• Berita
  • Reconstruction 2025: Menyelami Makna Boneka Tergantung, Menyimak Riwayat Orang-orang Kecil

Reconstruction 2025: Menyelami Makna Boneka Tergantung, Menyimak Riwayat Orang-orang Kecil

Pameran di Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, Bandung, tidak hanya menampilkan karya-karya personal melainkan juga menyuguhkan sejarah dari orang-orang kecil.

Linimasa karya dari Nadia Nur Zamli yang menyambut pengunjung saat masuk ke ruang pameran di Sanggar Olah Seni, Bandung, 18 April 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah23 April 2025


BandungBergerak.id - Di antara karya empat seniman yang berpameran dalam “Reconstruction 2025”, pameran seni rupa di Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, Bandung, instalasi berjudul “Linimasa” cukup mencuri perhatian. Instalasi ini menampilkan boneka-boneka yang digantung, disusun di tengah ruangan, menyambut setiap pengunjung yang datang.

Linimasa merupakan karya Nadia Nur Zamli yang menggabungkan berbagai elemen visual sarat makna: boneka-boneka (soft sculpture) yang diikat dan digantung dengan benang merah, serta pesawat-pesawat kertas berwarna cokelat dengan aksen terbakar. Melalui karyanya, Zamli mencoba menghadirkan kembali ingatan masa lalu sebagai bahan refleksi diri, menyoroti bagaimana pengalaman masa kecil berkaitan erat dengan masa depan seseorang.

Selain itu, instalasi ini juga merupakan bentuk ekspresi dari proses berdamai dengan pengalaman traumatis atau emosional melalui medium seni. Setiap elemen dalam karya ini memiliki simbolisme tersendiri: boneka sebagai representasi masa kecil dan latar belakang seni yang membesarkannya, benang merah sebagai penghubung antara masa lalu dan masa depan, serta pesawat kertas sebagai lambang harapan—ringan namun sarat makna.

Zamli mengerjakan seluruh proses penciptaan karya ini dalam waktu satu bulan, dengan semua boneka dijahit sendiri menggunakan tangan. Inspirasi bentuk-bentuk boneka berasal dari karya gambar murid-murid yang dia ajar sebagai guru les privat anak-anak.

“Sebagian bentuk bonekanya, tuh, aku ngerespon dari karya gambar anak-anak yang aku ajar. Kebetulan aku guru les privat anak. Alasan aku ngambil bentuk dari karya gambar anak, selain mengingatkan aku ke masa kecil, karena aku tumbuh di lingkungan seni. Juga karya gambar anak (adalah) karya yang jujur,” tutur Zamli melalui pesan WhatsApp.

Ia juga memastikan untuk meminta izin kepada orang tua anak-anak tersebut sebelum menggunakan gambar mereka sebagai inspirasi.

Pameran ini menarik perhatian banyak pengunjung, termasuk Bulan (22 tahun), seorang mahasiswi Film dan Televisi angkatan 2023. Terbiasa berkecimpung di dunia seni, Bulan hadir pada pembukaan pameran pada Jumat, 18 April 2025, bersama teman-temannya yang juga terlibat dalam ekshibisi ini.

“Jadi saya ke sini tuh untuk mengapresiasi apa yang dilakukan oleh teman-teman saya, proses pengkaryaan mereka. Ini hasilnya dan keren-keren,” ujar Bulan, yang saat ini tengah mengerjakan proyek film fiksi.

Ketika ditanya karya mana yang paling berkesan, tanpa ragu ia menyebut “Linimasa” milik Zamli—teman dekatnya.

“Nah, ini tuh salah satu karya seni yang menurut saya suka. Karena dekat dengan Zamlinya sendiri. Mengenai tentang kehidupannya juga gitu,” lanjut mahasiswi yang mempunyai latar belakang seni teater, yang menilai karya ini sangat personal.

Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung: Pembunuhan Ismail Haniyeh Menambah Panjang Daftar Kejahatan Israel
Menjelajah Serambi Seni Selasar Sunaryo Art Space

Bawana sedang menjelaskan karyanya berjudul Napas Pangkah Dalam Riwayat kepada rekannya. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)
Bawana sedang menjelaskan karyanya berjudul Napas Pangkah Dalam Riwayat kepada rekannya. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Medium untuk Rekonstruksi Makna

Dalam seni kontemporer, seni tak lagi semata produk estetika. Ia telah berkembang menjadi medium yang merekonstruksi makna, mengurai dan menyusun kembali fragmen-fragmen pengalaman, identitas, dan sejarah. “Reconstruction 2025” adalah manifestasi dari semangat ini. Empat seniman muda mencoba menghadirkan karya yang menjadi ruang reflektif atas berbagai lapisan realitas.

Selain Zamli, Muhammad Arya Al Hafizh, Bawana Helga Firmansyah, dan Hikmatyar Moh. Amry juga berpartisipasi dalam pameran ini. Masing-masing menghadirkan rekonstruksi makna melalui pendekatan berbeda.

Arya, misalnya, mengkritisi budaya konsumtif dalam karya-karyanya: “Where will we hang out this time?”, “I don't have clothes for tomorrow”, dan “I think I’d like to buy another one”. Ia menyoroti bagaimana industri memengaruhi gaya hidup dan kebiasaan masyarakat modern, mulai dari budaya fast-fashion hingga normalisasi gaya hidup instan.

“Nah, karya-karya aku tuh merespons semua itu sebagai bentuk awareness. Seperti budaya fast-fashion yang di mana kita selalu kebingungan hari besok untuk memakai baju apa? Karena sangat pesatnya konsumtif kita terhadap barang pakai,” ujar Arya, yang akrab disapa Karyo, saat ditemui oleh BandungBergerak.

Karyo juga mengkritik budaya nongkrong anak muda serta konsumsi soda kaleng, yang menurutnya terkait dengan isu sosial global, termasuk krisis kemanusiaan di Palestina. Perjalanan menciptakan karya-karya ini memakan waktu satu semester, sebuah proses penuh eksplorasi yang membawanya keluar dari ranah kuratorial ke seni kriya.

“Aku senang sih. Jujur, mungkin ini adalah karya yang mungkin pertama kali jujur banget bikinnya dan aku suka banget,” ungkap Karyo.

Sementara itu, Hikmatyar Moh. Amry, atau Tyar, mencoba menafsir ulang seni lukis. Ia menghadirkan tiga karya berjudul “Final Meditation: Reinterpretasi Malcolm Browne”, “Post-War Modernity: Reinterpretasi Garry Winogrand”, dan “Figures and Stigma: Reinterpretasi Arbus”. Tyar mempertanyakan batasan seni lukis dan bereksperimen dengan media artprint serta cetak saring.

“Dan pada akhirnya saya punya opini pribadi bahwa seni lukis adalah segala sesuatu media dua dimensional atau bidang datar yang dioleskan, ditimpakan atau disemprotkan pigmen warna di atasnya seperti itu,” jelas Tyar.

Karyanya dipengaruhi oleh seni visual tahun 1960-an, terutama fase peralihan dari modern ke postmodern. Visual yang dihadirkan cerah dan mencolok, mengacu pada karya-karya fotografi populer era 1961–1965.

Berbeda lagi dengan Bawana Helga Firmansyah. Melalui dua karya berjudul “Pace” dan “Napas Pangkah Dalam Riwayat”, ia menyoroti sejarah dari perspektif masyarakat biasa. “Pace”, wilayah di Jawa Timur, menjadi inspirasi utama. Nama itu berasal dari buah mengkudu, bagian dari tradisi penamaan daerah yang kerap diubah oleh penguasa.

“Dalam konteks ini ingin memunculkan ini sih wilayah gula yang melahiri involusi atau kemandekan. Di mana masyarakat pertanian itu terjebak oleh pola-pola tradisional sebagai dampak dari ekspansi kolonial Belanda,” jelas Bawana.

Karya lainnya, “Napas Pangkah Dalam Riwayat”, bersumber dari riwayat keluarganya di Temanggung. Menggunakan media kayu, arang, batu bata, beras, dan buku, ia menciptakan lanskap visual yang merepresentasikan sejarah pertanian dan kehidupan kelas pekerja.

“Sebelumnya kan orang itu kalau menuliskan riwayat keluarga itu kan ya orang yang besar atau gimana itu. Tapi (aku) ingin memunculkan riwayat ini sebagai masyarakat biasa gitu. Karena sejarah kan rumit, enggak melulu sesuatu yang besar,” katanya.

Reconstruction 2025 sendiri merupakan bagian dari Pameran Karya Luaran MBKM Projek Mandiri Program Studi Pendidikan Seni Rupa UPI. Diselenggarakan bekerja sama dengan Studio Rute dan dikuratori oleh Galih J. Kurnia, pameran ini berlangsung selama lima hari, dari 18 hingga 22 April 2025.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Seni Rupa

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//