Pentingnya Pengesahan RUU Reforma Agraria untuk Mencegah Praktik Cultuurstelsel Modern
Kasus kriminalisasi petani hutan di Ciwidey memperlihatkan rentannya mereka berhadapan dengan ketidakadilan dan bayang-bayang kriminalisasi.

TIM BERKAS UNPAR 3
Workshop BERKAS Divisi Kajian dan Advokasi Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Periode 2025
20 Mei 2025
BandungBergerak.id – Hutan memiliki peran krusial sebagai paru-paru bumi, dan di sisi lain, para petani adalah jantung yang menopang kehidupan dari sektor agraria. Mereka tidak hanya menyediakan kebutuhan pangan, tetapi juga memelihara keanekaragaman hayati dan memperluas potensi komoditas Indonesia. Di antara lanskap subur Indonesia, Kawasan Ciwidey di Bandung Selatan, Jawa Barat, menjadi rumah bagi banyak petani yang berinteraksi langsung dengan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perum Perhutani memiliki mandat untuk mengelola sumber daya hutan negara. Kewenangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara, yang memberikan Direksi Perum Perhutani wewenang untuk mewakili perusahaan dalam berbagai perjanjian.
Salah satu bentuk perjanjian yang kemudian diterapkan adalah bagi hasil terkait pemanfaatan kawasan hutan, termasuk kegiatan penanaman komoditas pertanian di bawah tegakan pohon atau pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Di Ciwidey, praktik ini terwujud dalam skema pembagian hasil panen dengan proporsi 75 persen untuk petani dan 25 persen untuk Perum Perhutani. Ketentuan ini, yang seharusnya menjadi landasan kerja sama, justru dirasakan sebagai beban berat dan kebijakan sepihak yang memaksa bagi para petani Ciwidey. Situasi ini memunculkan persepsi adanya campur tangan pemerintah melalui Perum Perhutani dalam mengambil sebagian dari hasil jerih payah petani.
Pada sebuah talkshow dalam acara BERKAS di Universitas Katolik Parahyangan pada 3 Mei 2025 yang lalu, perwakilan petani di Ciwidey memutuskan untuk berbagi informasi mengenai situasi yang dirasa tak adil terkait dengan kebijakan bagi hasil PERUM Perhutani.Bayangkan jika para petani misalnya hanya mendapat penghasilan 12 juta per tahun (1 juta per bulan), lalu harus menyerahkan lagi 25 persen pada Perum Perhutani. Tentunya, hal ini sangat memberatkan terutama bagi mereka yang penghidupannya hanya dengan bertani saja. Kebijakan ini kemudian memicu gelombang ketidakpuasan yang kemudian memantik terbentuknya Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) sebagai wadah kolektif untuk menyuarakan penolakan dan memperjuangkan hak-hak petani dalam pengelolaan sumber daya hutan. Munculnya organisasi ini menjadi representasi perlawanan petani terhadap sistem yang dianggap tidak adil dan berpotensi menghambat peningkatan kesejahteraan mereka.
Setelah adanya gerakan GAPOKTAN, muncul kasus pemanggilan Fikri Khalid, Ketua GAPOKTAN Gambung, oleh pihak kepolisian atas dugaan penyadapan getah pinus. Pemanggilan ini sungguh ironis, oleh karena aktivitas yang dilaporkan tersebut justru dilakukan di kawasan hutan yang secara resmi dikelola oleh GAPOKTAN Gambung melalui program perhutanan sosial dan telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Bayangkan saja untuk kemudian ditangkap hanya karena melakukan apa yang menjadi kewajiban dan hak-hak mereka sebagai petani, untuk memanen apa yang mereka telah tanam. Fikri pun menegaskan bahwa tindakannya adalah legal dan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar melalui pengelolaan hasil hutan seperti kopi dan getah pinus. Kasus Fikri bukanlah insiden tunggal, mengingat sebelumnya lima petani lainnya juga mengalami pemanggilan serupa tanpa kejelasan lebih lanjut, menimbulkan pertanyaan serius mengenai perlindungan hukum dan pengakuan terhadap hak-hak petani hutan dalam mengelola sumber daya alam di wilayah mereka (Bandungbergerak.id, 18 April 2025).
Baca Juga: Empat Petani Gurem dari Garut Dituntut 6 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII
Mahasiswa Bandung: Hentikan Kriminalisasi pada Petani Pakel!
Aksi Solidaritas di Polresta Bandung, Menyerukan Penolakan Kriminalisasi Petani Hutan
Identik dengan Cultuurstelsel?
Tanam Paksa atau Cultuurstelsel merupakan ide Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, pejabat Belanda pada tahun 1830, yang sangat membuat masyarakat Indonesia menderita. Tanam Paksa atau Cultuurstelsel adalah kebijakan kolonial Belanda yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang laku di pasar internasional, spesifiknya adalah teh, tebu, kopi, tembakau. Hasil tanaman tersebut wajib diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda untuk dijual. Sistem tanam paksa ini membawa keuntungan sangat besar bagi Belanda, namun pada saat yang sama menyengsarakan masyarakat Hindia Belanda karena para petani harus mengeluarkan tenaga ekstra menanam tanaman ekspor di tanahnya sendiri. Bahkan petani tetap dikenakan pajak atas tanah yang digunakan untuk menanam tanaman ekspor (detik.com, 8 September 2021).
Kebijakan tanam paksa dalam pemerintahan Hindia Belanda ini membuat setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditi ekspor seperti kopi, tebu, dan nila. Dengan catatan bahwa, hasil dari tanaman-tanaman tersebut akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen akan diserahkan ke pihak kolonial (Wulan Sondarika, 2015).Namun, pada kenyataannya kebijakan ini disalahgunakan dan malah memaksa para pemilik tanah untuk menanam di seluruh tanah milik desa. Sistem ini sangatlah merusak, ia hanya menguntungkan segelintir pihak dan malah menyengsarakan rakyat.
Cultuurstelsel ini jelas memiliki kemiripan dengan perjanjian bagi hasil kepada Perhutani yang tidak adil bagi masyarakat. Meskipun perbedaannya yang terdapat di angka 5 persen mungkin merupakan kemurahan hati daripada kebijakan bagi hasil di era modern oleh pemerintah. BUMN melalui Perum Perhutani menjadikan rakyat selayaknya subjek bisnis. Petani yang semata-mata mencari nafkah tidak seberapa dari hasil hutan harus menyerahkan hasil panen sebanyak 25 peren kepada pemerintah tanpa adanya rincian kewajiban tertulis. Sekalipun padahal para petani itu secara hukum mendapat izin pengelolaan dan membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Jika tidak menyerahkan hasil panen, petani bisa dipanggil (kriminalisasi atas tuduhan pencurian) atau bahkan digusur dari tempat tinggalnya.
Pentingnya Pengesahan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria
Kasus yang terjadi pada para petani di Ciwidey memperlihatkan secara jelas betapa rentang posisi petani ketika berhadapan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada mereka. Meskipun petani memiliki peran sentral dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menyediakan pangan, sering kali dihadapkan dengan ketidakadilan dalam pembagian hasil, bahkan dikriminalisasi atas aktivitas yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam hal ini pengesahan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria (RUU Reforma Agraria) menjadi penting.
Pengesahan RUU Reforma Agraria krusial untuk memberikan pengakuan dan perlindungan yang lebih kuat terhadap hak atas tanah yang digarap petani, sehingga memberikan kepastian hukum dan melindungi mereka dari potensi penggusuran. RUU ini juga diharapkan dapat mewujudkan keadilan dalam pembagian hasil panen, yang saat ini memberatkan petani Ciwidey, dengan mengatur prinsip-prinsip yang lebih proporsional dan adil. Lebih lanjut, RUU Reforma Agraria berpotensi memberdayakan petani melalui akses yang lebih luas terhadap sumber daya, sekaligus melindungi mereka dari kriminalisasi atas upaya pengelolaan lahan yang sah. Keberadaan RUU ini juga penting untuk menyediakan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang adil dan efektif, menghindari tindakan represif terhadap petani. Secara keseluruhan, pengesahan RUU Reforma Agraria adalah langkah fundamental untuk mewujudkan keadilan agraria dan mendorong pembangunan berkelanjutan di sektor pertanian dan kehutanan, memberikan harapan bagi kesejahteraan petani di seluruh Indonesia, termasuk mereka yang berada di Ciwidey (hukumonline.com, 12 Desember 2023).
Ironisnya, di era kemerdekaan ini, kebijakan bagi hasil Perum Perhutani di Ciwidey justru mengulang narasi ketidakadilan masa lalu, di mana sebagian besar hasil jerih payah petani kembali terenggut, mengingatkan pada getirnya Cultuurstelsel. Sementara petani yang seharusnya menjadi pilar kedaulatan pangan justru terancam kriminalisasi saat berupaya mengelola sumber daya alam di tanah mereka sendiri, harapan akan keadilan agraria kini bertumpu pada pengesahan RUU Reforma Agraria. Merupakan sebuah ironi jika perjuangan mengusir penjajah justru digantikan dengan penindasan oleh kebijakan bangsa sendiri.
*Penulis: Rakhan Lovy Andika, Irene Gloria, Vinnie, Wilbert Edgar, Clement Suwignyo, Ni Kadek Atriya Karini, Andreas Benjamin, dan Raeven Neville.
** Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang hukum