• Opini
  • Edukasi Seks adalah Langkah Dasar untuk Melindungi Pekerja Migran

Edukasi Seks adalah Langkah Dasar untuk Melindungi Pekerja Migran

Masalah pekerja migran adalah masalah perempuan, masalah relasi kuasa, masalah kelas, dan juga masalah transnasional.

Aubrey Kandelila Fanani

Mahasiswa S2 program Kajian Budaya Inter-Asia, Universitas National Yang-Ming Chiao Tung , Taiwan.

Ilustrasi. Kekerasan seksual bisa terjadi kapan pun dan mana saja, membutuhkan penegakan hukum yang tegas pada pelaku. (Ilsutrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

21 April 2025


BandungBergerak.id – Edukasi seks adalah hal krusial bagi pekerja migran, terutama bagi perempuan yang umumnya tidak memiliki posisi tawar sehingga mereka  rentan mengalami kekerasan seksual, mulai dari fisik, nonfisik, sterilisasi, hingga menjadi korban perdagangan orang . Komnas Perempuan pada 2015, melaporkan bahwa perempuan pekerja migran mengalami kekerasan sejak dari masa perekrutan, saat penempatan kerja di luar negeri, dan juga saat pemulangan ke dalam negeri. Pelakunya beragam, mulai dari perusahaan penyalur, atasan di tempat mereka bekerja, hingga sesama pekerja Indonesia.

Satu setengah tahun lalu, saat saya mengikuti pertemuan antara TIWA (Taiwan International Workers' Association) dengan para pekerja migran Indonesia di Taiwan, salah satu pekerja migran bercerita soal pengalamannya saat berangkat ke Taiwan. Di masa perekrutan, perusahaan penyalur memaksa dia menggunakan KB agar tidak hamil selama proses pemberangkatan hingga ke negara tujuan. Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi ini tentu  adalah bentuk dari kekerasan seksual. Penyalur memanfaatkan kondisi pencari pekerja yang tidak punya daya tawar untuk menolak, dengan ancaman jika dia hamil maka tidak dapat  berangkat kerja atau dideportasi dari negara tujuan.

Mirisnya, pekerja tersebut tidak mengetahui bahwa hal yang dia alami merupakan bentuk eksploitasi dan juga kekerasan seksual. Minimnya pengetahuan dan tidak adanya edukasi seks yang mereka terima sejak dini dan juga saat proses pembekalan,  membuat banyak pekerja migran tidak memahami bahwa mereka sebenarnya adalah korban.

Ketidaktahuan dan absennya edukasi seks ini tidak hanya membuat perempuan rentan menjadi korban, tetapi mereka juga tidak memahami apa yang harus mereka lakukan jika mengalami  pelecehan seksual. Misalnya, di negara tujuan seperti Taiwan, sebenarnya sudah memiliki hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual dan memiliki mekanisme pengaduan yang ringkas dan juga punya layanan bahasa Indonesia. Dengan kemudahan ini, harusnya, para pekerja Indonesia bisa dengan gampang mengakses bantuan hukum, namun karena mereka tidak memahami apa itu sebenarnya kekerasan seksual, apa saja yang dimensi dari kekerasan seksual, dan ke mana harus mengadu, maka mereka tidak memiliki melaporkan kekerasan yang mereka alami.  

Baca Juga: Catatan Kelam Kematian Buruh Migran Indonesia, di Mana Tanggung Jawab Negara?
Menyoal Absennya Perlindungan Negara pada Perempuan Pekerja sekaligus Ibu Tunggal, Potret Perempuan dalam Film Mai
Pembahasan RUU PPRT Dialihkan ke Anggota DPR RI yang Baru, Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bukan Prioritas Negara

Edukasi Seks

Jika kita berbicara soal edukasi seks, idealnya memang harus dimulai sedini mungkin, diawali dari rumah, dari orang tua kepada anaknya. Kemudian di ranah formal, pendidikan seks harus ada di setiap tingkat pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan seks di Indonesia masih dianggap tabu. Pendidikan seks disamaratakan dengan pornografi, dan dianggap bertentangan dengan nilai agama dan budaya. Padahal hal ini sangat penting untuk semua orang, baik perempuan maupun laki-laki agar mengetahui tubuhnya, reproduksinya, memahami keragaman, menghindari terjadinya kekerasan seksual, serta memahami hak seksualnya sebagai bagian dari hak asasi manusia.  

Terlebih lagi, masalah pekerja migran  adalah masalah perempuan, masalah relasi kuasa, masalah kelas, dan juga masalah transnasional. Perempuan, meski angkanya fluktuatif, setiap tahunnya,  selalu mendominasi proporsi pekerja migran Indonesia di luar negeri.  Pada  2024 saja, menurut data BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Indonesia), ada 201.343​ pekerja perempuan atau 67,8 persen  dari total 297.434 pekerja yang ditempatkan di luar negeri.  Lebih dari 50 persen dari seluruh jabatan di luar negeri, penempatan para pekerja ini terkonsentrasi pada jabatan informal, seperti pembantu rumah tangga dan perawat lansia.  Proporsi ini tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Oleh sebab itu, di tengah minimnya edukasi seksual, ditambah demografi pekerja migran yang kebanyakan berpendidikan rendah, maka mereka harus mendapatkan pendidikan seksual selama mereka dalam masa persiapan.

Pendidikannya bisa merupakan hal yang umum, seperti kesehatan reproduksi, hingga soal definisi kekerasan seksual, dampak dari kekerasan seksual, bagaimana cara mengakses bantuan jika mereka mengalami kekerasan tersebut. Lebih baik lagi, ditambahkan soal hukum yang berlaku di Indonesia, dan di negara tujuan tentang kekerasan seksual, sehingga mereka bisa secara mandiri mengidentifikasikan dan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Bahasa yang digunakan juga harus disesuaikan dengan penerima informasi. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, dan jika memungkinkan menggunakan bahasa atau istilah-istilah lokal yang biasa mereka gunakan.  

Ancaman Kekerasan Seksual

Sebagai pekerja rumah tangga dan perawat, para pekerja ini tentu hampir selama 24 jam  berada di dalam rumah. Terkurungnya mereka, berarti jika terjadi kekerasan yang terjadi terhadap mereka, sering kali tidak ada saksi.

Banyak sekali kejadian pelecehan seksual tidak terlaporkan karena para pekerja mendapat ancaman dari pelaku. Oleh sebab itu, informasi bagaimana cara mengakses bantuan, kepada siapa mereka harus melapor, dan bagaimana cara mendokumentasikan serta mengamankan barang bukti, menjadi pengetahuan yang harus dikuasai para pekerja migran.

Tak hanya itu, tanpa pengetahuan seks tentang proses kehamilan, infeksi menular seksual, kontrasepsi, dan seks aman, maka masalah lainnya seperti HIV/AIDS, penyakit menular seksual, serta kehamilan dan kelahiran yang tidak diinginkan karena kegiatan seksual yang tidak bertanggung jawab akan muncul.

Kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan ini berujung pada aborsi yang tidak aman, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan alat reproduksi atau kematian ibu. Jika mereka memilih untuk mempertahankan anak tersebut, maka anak yang dilahirkan berujung dititipkan di panti asuhan, atau kepada kerabat terdekat di negeri perantauan. Mereka enggan untuk membawa pulang anak tersebut karena dianggap sebagai aib.

Lebih jauh lagi, sebagai  masalah transnasional, yang melibatkan interaksi lintas batas,  tentu harus ada campur tangan antar negara pengirim dan penerima kerja, antarlembaga antara perusahaan penyalur kerja dan juga perusahaan atau rumah yang menerima mereka bekerja, dan antar manusia untuk dapat  melindungi para pekerja. Ironisnya, keengganan untuk melindungi pekerja ini sudah dimulai dari Indonesia sendiri. Minimnya perhatian pemerintah  dan juga abainya penegak hukum untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada pekerja migran, menjadikan para pekerja migran sulit dalam mencari keadilan dan membuat mereka semakin rentan menjadi korban.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pekerja migran

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//