Kasus Sukahaji dan Pentingnya Membangun Kesadaran Mandiri Masyarakat pada Hak Atas Tanah
Minimnya pengetahuan warga pada hak atas tanah membuka celah bagi mafia tanah untuk memanfaatkan kelemahan sistem hukum kepemilikan tanah.

TIM BERKAS UNPAR 2
Workshop BERKAS Divisi Kajian dan Advokasi Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Periode 2025
19 Mei 2025
BandungBergerak.id – Kasus Sukahaji di Kota Bandung bermula ketika ada pihak yang mengaku perwakilan dari pemilik tanah yang ingin mengambil kembali tanahnya tersebut. Masyarakat yang sudah lama tinggal di lahan tersebut merasa terancam dan kemudian meminta bantuan pada pemerintah. Pemegang sertifikat atas lahan itu adalah PT Sakura dan masyarakat tinggal di tempat tersebut tanpa adanya alas hak yang pasti (prfmnews.pikiran-rakyat.com, 15 April 2025).
Namun warga berpendapat bahwa hal tersebut tidak sah secara hukum. Para warga yang tinggal di sanalah yang mengelola lahan itu selama puluhan tahun sehingga sudah banyak kegiatan yang mereka lakukan di sana. Pemilik lahan kemudian melakukan pemagaran, tindakan yang dirasakan warga sebagai tekanan karena pemagaran tersebut dilakukan sepihak oleh mereka yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Warga kemudian memutuskan untuk menempuh jalur hukum (kabarbandung.pikiran-rakyat.com, 11 April 2025). Kasus tersebut memperlihatkan bahwa legalitas tanah merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki dalam kepemilikan tanah Dengan adanya legalitas tersebut, pemilik akan dapat melakukan penegakan hukum dengan dasar hukum yang pasti.
Di Sukahaji, semua bermula ketika sekelompok warga mulai menempati dan mengelola lahan tersebut sejak tahun 1980-an tanpa memiliki dokumen kepemilikan yang sah (kabarbandung.pikiran-rakyat.com, 11 April 2025). Selama bertahun-tahun, mereka membangun rumah dan memanfaatkan lahan untuk kebutuhan sehari-hari, namun tidak pernah mengurus sertifikat atau surat resmi sebagai bukti kepemilikan. Kondisi tersebut membuat warga lebih rentan terhadap pihak ketiga yang memanfaatkan kekosongan legalitas, sehingga memicu konflik antara warga dan pihak pengklaim. Konflik ini semakin memanas dengan terjadinya serangkaian kebakaran yang diduga disengaja. Karena insiden ini bukan yang pertama dalam tujuh tahun terakhir yang setidaknya sudah dua kali dan kembali terjadi.
Baca Juga: Warga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun
Ibu-ibu dan Bapak-bapak Sukahaji Mendesak BPN Kota Bandung Membuka Data Pemilik Sertifikat Tanah
Warga Sukahaji Mempertanyakan Keberpihakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada Warga Terdampak Sengketa Lahan
Masyarakat dalam Sengketa Kepemilikan Tanah
Kasus Sukahaji menjadi salah satu masalah pertanahan yang tengah marak terjadi di Kota Bandung. Awalnya warga mengelola tanah berdasarkan izin garapan dari kelurahan, tetapi sejak tahun 1990-an mulai mendirikan rumah permanen (kompasiana.com, 12 April 2025). Tanah garapan yang belum dilekati dengan sesuatu hak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat langsung didaftarkan menjadi Hak Milik, namun tanah yang berada di Sukahaji ini tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan warga hanya membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (detik.com, 24 April 2025). Lahan tanah yang menjadi sengketa merupakan tanah dengan hak tenurial karena sudah ditempati turun-temurun. Berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa:
“Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan pasal ini, penguasaan tanah dalam jangka waktu lama secara fisik dan sosial dapat memberikan perlindungan hukum terhadap tempat tinggal masyarakat. Munculnya klaim dari PT Sakura serta pasangan Junus dan Juliana yang juga mengklaim memiliki sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2002 dan 2003 menimbulkan persoalan hukum baru. Meski demikian, warga mempertanyakan keabsahan sertifikat tersebut karena lahan yang bersangkutan telah ditempati dan dikelola oleh masyarakat selama puluhan tahun. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai status hukum tanah tersebut. Meskipun warga telah menguasai lahan itu secara damai dan tanpa sengketa selama bertahun-tahun, hak mereka kini terancam oleh klaim pengalihan hak milik yang datang belakangan.
Sengketa tersebut menjadi cerminan nyata bahwa masyarakat masih belum memiliki kesadaran penuh terhadap pentingnya legalisasi kepemilikan tanah sehingga dapat membuka celah bagi mafia tanah untuk memanfaatkan kelemahan sistem hukum. Dalam sistem hukum agraria Indonesia, kepemilikan atas tanah tidak cukup hanya dengan penguasaan fisik. Legalitas formal atas hak atas tanah ini diwujudkan melalui kegiatan pendaftaran tanah. Ketentuan mengenai pendaftaran tanah ini diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Sebagai pedoman teknis, pendaftaran tanah pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah merupakan proses administrasi yang dilakukan oleh pemilik tanah. Melalui pendaftaran ini, status hukum tanah menjadi jelas, sehingga memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut (Jumadiah, Jamaluddin, Muammar, Sutriani, Sulaiman; 2023).
Namun, dalam praktiknya ketimpangan akses pendaftaran tanah masih tinggi. Masyarakat yang telah menguasai lahan secara turun temurun sering kali tidak memiliki sertifikat karena berbagai alasan, salah satunya adalah minimnya informasi. Akibatnya, mereka kehilangan posisi hukum dalam sengketa. Oleh karena itu, langkah paling krusial dan mendesak adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk segera melakukan pendaftaran tanah dan memperoleh sertifikat sebagai bentuk pertahanan hukum terhadap mafia tanah.
Strategi Mandiri Masyarakat Menghadapi Sengketa Lahan
Langkah preventif utama yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah melakukan sertifikasi tanah. Program pemerintah seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di mana masyarakat dalam satu desa dapat melakukan pendaftaran tanah secara bersamaan, dapat menjadi solusi nyata yang harus dimanfaatkan secara aktif oleh warga (detik.com, 5 September 2024). Keefektifan dari program tersebut dapat terlihat di Kota Makassar di mana dikatakan bahwa berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, program yang dari BPN tersebut sudah tepat sasarannya, terlihat dari segi perencanaan, kuantitas, kualitas, dan berkurangnya jumlah sengketa tanah yang ada (Jamaluddin, Nursadrina, Muh. Nasrullah, Muh. Darwis, Rudi Salam; 2021). Dengan mengikuti program ini, warga dapat memperoleh pengakuan hukum yang sah atas tanah yang mereka kuasai secara fisik dan sosial. Selain sertifikasi, penguatan administrasi lokal juga penting sebagai benteng awal dari upaya pencegahan sengketa. Masyarakat harus aktif dalam mencatatkan keberadaan mereka melalui dokumen-dokumen sederhana namun penting yang akan sangat membantu ketika terjadi mediasi atau proses hukum, karena menunjukkan bahwa masyarakat tidak tinggal secara ilegal.
Masyarakat juga perlu diberikan edukasi dan pendampingan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) maupun komunitas agraria agar tidak terjebak dalam tipu daya mafia tanah. Pemerintah daerah dan organisasi sipil harus proaktif turun ke wilayah rawan sengketa untuk melakukan sosialisasi langsung mengenai proses pendaftaran tanah, potensi modus mafia tanah, serta cara menghindarinya. Kampanye sadar hukum dan literasi agraria harus menjadi program wajib yang diintegrasikan dalam program pembangunan desa atau kelurahan. Jika masyarakat diberdayakan secara hukum, maka mereka akan lebih percaya diri dan terampil dalam mempertahankan hak atas tanah dengan cara legal.
Kesadaran hukum masyarakat sejak dini merupakan langkah penting untuk membentuk warga yang paham hukum dan mampu melindungi hak-haknya, termasuk dalam persoalan agraria. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses hukum kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Dalam kasus Sukahaji, pendekatan mediasi dan intervensi pemerintah harus diarahkan untuk mendorong legalisasi tanah warga, bukan sekadar menyelesaikan sengketa. Sebagai negara hukum, peran lembaga peradilan sangat vital dalam menangani kasus-kasus pertanahan. Penyelesaian konflik tanah tidak boleh hanya berakhir pada pemberian kompensasi atau relokasi, melainkan harus menjadi momen refleksi bahwa legalisasi tanah oleh warga adalah kebutuhan mendesak yang harus didorong secara sistematis dan berkelanjutan oleh negara.
Berkaca dari konflik agraria yang terjadi kawasan Sukahaji, Bandung, menunjukkan lemahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap pentingnya legalitas kepemilikan atas tanah. Kesenjangan pengetahuan hukum pertanahan, keterbatasan akses terhadap sistem pendaftaran tanah, dan lemahnya dokumentasi kepemilikan telah menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil alih tanah yang telah lama dihuni oleh masyarakat secara ilegal, juga perubahan pandangan mengenai tanah yang seharusnya ditujukan untuk fungsi sosial berubah menjadi komoditas dengan tujuan utama mencari keuntungan. Sengketa tanah Sukahaji adalah pelajaran pahit yang harus dijadikan momentum perubahan kolektif dalam memperkuat posisi masyarakat terhadap ancaman pengambilalihan paksa oleh pihak berkepentingan. Dengan pendekatan preventif yang berbasis legalitas, kesadaran hukum, dan solidaritas warga, maka benteng terhadap permasalahan tanah akan semakin kokoh dan potensi konflik bisa diminimalkan sedari awal.
*Penulis: Nayyara Sakha Ananda Ichwan, Ratu Alya Andini, Milan Gesha, Adam Putra Purbawan, Tabitha Christina I Sihombing, Evi Nurjanah, Amira Rabbani Hannabila S.
** Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang hukum