MEMOAR BUKU 17#: Lie Kimhok dan Kesusastraan Tionghoa di Nusantara
Di era Orde Baru sastra Tionghoa dilarang dipelajari. Lie Kimhok berjasa terhadap perkembangan kesusastraan Tionghoa di Nusantara.

Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
24 April 2025
BandungBergerak.id - Pada saat membuka kios buku di Pasar Cihaurgeulis tahun 2004, saya mengenal seorang pelanggan bernama Mamat Sasmita atau akrab disapa Ua Sas yang sering membeli buku terkait dengan tema Sunda dan kesundaan. Dari lapak buku saya, Ua Sas sering mendapatkan buku-buku Sunda yang bagus dan langka. Bahkan ketika Ua Sas membuka kios buku bernama “Kaseundeuhan” di tempat yang sama, saya tetap memasok buku-buku Sunda kepadanya. Begitupun sebaliknya kalau ada buku yang bagus di kios bukunya, saya juga sering membeli atau membarternya.
Suatu waktu Ua Sas memberi saya buku yang mungkin saat itu tidak termasuk dalam genre kesukaannya, yaitu buku Lie Kimhok (1853 – 1912 ) tulisan Tio Ie Soei. Pertama kali melihatnya, saya berpikir itu buku tua di bawah tahun 1930an. Menggunakan bahasa Melayu rendah dengan ejaan ‘oe’ ternyata buku itu diterbitkan oleh penerbit “Good Luck” Bandung tahun 1958.
Buku Lie Kimhok merupakan semacam biografi dari pengarang Tionghoa peranakan yang jasanya terhadap perkembangan kesusastraan Tionghoa cukup berpengaruh. Meskipun pada perkembangannya terutama pada era Orde Baru, semua yang terkait dengan budaya Tionghoa merupakan suatu yang diharamkan untuk dikenalkan apa lagi dipelajari. Sebagaimana sejarah mencatat pascaperistiwa 1965 pemerintah Orde Baru mulai memberlakukan penyensoran dan pelarangan terhadap banyak ragam kegiatan rakyatnya, termasuk media sastra dan kebudayaan, terutama yang berasal dari negeri Cina, yang dianggap dapat mengganggu stabilitas.
Banyak contoh kebudayaan Cina yang dilarang dipentaskan, misalnya barongsai yang identik dengan budaya Tionghoa. Kesenian yang biasanya muncul saat tahun baru imlek ini tidak pernah muncul sampai pada medio Mei 1998 sebagai tonggak berdirinya pemerintahan reformasi. Apalagi setelah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) no. 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut semua larangan yang terkait dengan diskriminasi terhadap kepercayaan orang Tionghoa. Maka, sejak itu semua yang sebelumnya dilarang bermunculan. Tahun baru Imlek, pementasan barongsai bisa dirayakan dengan bebas dan meriah.
Buku-buku yang berkenaan dengan Tionghoa yang sebelumnya dilarang juga mulai dicetak ulang, salah satunya buku Hoakiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer. Dari sisi sinematografi juga kita mengenal film “GIE” arahan sutradara Riri Reza, yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran, tulisan harian aktivis mahasiswa 66 keturunan Tionghoa Soe Hok Gie yang aktif melawan rezim Sukarno.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #14: Membaca Ulang Sang Pemula
MEMOAR BUKU #15: Dede Haris dan Musik Kritis di Bandung
MEMOAR BUKU #16: Buku Kenangan Sang Pangeran
Sastra Tionghoa
Claudine Salmon dalam bukunya Sastra Indonesia Awal Kontribusi Orang Tionghoa menyebutkan, kesusastraan Melayu-Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh dan untuk orang Tionghoa perantauan, berkembang di Hindia Belanda, khususnya di Jawa dan dalam tingkatan lebih rendah di Malaysia, itu hanya periode akhir abad ke-19 sampai tahun 1945. Artinya pascatahun 1945 kesusastraan Tionghoa mengalami kemunduran, sehingga tidak mengherankan kalau nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Nio Joe Lan, Tio Ie Soei, Soe Lie Pit tidak begitu akrab pada generasi setelah kemerdekaan, apalagi dengan nama Lie Kimhok yang terasa asing. Padahal ia dicatat sebagai salah seorang yang cukup besar kontribusinya bagi perkembangan literasi dan kesusastraan Tionghoa Melayu pada akhir tahun 1800-an.
Lie Kimhok lahir di Kampung Tengah Bogor pada 1 November 1853. Dibesarkan di daerah Priangan memudahkannya untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Ketika sekolah di Cianjur ia mendapat gemblengan langsung dari S. Coolsma, seorang guru sekolah yang menyusun kamus Sunda Belanda-Belanda Sunda. Coolsma memandang Lie Kimhok sebagai seorang murid dengan semangat belajar yang besar dan sangat pandai terutama dalam membuat karangan, menggambar, dan ilmu alam. Kegemarannya membaca buku menjadikannya seorang penulis dan penerjemah berbakat. Tak kurang dari 25 buku baik tulisan maupun terjemahan telah diterbitkan, seperti buku bertajuk “Orang Prampoewan”(1885), “Prampoean jang terdjoewal” (1927), “Pembalasan Dendam Hati” (1905),“Hikajat Nabi Khong Hoe Tjoe”(1897), dll.
Lie Kimhok juga merupakan penulis pertama yang menterjemahkan seri-seri sastra petualangan barat, seperti “Graff de Monte Christo” karya Alexandre Dumas (1894/1899), Les Exploits de Rocambole yang diterjemahkan menjadi Boekoe Tjerita Kawanan Pendjahat tulisan Alexis de Ponson du Terrail. Untuk memudahkan penyebaran buku-bukunya itu ia juga mendirikan Drukkerij Lie Kimhok & Co sebagai percetakan yang mencetak karya-karyanya seperti: “Kitab Edja ABC”(1884), “Sobat anak-anak” (1885), “Atoeran sewa menjewa” (1886). Bahkan buku Kitab Edja ABC menjadi semacam buku “wajib” di kalangan anak sekolahan Hindia Belanda pada waku itu.
Di antara karya-karya Lie Kimhok nampaknya Tata Bahasa Malajoe-Batawi dan Siti Akbari yang paling monumental. Selain menjadi rujukan dan mengalami beberapa kali cetak ulang, Siti Akbari juga sangat kontroversial karena dianggap ide dasar penulisan buku ini berasal dari cerita sunda Siti Rapiah tulisan S. Coolsma yang disadur dari cerita Abdul Muluk terjemahan Arnold Snackey, sehingga banyak yang menyamakan Siti Akbari hanya saduran dari Abdul Muluk. Keterlibatan dan banyaknya buku yang dihasilkan Lie Kimhok semakin membuatnya diperhitungkan sebagai seorang penulis. Banyak penulis lain yang mengaguminya karena penggunaan bahasa Melayu rendah yang baik dalam setiap buku-bukunya.
Walaupun pada masa itu marak pengarang keturunan Tionghoa dan buku-buku sastra yang diterbitkan, tetapi berbeda bagi sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Tempo Doeloe. Pram tidak memasukan cerita-cerita yang ditulis para pengarang keturunan Tionghoa ke dalam khasanah sastra Indonesia sekalipun cerita-ceritanya banyak terjadi di Nusantara. Pram memberi beberapa rujukan perihal buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu seperti Tjerita Njai Dasima karya G. Francis, “Pieter Elberverld” Tio Ie Soei, “Dari Boedak Sampe Djadi Radja” F.Wiggers.
Pram lebih cenderung memasukkan karya-karya tersebut ke dalam golongan Melayu lingua-franca, sebagai sastra asimilatif atau pra-Indonesia. Bahasa Melayu ini tidak baku, digunakan sebagai bahasa lisan (bukan tulis), dan terbentuk karena pertemuan antara berbagai bangsa dan suku di Nusantara. Dari lisan ke tulisan dan kemudian ke cetakan merupakan lompatan besar yang meninggalkan bahasa Melayu baku tercecer untuk waktu cukup lama.
Lie Kimhok sebagai salah seorang yang aktif mendirikan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan), sebuah gerakan kaum muda Tionghoa di Jawa yang berfokus pada kebudayaan dan pendidikan, tentu membuatnya banyak terlibat dalam dunia seni. Kecintaannya terhadap seni dan budaya mendorongnya untuk mendirikan suatu perkumpulan musik sebagai wahana menampung aspirasi para pemuda Tionghoa kala itu yang banyak gandrung dengan musik. Adapun nama perkumpulan musiknya diberi nama “Kesejukanku”.
Sekitar bulan Mei 1912, setelah menderita sakit, Lie Kimhok akhirnya meninggal dengan banyak meninggalkan warisan berupa karya-karya yang sedikit banyak memperindah khazanah etalase perkembangan kesusastraan kontemporer.
Seperti yang diutarakan Tio Ie Soei dalam pengantar bukunya, sedikitnya ada tiga alasan untuk mendudukkan nama Lie Kimhok patut diabadikan. Pertama, kurang lebih setengah abad dari 1884-1930 buku Malajoe-Batawi yang ditulis dan diterbitkannya telah mempengaruhi sebagian besar penulis Tionghoa Melayu yang lebih muda. Buku Malajoe-Batawi dapat digunakan sebagai bahan penyelidikan untuk memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Kedua, kepribadiannya yang baik. Ketiga, ia salah seorang pemimpin dalam gerakan Tionghoa di Jawa yang mempunyai peranan penting.
Dengan asumsi itu tidak mengherankan kalau Lie Kimhok diberi gelar sebagai Bapak Melayu Tionghoa. Namun, sayang buku pemberian Ua Sas itu, dengan pertimbangan ekonomis, sudah saya jual dengan harga lumayan. Buku pemberian sebenarnya menyimpan kenangan, tetapi karena pemberian itu tidak punya keterikatan, maka saya pun merasa tidak ada beban moral. Lagipula saya sudah mendapatkan buku ini lagi dari pelapak.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku