Membicarakan Isu Keragaman Gender setelah Nonton Film Arisan! di Sinesofia Unpar
Film Arisan karya Nia Dinata dan Joko Anwar dibedah dalam rangkaian Sinesofia 2025 yang digagas Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung.
Penulis Wilda Nabila Yoga 19 Mei 2025
BandungBergerak.id – Sakti, Meimei, dan Andien saling bergulat dengan krisis kehidupan masing-masing. Sakti (Tora Sudiro) harus menghadapi penerimaan dirinya sebagai gay di tengah tekanan sosial; Meimei (Cut Mini) berjuang dengan permasalahan rumah tangga dan kesulitan memiliki keturunan; sementara Andien (Aida Nurmala) terkejut mendapat pengakuan perselingkuhan suaminya.
Tiga tokoh utama dalam film “Arisan!” karya Nia Dinata dan Joko Anwar itu dibedah dalam rangkaian Sinesofia 2025 yang digagas Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang mengusung tema besar “Humanis, Gender, dan Identitas”. Pada Rabu malam, 14 Mei 2025, audiens berkumpul di ruang Sinesofia, Fakultas Filsafat Unpar untuk menyaksikan drama satir yang pertama kali tayang 2003 itu.
Acara dimulai sekitar pukul 18.30 WIB dengan sambutan salah satu bagian Sinesofia, Amal (20 tahun), yang menjelaskan evolusi kegiatan rutin ini. “Tujuan awal kegiatan ini adalah untuk memberikan pengalaman nonton film yang beda-beda, yang ga selalu ada di bioskop. Emang kita biasanya cari (film) yang agak lebih susah didapat, atau agak lebih susah untuk nonton kalau misal orang coba cari sendiri. Tapi sekarang karena udah lebih terbuka dan lebih lama, Sinesofia ini bukan cuma terfokus buat anak-anak filsafat, tapi buat siapa aja yang tertarik sama film,” papar Amal.
Usai pemutaran film Arisan!, diskusi dipandu oleh Rega Ayundya Putri, dosen Jurusan Integrated Art Unpar. Peserta aktif mengeksplorasi berbagai lapisan narasi “Arisan!”, mulai dari strategi satir sutradara hingga fakta menarik—misalnya, “Arisan!” tercatat sebagai film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman sesama lelaki. Diskusi kian hangat ketika topik gender, identitas, dan nilai-nilai humanis diangkat
“Gue lebih ke baru realize kalau di tahun 2003 itu isu kehidupan sosial metropolitan yang mencakup orientasi seksual dan gaya hidup narkotika itu ternyata udah ada, soalnya gue yang hidup di lingkungan konservatif justru baru mulai tau definisi orientasi seksual aja tuh pas SMA alias 2019-an,” ujar salah satu penonton, Akbar (20 tahun).
“Menurut gue kenapa relevan karena ini tuh motret keadaan masa lalu yang sampe sekarang itu perubahaannya gak signifikan. Orang-orang dengan seksualitas yang berbeda tuh masih tetep tertutup karena masyarakatnya pun gak terbuka sampe sekarang tentang hal ini. Cuma segelintir aja meskipun bertambah banyak dari tahun ke tahun ya. Tapi tetep aja ruang lingkup kebebasan dalam orientasi seksual itu masih terbatas baik dari segi hukum atau pun norma,” tambahnya.
Sinesofia akan berlanjut setiap pekan selama satu semester, dengan pemilihan film yang memantik diskusi kritis. Rangkaian acara berikutnya akan menghadirkan judul-judul dari berbagai film lainnya di dunia yang pada hakikatnya mengajak penonton berpikir ulang tentang isu-isu kontemporer.
Baca Juga: Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
NONTON FILM: Film Legally Blonde, Mengapa Perempuan Cantik Dipandang Sebelah Mata
Lampu Sengaja Dipadamkan Ketika Diskusi Film Dirty Vote di UIN SGD Bandung masih Berlangsung, Kebebasan Akademik Diintervensi
Film dan Bacaan
Film merupakan bagian dari literasi yang menopang budaya baca dan pengajaran. Isu ini pernah dibahas Yogi Esa Sukma Nugraha, penulis isu-isu sosial dan sejarah, mengatakan sejumlah pakar mengatakan bahwa film dapat menstimulasi emosi dan memungkinkan laju perkembangan kognitif. Karenanya, tidak sedikit kalangan yang menjadikan film sebagai media ajar.
“Itu pula yang mendorong saya untuk turut memanfaatkan beberapa keistimewaan film sebagai bahan pembelajaran,” tulis Yogi, di BandungBergerak.
Bentuk keistimewaan lainnya juga sederhana. Yogi menjelaskan, film berbeda dengan teks. Bukan berarti mengenyampingkan bahan-bahan bacaan sebagai unsur pokok. Namun, jika sekadar menjadikan film sebagai wahana pemantik minat, rasanya tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
“Film yang mampu mengatasi kesulitan menghadapi abstraksi dalam teks yang -- meski pun dirumuskan dari kenyataan -- membutuhkan kemampuan berbahasa cukup mumpuni agar bisa memahami suatu materi,” lanjut Yogi.
Dengan lain perkataan, Yogi menjelaskan, film bisa menjadi "alat bantu" dan juga pengantar untuk menjebol benteng kerumitan memahami bacaan njlimet.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Wilda Nabila Yoga, atau artikel-artikel lain tentang Nonton Film