• Kampus
  • Layanan Kesehatan Ramah Lingkungan Semakin Mendesak Diterapkan

Layanan Kesehatan Ramah Lingkungan Semakin Mendesak Diterapkan

Adopsi prinsip keberlanjutan dalam layanan kesehatan penting untuk menekan jejak karbon dan efisiensi pengelolaan limbah medis.

Dinas Kesehatan Kota Bandung bersama organisasi Masyarakat Tionghoa Peduli melaksanakan vaksinasi massal untuk 4.000 orang tenaga pendidik serta melakukan suntikan dosis kedua untuk 3.000 warga lansia, di gedung Karuhun Priangan Yayasan Dana Sosial Priangan di Bandung, Jawa Barat (12/4/2021). (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana23 April 2025


BandungBergerak.idLayanan kesehatan tidak luput dari sorotan dalam upaya menanggulangi krisis iklim. Di bidang gastroenterologi dan endoskopi, The Asian Pacific Association of Gastroenterology (APAGE) menyampaikan serangkaian rekomendasi untuk mendorong praktik medis yang lebih ramah lingkungan. Pernyataan itu diterbitkan dalam “Journal of Gastroenterology and Hepatology” edisi 2025, dalam artikel “APAGE Position Statements on Green and Sustainability in Gastroenterology, Hepatology, and Gastrointestinal Endoscopy”.

APAGE menyebutkan, praktik medis, khususnya prosedur endoskopi, menyumbang emisi gas rumah kaca cukup besar. Konsumsi energi tinggi dan banyaknya alat sekali pakai memperparah situasi. 

Karena itu, mereka menyerukan langkah konkret: mengurangi penggunaan peralatan sekali pakai, memaksimalkan pemanfaatan perangkat medis yang bisa digunakan ulang, memanfaatkan kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi diagnosis, serta memperluas praktik telemedicine guna menekan frekuensi kunjungan pasien ke rumah sakit. 

Salah satu penyusun utama rekomendasi ini adalah Ari Fahrial Syam, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Ia menilai, pendekatan keberlanjutan sangat relevan bagi sistem kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Sebagai negara berkembang dengan populasi besar, Indonesia perlu mengadopsi sistem pelayanan kesehatan yang lebih ramah lingkungan tanpa mengurangi kualitas layanan. Pengurangan prosedur yang tidak perlu, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya kesehatan adalah langkah penting yang dapat diterapkan di berbagai rumah sakit di Indonesia,” kata Ari, dikutip dari laman resmi Universitas Indonesia, diakses Rabu, 23 April 2025. 

Menurutnya, FKUI sebagai institusi pendidikan juga memiliki peran strategis untuk mendorong perubahan. “FKUI bisa menjadi pionir dalam menerapkan praktik medis yang lebih hijau, dimulai dari pembentukan kesadaran di kalangan mahasiswa kedokteran hingga para tenaga medis di lapangan,” lanjutnya.

APAGE menyoroti pula pentingnya mengurangi ketergantungan pada endoskop sekali pakai. Selain menekan limbah medis, langkah ini juga mendukung efisiensi biaya. Pemanfaatan teknologi berbasis kecerdasan buatan dalam prosedur endoskopi dinilai mampu meningkatkan akurasi diagnosis dan mengurangi kebutuhan biopsi yang tidak perlu. 

Inisiatif ini menjadi tonggak penting menuju sistem kesehatan yang tidak hanya menyehatkan manusia, tetapi juga lingkungan. Dengan keterlibatan para pakar dari berbagai negara, termasuk Indonesia, rekomendasi ini diharapkan bisa diadopsi secara luas dan mendorong lahirnya kebijakan nasional yang berpihak pada kesehatan dan kelestarian.

Baca Juga: Kesehatan Mental dan Kapitalisme
Secangkir Kopi dan Kesehatan Mental dan Pikiran
Tenaga Kesehatan dan Guru Honorer Jawa Barat Bergerak

Tenaga Medis Wajib Melek Limbah Medis

Masih terkait limbah medis, ini menjadi tantangan serius di fasilitas kesehatan. Misalnya limbah padat yang mencakup benda tajam, bahan infeksius, limbah farmasi, kimia, dan patologik. Jika dikelola sembarangan, risiko kesehatan bagi tenaga medis, pasien, dan masyarakat pun meningkat. 

Penelitian yang dilakukan Annisa Fitri Maharani, Irvan Afriandi, dan Titing Nurhayati dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) mengungkap kondisi faktual di lapangan. Mereka meneliti pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan terhadap pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Kota Bandung. Penelitian ini melibatkan 159 responden dari kalangan dokter, perawat, bidan, analis, dan tenaga farmasi.

Hasilnya cukup mencolok. Sebanyak 56,6 persen tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang baik, 25,8 persen tergolong sedang, dan 17,6 persen lainnya rendah. Di sisi sikap, mayoritas menunjukkan sikap positif (82,4 persen), meski 17,6 persen masih belum memadai.

Ketimpangan paling mencolok tampak antara kelompok dokter dan nondokter. Dari sisi pengetahuan, 84,2 persen dokter berada di kategori baik, sedangkan pada non-dokter hanya 52,9 persen. Soal sikap, dokter juga unggul: 94,7 persen dibanding 80,7 persen.

Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa hanya pengetahuan yang memiliki hubungan signifikan dengan latar belakang profesi (nilai p < 0,001), sementara sikap tidak (nilai p = 0,300). Artinya, meski dokter secara umum lebih memahami isu limbah medis, hal ini tidak serta-merta menciptakan perbedaan sikap yang signifikan dibanding tenaga kesehatan lainnya.

Penelitian ini juga mengungkap lemahnya pemahaman dasar pada kalangan non-dokter. Misalnya, hanya 19,3 persen non-dokter yang menjawab benar soal kegiatan daur ulang, sementara pada dokter angkanya mencapai 68,4 persen. Dalam pertanyaan tentang pentingnya memilah limbah berdasarkan klasifikasinya, dokter menjawab dengan benar secara konsisten (100 persen), sedangkan non-dokter hanya 89,3 persen.

Temuan ini menjadi alarm penting bagi manajemen rumah sakit. Tanpa peningkatan pengetahuan dan sikap yang merata di antara seluruh tenaga kesehatan, upaya pengelolaan limbah medis yang aman dan efisien akan sulit tercapai. 

Para peneliti menekankan bahwa pelatihan berkelanjutan perlu digalakkan. Pengetahuan tidak boleh hanya menjadi milik dokter, tetapi harus menjangkau seluruh elemen medis dan paramedis. Sebab, limbah dihasilkan bukan hanya dari tindakan dokter, tetapi dari seluruh rantai layanan kesehatan. 

Annisa Fitri Maharani dan tim menyimpulkan bahwa penguatan kapasitas tenaga kesehatan adalah langkah strategis. Meski sikap umumnya sudah tergolong baik, masih ada celah besar dalam aspek pengetahuan, terutama pada kelompok non-dokter. Penelitian ini memberikan dasar yang kuat bagi perumusan pelatihan dan kebijakan pengawasan internal agar pengelolaan limbah medis padat di rumah sakit dapat dilakukan dengan benar, aman, dan sesuai standar.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel tentang layanan kesehatan dalam tautan berikut ini 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//