Mahasiswa Bandung: Hentikan Kriminalisasi pada Petani Pakel!
Tiga petani Pakel: Mulyadi, Suwarno, dan Untung yang memperjuangkan hak tanahnya divonis bersalah atas dugaan penyebaran berita bohong.
Penulis Emi La Palau27 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Indonesia telah mengalami banyak pergantian rezim penguasa. Nasib petani tetap menderita. Di era rezim yang mengistimewakan investor atau pemodal seperti sekarang, para petani kecil justru kesulitan mengakses hak atas tanahnya. Kriminalisasi terhadap tiga Petani Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi bukti tidak ada keberpihakan pada petani wong cilik.
Dan kabar miris itu lengkap sudah ketika Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis bersalah tiga petani Pakel yang dikriminalisasi, yaitu Mulyadi, Suwarno, dan Untung. Tiga petani warga Desa Pakel ini divonis bersalah atas kasus dugaan penyebaran berita bohong.
Betahita.id melaporkan, Kamis, 27 Oktober 2023, majelis hakim yang diketuai oleh Moehammad Pandji Santoso dengan anggota Ni Luh Putu Pratiwi dan I Made Gede Trisnajaya Susila menyebutkan ketiga petani Pakel terbukti bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Keonaran dan dikenai pidana penjara 5 tahun 6 bulan.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Banyuwangi menuntut ketiga petani masing-masing enam tahun penjara. Mereka dituduh telah menyebarkan berita bohong sebagaimana yang terdapat Pasal 14 dan/atau 15 Nomor UU No. 1/1946. Ketiga petani tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 20 Januari 2023.
Kasus ini kental dengan dugaan kriminalisasi karena sebelumnya ketiga petani dan para petani Pakel lainnya sedang berjuang mendapatkan hak atas tanahnya melawan PT Bumisari.
Kriminalisasi terhadap petani Pakel mendapat empati luas dari masyarakat Indonesia. Di Bandung, mahasiswa yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) menuntut agar para petani Pakel dibebaskan.
Dalam aksi yang dilakukan di depan Gedung Sate, Bandung, Kamis kemarin, 26 Oktober 2023, mahasiswa Bandung memberikan dukungan pada petani Pakel sembari memperingati 9 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi dan memberikan 9 catatan hitam beragam persoalan yang belum mampu dituntaskan oleh rezim ini.
PRMB menyatakan para petani Pakel sedang berjuang meraih hak-hak hidupnya. Di tengah perjuangan itu, mereka mengalami kriminalisasi atau dikriminalkan.
“Bebaskan tiga petabi Pakel. Hidup rakyat Indonesia, hidup buruh, hidup petani, tanah untuk rakyat!” teriak mahasiswa.
Salah satu peserta aksi yang juga mahasiswa UPI, Bandung, Faadz mengungkapkan mahasiswa Bandung menolak aksi-aksi kriminalisasi yang menimpa masyarakat kecil yang sedang memperjuangkan hak atas tanah mereka.
“Ada tiga petani Pakel yang kemudian direpresif dan dikriminalisasi atas dasar perebutan hak tanahnya. Nah, kami dari Poros Revolusi Mahasiswa Bandung ingin bersolidaritas atas hal tersebut,” kata Faadz.
Ia menegaskan, kriminalisasi terhadap petani ataupun masyarakat sipil tidak boleh dianggap normal. Tiga petani Pakel harus dibebaskan dari segala tuntutan.
Ajeng, Presiden BEM UNIBI, Bandung, mengaku resah dengan nasib para petani Pakel yang dikriminalkan. Ia berharap agar para petani dapat dibebaskan dan bisa mendapatkan hak hidupnya kembali.
“Kenapa gitu harus ditangkap, mereka juga punya hak untuk menyampaikan suara mereka. Aku harap petani Pakel ini bisa dikeluarkan dan bisa mendapatkan hak hidupnya kembali,” kata Ajeng.
Petani Pakel, dari Era Kolonial Belanda hingga Rezim Jokowi
Dalam catatan Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan, perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya sudah dilakukan sejak lama, bahkan sejak era kolonial Belanda.
Perjuangan warga Pakel dimulai pada tahun 1925, di mana sekitar 2.956 warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda.
Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektare) oleh Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Dalam perjalanannya, meski memiliki “Akta 1929” sebagai izin untuk kegiatan pembukaan hutan dan bercocok tanam yang dilakukan oleh Doelgani dkk, saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, yang berlanjut hingga era Jepang.
“Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan “Akta 1929” tersebut,” tulis Wahyu Eka Setyawan, di laman Walhi Jawa Timur.
Pascakemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk, mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929” pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian.
Pada bulan September 1965 meletus peristiwa nahas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI, beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya adalah PKI.
Pada tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di desa Pakel yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumisari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumisari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189, 81 hektare, yang terbagi dalam dua sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi, dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi.
Secara jelas, dua SK tersebut memperjelas bahwa Desa Pakel, bukanlah termasuk dalam kawasan HGU. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang. Sementara PT Bumisari terus mengklaim HGU hingga Desa Pakel.
Pada tahun 1999, pascalengsernya Suharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan “Akta 1929”. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan.
Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan “Akta 1929”. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara.
“Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan,” lanjut Wahyu.
Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama Rukun Tani Sumberejo Pakel, melakukan aksi pendudukan lahan yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut.
Menurut Wahyu, hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan.
Pilihan reclaiming merupakan pilihan sadar bahwa selama ini jalur yang dipilih warga Pakel tidak kunjung mendapatkan tanggapan dan respons.
“Kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang, tidak hanya di Pakel tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi. Komitmen penyelesaian konflik agaria benar-benar dipertanyakan, karena selama ini masih belum menghasilkan hasil yang signifikan,” kata Wahyu.
Padahal, lanjut Wahyu, apa yang dipilih oleh warga Pakel adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Sebab jalan reclaiming adalah bentuk dari landreform by leverage yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014)[12] sebagai sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir.
“Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari bahwa negara akan memprioritaskannya untuk menjadi prioritas landreform serta segera diselesaikan konflik yang terjadi,” terang Wahyu.
Idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin (2018)[13] dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria.
Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.
Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi, dan terakhir kriminalisasi. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.
Baca Juga: Catatan Akhir Tahun KPA: Konflik Agraria Melonjak akibat Proyek Strategis Nasional
Hari Tani 2022, Wujudkan Reforma Agraria untuk Rakyat
Cekungan Bandung Tercabik-cabik Bisnis Properti
Warga Pakel Berjuang Mendapatkan Tanahnya Kembali
Ketimpangan penguasaan lahan sudah lama terjadi di wilayah Pakel. Hal tersebut merujuk pada perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian yang tersedia dan dibandingakan dengan luas total desa.
Menurut Wahyu, dari total populasi yang beprofesi sebagai petani hampir separuhnya, jika diambil angka tengah sekitar 1.000 orang, maka dapat ditarik sebuah asumsi hitung jika setiap orang per lahan pertanian hanya menguasai 0,3 hektare. Tentu lahan tersebut sangat jauh dari kriteria ideal, sebab seperempat hektare pun tak sampai.
“Itu anggaplahlah untuk 1.000 orang, lantas bagaimana seribu yang lainnya? Tentu ada yang merantau, menjadi migran di luar negeri, ada pula yang menjadi buruh tani dan perkebunan. Artinya mayoritas warga Pakel adalah petani gurem dan buruh tani/kebun,” kata Wahyu.
UUPA 60 menegaskan bahwa penguasaan tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, terutama dalam upaya menjamin mereka yang merupakan golongan ekonomi lemah.
Pemerintah seharusnya patuh dan taat pada konsensus bersama, apalagi merujuk pada aturan dasar dalam hal hukum agraria. Sudah sepatutnya warga Pakel tanpa harus bertele-tele mendapatkan kembali hak atas kelola lahan, melalui program Tanah Objek Reforma Agraria.
Seperti pandangan Prof. Maria SW Sumardjono (2018:63) bahwa dalam konflik agraria terutama merujuk pada ketimpangan penguasaan lahan, maka negara harus hadir, terutama dalam hal harus terlibat dalam penataan untuk menyelesaikan persoalan penguasaan dan pengelolaan tanah yang timpang, sebaba esensi reforma agraria adalah perombakan aset dan akses, sehingga menciptakan rasa adil.
Kehadiran negara dalam membuat dan menjalankan aturan merupakan sebuah keharusan, apalagi merujuk pada sebuah kalimat “mengapa negara ini hadir,” hal ini sudah terjawab pada pasal 28 UUD NRI yang di dalamnya merangkum secara keseluruhan apa itu yang dinamakan hak asasi manusia, khususnya untuk mendapatkan hak hidup yang baik dan layak serta terjamin hingga masa yang akan datang.
“Sudah seharusnya reforma agraria berpihak pada warga Pakel yang termarjinalkan, karena ada usaha monopoli lahan yang menyebakan semakin tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Karena reforma agraria memberikan dan menjamin hak secara utuh pada warga Pakel, terutama dalam mengelola lahan mereka, memberikan jaminan kelola, akses produksi dan pasar serta menjamin keberlanjutannya,” papar Wahyu.
Pakel adalah contoh, di mana banyak hak warga yang terampas, mulai intimidasi, kekerasan sampai kriminalisasi. Inilah sebuah potret di mana negara yang seharusnya hadir dalam arti benar-benar menunjukkan untuk menciptakan keadilan, melalui keberpihakan, terutama sesuai dengan nilai falsafah sila ke 5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
“Tetapi yang terjadi sebaliknya, semua itu jauh dari harapan, karena hari ini Pakel adalah contoh bagaimana “keadilan sosial bagi tuan tanah di seluruh Indonesia” ditegakkan dan dilanggengkan,” tulis Wahyu.
*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Emi La Palau, atau artikel-artikel tentang Konflik Agraria