Ibu-ibu Menjadi Korban Pemukulan di Area Bekas Kebakaran Sukahaji, Aksi Kekerasan Berlangsung Semalaman
Kekerasan terkait konflik tanah di Sukahaji menambah jumlah konflik agraria di Kota Bandung maupun Jawa Barat. Kelompok rentan seperti perempuan paling dirugikan.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 April 2025
BandungBergerak.id - Kekerasan kembali mewarnai konflik agraria yang berkepanjangan di Sukahaji, Babakan Ciparay, Kota Bandung. Kali ini, sejumlah ibu-ibu menjadi korban dalam insiden kekerasan yang terjadi pada Senin, 21 April 2025. Mereka mengalami pemukulan dan intimidasi oleh sekelompok orang di tengah konflik kepemilikan lahan yang tak kunjung terselesaikan.
Insiden ini terekam dalam video dan tersebar luas di media sosial. Rekaman menunjukkan aksi pelemparan batu dan kekerasan fisik terhadap warga, khususnya ibu-ibu yang sedang berada di area bekas kebakaran kios-kios penjual kayu. Aksi itu dipicu saat warga mempertanyakan aktivitas sekelompok orang yang diduga akan melakukan pemagaran di area tersebut.
Yuriani, salah satu warga yang menjadi korban, mengaku menerima bogem mentah dari orang yang terlibat dalam aksi tersebut. “Maunya gak ada yang anarkis, tapi dari ormas menyerang anak-anak kami Sukahaji, ibu-ibu juga kena pukul, kena dorong, udah anarkis. Saya kena pukul, kena tonjok,” ujar Yuriani, dikutip dari Narasi Newsroom, Selasa, 22 April 2025.
Pada pukul 12.00 WIB, aksi kekerasan berlanjut dengan pembentakan dan pemukulan terhadap ibu-ibu serta intimidasi terhadap anak-anak dan warga yang menunjukkan solidaritas. Warga pun melaporkan insiden tersebut ke polisi. Namun, belum sempat proses hukum berjalan, kekerasan kembali terjadi.
Pada malam harinya, sekitar pukul 21.26 WIB, sekelompok orang kembali merangsek masuk ke permukiman warga. Mereka membawa senjata tajam dan menyerang warga yang berjaga. Dua orang mengalami luka: satu di bagian dahi dan satu lainnya di punggung.
Ketegangan belum reda hingga pukul 23.00 WIB. Sejumlah warga bersama massa solidaritas tetap berjaga untuk mengantisipasi serangan susulan. Beberapa anggota kepolisian turut berjaga di sekitar lokasi kejadian.
Konflik agraria di Sukahaji bukan perkara baru. Sengketa bermula sejak 2009, ketika Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnaar mengklaim memiliki hak atas lahan yang telah ditempati warga RW 01 dan RW 04 selama bertahun-tahun. Upaya warga mencari kejelasan melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2013 tidak membuahkan hasil.
Situasi diperparah dengan rangkaian kebakaran yang berulang kali terjadi di kawasan tersebut. Pada 2018, kebakaran meludeskan 40 kios dan 9 rumah. Peristiwa serupa kembali terjadi pada 2022, menghanguskan 6 rumah.
Kebakaran terbaru terjadi Rabu malam, 9 April 2025, menghanguskan 45 jongko penjual kayu palet di terusan Jalan Pasirkoja dan tiga rumah warga. Peristiwa ini terjadi sehari sebelum sidang gugatan terkait pemagaran lahan Sukahaji.
Akun media sosial yang mengunggah kekerasan di Sukahaji di antaranya Instagram resmi LBH Bandung dan Aksi Kamisan Bandung berjudul “Di Hari Kartini: Ormas Serbu Lahan Warga Sukahaji Kembali di Malam Hari”, mengingat kejadian tersebut bertepatan dengan 21 April 2025.
“Penyerobotan lahan seluas 7,5 hektar masih berlangsung hingga hari ini. Dalam situasi yang pelik ini, sesama warga dibuat tak saling percaya dan saling mencurigai. Inilah konflik sosial lahan warga Sukahaji,” demikian keterangan tertulis pada gambar unggahan LBH Bandung dan Aksi Kamisan Bandung.
Baca Juga: Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan
Ibu-ibu dan Bapak-bapak Sukahaji Mendesak BPN Kota Bandung Membuka Data Pemilik Sertifikat Tanah
Malam Solidaritas Sukahaji Melawan, Menghidupkan Ruang Hidup Warga
Catatan Konflik Agraria dan Kekerasan terhadap Warga
Insiden kekerasan terhadap ibu-ibu Sukahaji menambah panjang daftar buruk penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Tragedi yang menimpa ibu-ibu Sukahaji mencerminkan mendesaknya peran negara dalam melindungi rakyat di pusaran konflik agraria yang seharusnya diselesaikan secara adil dan bermartabat. Ketika kekerasan menjadi bagian dari solusi, maka keadilan akan semakin menjauh.
Di Bandung Raya, sejumlah daerah tercatat mengalami konflik agrarian, selain Sukahaji, Dago Elos, Tamansari, Anyer Dalam, Kebon Jeruk, Babakan Surabaya, Cicalengka, dan lain-lain. Terbaru, tanah yang ditempati SMAN 1 Bandung mengalami kekalahan dalam gugatan sengketa tanah yang dilayangkan oleh Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) di Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN) Bandung.
Konflik agraria yang semakin meningkat menunjukkan lemahnya pengelolaan tanah dan ketidakpastian hukum terkait hak atas tanah, serta mencerminkan buruknya implementasi reforma agraria sebagaimana diamanatkan UU Pokok Agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ratusan kasus kekerasan dan kriminalisasi akibat konflik agraria di Indonesia sepanjang 2024. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, mengungkapkan bahwa setidaknya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi.
Kelompok yang paling terdampak dari konflik agraria ini mencakup petani, masyarakat miskin kota, nelayan, dan masyarakat adat. Total, KPA mencatat 295 kasus sepanjang tahun 2024 yang melibatkan empat kelompok tersebut.
Di Provinsi Jawa Barat sendiri, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sedikitnya 16 kasus konflik agraria pada tahun yang sama. Dewi menuturkan bahwa sebagian besar konflik terjadi akibat keterlibatan pemerintah, badan usaha baik swasta maupun milik negara, serta aparat keamanan.
Dalam temuannya, KPA menyebutkan ada 108 kasus yang melibatkan praktik ilegal oleh badan usaha negara dan swasta. Sebanyak 21 kasus terkait mafia tanah, dan 23 kasus lain merupakan bentuk pembiaran terhadap tanah-tanah yang ditelantarkan perusahaan. Modus yang digunakan adalah menjadikan tanah tersebut sebagai jaminan untuk mendapatkan modal dari bank dengan menggadaikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).
KPA menegaskan pentingnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang sejalan dengan amanat TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dewi menyebutkan bahwa pelaksanaan reforma agraria selama ini lemah secara hukum.
“Reforma Agraria merupakan sebuah kebijakan strategis yang sangat penting dalam mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah dan penguasaan atas kekayaan alam di Indonesia,” kata Dewi Kartika.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain tentang Konflik SUKAHAJI