CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #85: Kampung Simpen, dari Tanah ke Tuduhan
Tanah di Kampung Simpen bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah halaman dari kitab hidup yang ditulis pelan-pelan oleh keringat, dan secara sabar.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
21 April 2025
BandungBergerak - Di Kampung Simpen, Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka, pagi tak lagi datang dengan tenang. Angin yang biasanya mengabarkan datangnya embun kini membawa bisik-bisik gugatan. Di balik pagar rumah, para ibu menyeduh teh sambil menyimpan cemas di dasar cangkir. Para ayah duduk lebih lama di serambi, menatap tanah halaman seperti teka-teki yang tak mereka buat, tapi harus mereka jawab.
Kampung ini bukan perumahan mewah. Tak ada gerbang tinggi, tak ada plakat nama besar. Tapi di atas tanah inilah anak-anak pertama kali belajar berjalan. Di atas tanah inilah keluarga membangun harapan. Jika tanah bisa bersaksi, ia akan berkata bahwa ia lebih mengenal langkah kaki anak-anak itu daripada siapa pun yang kini menggugatnya.
Namun gugatan datang seperti petir tanpa mendung. Selembar kertas, beberapa cap, lalu tiba-tiba rumah yang sudah ditempati belasan tahun disebut berdiri tanpa hak. Padahal, warga membeli tanah itu. Tapi di hadapan hukum, percaya saja tidak cukup.
Suara azan masih bergema setiap subuh, tapi tak pernah sampai ke meja hakim. Di sana, keadilan lebih akrab dengan bunyi stempel dan tanda tangan.
Anak-anak masih berlarian sore hari, meski lebih hati-hati. Mereka belajar, tapi pikiran mereka sering melayang ke rumah. Ke lemari mainan. Ke jendela tempat mereka biasa memandang hujan. Bagaimana mungkin mereka menghitung luas bangun datar jika rumah mereka sendiri dianggap tak berdasar?
Tak ada yang bisa menjelaskan pada mereka bahwa di negeri ini, rumah yang dibangun dengan tulus pun bisa disebut melanggar. Tak ada yang bisa menerangkan mengapa seseorang yang tak tahu cerita tanah ini bisa mengklaim sebagai miliknya.
Kini, tanah yang dulunya seperti pelukan hangat itu berubah menjadi dingin dan asing. Bukan karena ia mengusir, tapi karena seseorang datang membawa peta, dokumen, dan pasal, lalu menyebut tanah itu bukan milik warga, melainkan miliknya.
Dan kita semua harus bertanya: apakah suara hati bisa jadi alat bukti? Ataukah semuanya akan tenggelam bersama gema azan yang tak pernah sampai ke telinga pengadilan?
Warga hanya ingin tinggal dengan tenang. Mereka ingin bekerja, pulang, mencium anak mereka yang sedang belajar mengeja, lalu tidur dalam damai. Tapi malam-malam kini dipenuhi tanya.
Mereka tak menolak hukum. Tapi mereka bertanya: apakah hukum juga menghitung air mata? Apakah keadilan mengenali wajah-wajah yang setiap hari menyalakan lampu kampung? Apakah sidang bisa mendengar suara anak-anak yang baru belajar membaca, yang kini takut rumah mereka hanya akan jadi kenangan dalam foto?
Kampung Simpen bukan tempat liar. Ia punya cerita. Ia punya nyawa. Jika mereka digugat, yang hilang bukan hanya bangunan, tapi seluruh makna tentang “rumah”.
Kampung ini mungkin kecil. Tapi di dalamnya ada sejarah. Ada pernikahan, ada bayi yang lahir, ada doa-doa yang setiap malam dipanjatkan. Apa semua itu tak dihitung di mata hukum?
Kini tanah tak lagi bicara melalui pohon dan daun. Ia bersuara lewat angka pasal dan garis peta. Dan warga hanya bisa bertanya: apa arti memiliki, jika kejujuran tak pernah cukup jadi bukti?
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #84: Sengketa Tanah Desa Tenjolaya Menggusur SDIT Bina Muda
Ruang Hidup Ratusan Warga di Desa Tenjolaya Terancam Eksekusi Lahan, Kasus ini Mencuat Setelah Nenek Jubaedah Mengungkap Dugaan Manipulasi Data Tanah di TikTok
Antara Kenangan dan Kegelisahan
Tanah di Kampung Simpen bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah halaman dari kitab hidup yang ditulis pelan-pelan oleh keringat, dan secara sabar. Tapi kini, akar-akar mimpi itu diguncang oleh dokumen dan peta yang berubah diam-diam.
Pak Apud Kurdi, almarhum yang dulu membuka jalan bagi warga agar bisa punya sebidang tanah, pernah membeli lahan kering di sana bersama istrinya, Jubaedah. Sebagian dari tanah itu mereka jual dan sewakan secara resmi: ada uang dibayar, ada akta jual beli (AJB) diteken. Warga membangun rumah dan hidup bertahun-tahun tanpa sengketa.
Sampai suatu hari, pada 2009, gugatan datang. Nama Apud Kurdi kembali disebut, bukan dalam tahlil, tapi di dalam saksi dan dalil hukum. Tanah-tanah yang dulu dijual dengan niat baik kini dianggap tak sah.
Mereka yang mengklaim sebagai ahli waris Ny. Oce bin Mansur tiba-tiba hadir. Mereka berkata tanah itu milik mereka. Membawa peta, pasal, dan alasan. Gugatan pun datang: dimulai dari perkara 159/PDT.G/2009/PN.BB yang ditolak, lalu 39/Pdt.G/2011/PN.BB yang akhirnya memaklumatkan tanah itu, bukan milik mereka.
Namun yang lebih getir dari gugatan adalah perubahan data. Persil 112 C yang semula 130 desiare dalam data lama, menjadi 920 desiare dalam data baru. Angka yang membengkak, bukan karena alam, tapi karena pena yang terlalu ringan menari.
Tahun 1982, Desa Tenjolaya dimekarkan. Kantor desa berpindah, batas wilayah berubah. Di sinilah letak benang kusutnya. Tapi yang tak berubah: warga membayar tanah itu dengan uang nyata.
Namun hukum lebih percaya arsip yang berubah daripada ingatan kolektif satu kampung. Seolah surat lebih penting dari saksi hidup. Seolah rumah yang dibangun dengan susah payah hanyalah bangunan liar.
Warga tahu rasa cemas saat surat eksekusi datang tanpa salam. Mereka tak punya orang dalam (Ordal) pengadilan, tapi punya tetangga yang saling menguatkan.
Kini semuanya ditimbang. Tapi oleh siapa? Karena keadilan sering kali sibuk menghitung angka, tapi lupa menghitung air mata. Kampung Simpen bertanya: apakah rumah bisa dianggap tidak sah hanya karena tinta di peta berubah? Apakah tanah bisa dirampas oleh mereka yang tak pernah menanam satu pohon pun di atasnya?
Kampung itu kini seperti lembaran puisi yang dirobek paksa dari baitnya. Anak-anak masih bermain, tapi tanah yang mereka injak sedang diperebutkan oleh suara-suara yang tak mengenal senyum mereka.
Bayi-bayi lahir di tanah ini. Disucikan azan, dibesarkan di sini. Tapi semua itu seperti tak berarti di hadapan peta yang garisnya berubah tanpa suara. Seolah sejarah hanya sah jika dicetak, bukan jika diingat. Seolah air mata tak bisa dijadikan alat bukti.
Kampung Simpen kini berdiri di dua dunia: satu kenangan, satu kegelisahan. Warga menjadi penunggu vonis. Suara hujan tak lagi menenangkan, karena bersaing dengan suara ketukan palu hakim.
Penggugat tak pernah membawa cerita. Mereka datang dengan fotokopi dan argumen. Mereka bicara tentang hak, tapi tak menyebut kenangan. Mereka bicara tentang data, tapi tak peduli pada perasaan.
Dan yang paling menyakitkan: negara yang seharusnya hadir, justru diam. Seperti tak mengenal siapa yang dulu membangun jalan, menyalakan lampu, mengibarkan Merah Putih setiap 17 Agustusan.
Kampung Simpen kini berdiri di antara dua ayat: satu dari kitab hukum, satu lagi dari kitab hidup. Tapi yang manakah akan dibaca lebih keras?
Menanti Jawaban Hukum
Kampung Simpen terjebak dalam sunyi yang lebih berat dari bisu. Mungkin bagi sebagian orang, ini hanya kisah tanah yang diperebutkan. Tapi bagi warga, tanah ini adalah pusaka kehidupan. Peta-peta itu membekukan segala yang hidup. Angka-angka membunuh sejarah. Menggantikan setiap langkah kaki dengan garis-garis kaku yang tak mengenal luka.
Apakah hukum cukup kuat menghitung tiap tetes keringat di tanah ini? Apakah pengadilan bisa mendengar bisikan dari tanah yang telah menjadi rumah bagi jiwa-jiwa yang tahu tentang cinta?
Kampung Simpen kini menjadi simbol perlawanan. Di balik gugatan yang dingin dan angka-angka tanpa rasa, ada hati-hati yang terluka. Ada ibu yang tak bisa menyembunyikan khawatir. Ada anak-anak yang belajar untuk tidak berharap.
Semua ini terjadi di negeri yang katanya menjunjung keadilan. Tapi apakah keadilan benar-benar ada di sini?
Kita bertanya pada hukum, tapi hukum tak menjawab. Kita berharap pada negara, tapi negara hanya menonton. Di setiap peradilan yang memutuskan nasib mereka, secuil harapan pun tenggelam.
Jika tanah ini bisa bicara, ia mungkin akan bertanya: “Siapa yang benar-benar berhak menanamkan akar di tubuhku? Mereka yang membawa dokumen dan peta, atau mereka yang mencintaiku dengan segenap hati?”
Tapi suara itu tak akan pernah didengar. Dan kita, hanya bisa bertanya dalam hati: “Apa arti memiliki, jika kejujuran tak pernah cukup menjadi bukti?”
Kampung Simpen kini berdiri dalam penantian. Menunggu jawaban. Dan kita, sebagai saksi, hanya bisa bertanya: apakah hukum akan berpihak pada mereka yang berjuang dengan cinta, atau hanya pada mereka yang menggugat dengan angka?
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.