kantor itu juga terdapat perpustakaan yang menyimpan banyak buku-buku jadul sejak bangunan itu berdiri. Saya tahu itu karena sebelumnya sering mendapat buku-buku lawas dengan stempel Balai Pendidikan Guru di lapak-lapak pengepul barang rongsok, artinya berbagai kertas, dokumen, atau buku yang dianggap sudah “tidak berguna” dijual ke tukang rongsok keliling, dan itu dibenarkan juga oleh teman saya bahwa dikantornya banyak buku-buku lawas yang sudah tidak terawat lagi. Berdasarkan itu saya membuat kesepakatan dengan teman saya, kalau di kantornya mau mengeluarkan buku lagi biar dibeli sama saya dengan harga yang bagus dibanding dijual kilo sama tukang rongsok.

Tak lama Setelah itu, teman saya  membawa beberapa buku berbahasa Belanda dengan tema Nederlansche Indie/Indonesia termasuk buku Herinneringen ini . Setelah saya ganti dengan harga Rp 300.000-an,  buku-buku Belanda itu akhirnya jadi milik saya. Meski buku tidak bisa dibaca karena berbahasa asing tetapi yang terbayang waktu itu adalah dijual lagi dengan harga yang lumayan.

Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat sewaktu jadi Boepati Serang. (Foto: Indra Prayana)
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat sewaktu jadi Boepati Serang. (Foto: Indra Prayana)

Baca Juga: MEMOAR BUKU #13: Menerbitkan Kembali Buku Pers dan Massa Karya Njoto
MEMOAR BUKU #14: Membaca Ulang Sang Pemula
MEMOAR BUKU #15: Dede Haris dan Musik Kritis di Bandung

Sosok Djajadiningrat

Saya mulai memeriksa buku tersebut dan berusaha membacanya meskipun harus bersusah payah dengan bantuan kamus bahasa Belanda-Indonesia. Saya menerjemahkan satu persatu kata, terutama pada kata pengantar (voorword) dan pendahuluan (voorbricht) yang sedikitnya bisa menerangkan maksud dan isi buku. Buku yang tebalnya sekitar 365 Halaman dengan dihiasi banyak foto dan gambar ini ternyata mulai ditulisnya pada pertengahan tahun 1933 dan selesai pada bulan Juli 1934. Pada awalnya naskah buku sangat tebal sekitar 1.000 halaman diketik menggunakan kertas folio, tetapi penerbit firma G. Kollf & Co menyatakan tidak sanggup untuk mencetaknya dalam satu buku, karena terlalu besar dan kalaupun dipaksakan tidak akan berhasil mengingat zaman yang sedang susah. Sehingga pihak penerbit menyarankan untuk meringkaskan naskah buku tersebut hanya seperduanya saja. Atas masukan dari penerbit dan persetujuan penulis akhirnya buku sepakat untuk diringkas, dengan bantuan seorang penyunting bernama Diet Kramer. Naskah yang semula sangat tebal akhirnya bisa diterbitkan dengan memuat 10 Bab terdiri dari Bab I: Waktu saya masih kecil, Kenang-kenangan pada Masa Bapak Saya Menjadi Wedana di Kramatwatu (1882-1888), Bab II: Peringatan Semasa Saya Masih Muda Tinggal di Bantam (1888-1890), Bab III: Peringatan Semasa Muda di Betawi, Bab IV:  Tahun Pertama dalam Pekerjaan (1899-1900), Bab V: Kenang-kenangan pada Masa Menjadi Asisten Wedana Bojonegara (1900-1901), Bab VI: Di mana Mula-mula Menjadi Regent (1901-1906), Bab VII: Kenang-kenangan dari Masa Meneruskan Pekerjaan sebagai Regent sampai 1917 , Bab VIII: Masuk Politik di Tahun-tahun Akhir menjadi Regent Bantam (1917-1924), Bab IX:  Kenang-kenangan Menjadi Regent di Betawi (1924-1929), Bab X: Perjalanan ke Eropa , Penutup Riwayat Jalan Hidup Saya.   

Herinneringen yang berarti memori atau kenangan menggambarkan kehidupan P. A. A. Djajadiningrat sebagai salah seorang menak berdarah biru. Ia dilahirkan di Desa Kabayan Padeglang Karesidenan Bantam (Banten) pada hari Kamis, 16 Agustus 1877, dari pasangan Raden Bagoes Djajawinata dan Ratoe Solehah. Sebagai cucu dari bupati Padeglang waktu itu Raden Adipati Aria Natadiningrat tentunya berbagai fasilitas didapatkan dari mulai akses pendidikan hingga pekerjaan yang luas. Meskipun buku ini merekam perjalanan kehidupannya, tetapi berbagai peristiwa besar yang terjadi di Banten dan sekitarnya tak luput dari perhatiannya. Misalnya saat meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, ia menceritakan bahwa di suatu pagi ia mendengar bunyi letusan yang hebat-hebat. Dipuncak Gunung Krakatau tampak api menyembur-nyembur ke udara dengan sangat hebat dan besar. Tidak lama kemudian hari pun gelap, sangkanya dunia mau kiamat saja. Atau pada saat terjadi Pemberontakan di Cilegon Banten pada bulan Juli 1888, ia menuliskan bahwa pemberontakan itu dicetuskan oleh H. Wasid dan Toebagoes Hadji Ismail dengan misi utama adalah menyerang orang-orang Eropa dan Bumi Putera yang memegang kekuasaan dan menyengsarakan rakyat. Adapun peristiwa besar lainnya adalah saat pemberontakan Komunis 1926 yang terjadi di Menes, Serang, dan Padeglang yang tercatat secara detail.

Waktu itu gaya penulisan model kenangan/memoir seperti yang ditulis Djajadiningrat ini terbilang tidak banyak dilakukan serta tidak begitu popular. Dalam artikel A. W. J. Drewes sebagaimana dinukil P. Swantoro, yang menulis tentang otobiografi orang-orang Indonesia –Autobiografieen van Indonesier– dimuat dalam majalah BKI tahun 1952. Drewes menilai bahwa karya Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat ini sebagai suatu pertanda zaman, “uiterstboiend end levendig” sangat memikat dan hidup. Meskipun begitu Drewes menyayangkan buku Herinneringen ini ternyata tidak banyak dikenal di Belanda, ini mungkin imbas dari pemendekan naskah yang dilakukan penyunting Diet Kramer sehingga terdapat kekosongan pada beberapa periode. Dalam artikelnya itu Drewes cenderung menilai akan lebih baik seandainya naskah buku Herinneringen itu diterbitkan dalam dua jilid (2002, Hal: 62-63)

Sebenarnya buku Djajadiningrat itu terbit dalam dua edisi Bahasa (Belanda dan Melayu). Penerbit Balai Poestaka menerjemahkan dari terbitan aslinya G. Kolff & Co yang berbahasa Belanda. Saat ini kedua edisi buku tersebut terbilang langka, apalagi yang edisi terjemahannya. Saya sendiri beruntung memiliki keduanya. Sebagai usaha mengenalkan  P. A. A. Djajadiningrat, pada tahun 1996 bukunya diterjemahkan kembali ke dalam Bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan (EYD) dan  diterbitkan secara terbatas oleh Paguyuban Keturunan P. A. A. Djajadiningrat dengan tambahan lembaran lampiran yang mencantumkan silsilah keluarga, tulisan-tulisan dan potongan-potongan koran tentang sosok  yang meninggal pada 22 Desember 1943 ini.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//