• Opini
  • Kapitalisme Budaya (Bukan) Soal Sesajen Saja

Kapitalisme Budaya (Bukan) Soal Sesajen Saja

Sesajen menegaskan bahwa eksistensi yang antroposentrisme itu gugur, penghormatan pada alam bukan basa-basi.

Arfi Pandu Dinata

Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.

Sesajen bukanlah sesuatu hal yang berbau mistik, melainkan simbol yang sarat akan makna dan falsafah hidup, 16 September 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

10 Juni 2025


BandungBergerak.id – Ingat sasajén (sesajen), ingat praktik mistik yang akrab dengan tumbal dan pesugihan. Sebagaimana representasi industri film horor, suasana mencekam dengan visual yang gelap, asap dupa, mantra berbahasa ibu, lengkap dengan kujang dan iket. Persis seperti film Menjelang Ajal (2024). Sasajén sebagai konstruksi produk budaya populer telah menjadi barang angker, yang secara negatif dipersepsi sebagai simbol masyarakat primitif. Hal ini telah berhasil membuat banyak orang takut pada budaya lokalnya sendiri. Coba saja lihat kelakuan si Dilan, yang mengambil cerutu sasajén di film Dilan 1983: Wo Ai Ni (2024).

Disangkal, tapi semua yang tertata dalam sasajén adalah barang sehari-hari. Menyeduh kopi dan teh pas lagi staycation di Ciwidey, atau menabur bunga ketika nyekar di pusara buyut kita. Kita masih bisa melihat ayam bakakak yang digantung di tenda kaki lima DU, termasuk potong nasi tumpeng di pesta-pesta perayaan. Barangkali kita sudah langka melihat orang yang nyeupah. Tapi yakinlah, mengunyah sirih pinang juga bagian dari kebiasaan nenek dan kakek kita.

Membakar kemenyan baru kita tinggalkan barusan. Semenjak air freshener merajalela di toko swalayan yang katanya lebih praktis. Hanjuang pun demikian, sering kali ditanam dengan sengaja di pekarangan rumah. Entahlah mungkin karena makin padatnya ruang hidup, kita menjadi asing dengan tanaman ini. Kendi dan parukuyan, juga anyaman bambu adalah perabotan sehari-hari; bukan karya estetik yang klenik.

Andai saja, di Bandung hidup ikan salmon, kalkun, atau gandum, mungkin pangan ini yang akan menghiasi altar sasajén-nya. Kalau saja sejak dahulu sudah ada; mungkin cermin, sisir, minyak wangi, dan kain akan diganti dengan voucer salon dan barbershop.

Baca Juga: Kerusakan Bumi dalam Perspektif Lintas Agama dan Budaya
Hiphop dan Revolusi Budaya Anti Rasisme di Amerika
Nyastra, Nyunda, dan Mengenalkan Budaya Sunda Kepada Dunia

Sakral, Sosial, dan Eksistensial

Sasajén adalah media komunikasi yang berbicara tentang pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam tungku pembakaran kemenyan saja, kita dapat melihat ada elemen api, air, angin, dan tanah; yang dipercaya secara tradisional sebagai unsur yang menyusun raga manusia. Mungkin ada makna lain, mungkin juga berbeda dengan arti di masa lalu. Tapi biarlah dengan bahasa simbolik seperti ini agar maknanya selalu terjaga sekaligus relevan bagi setiap zaman. Kita bisa melihat kekayaan narasi sasajén sebagaimana yang dituturkan Kang Budi Dalton, atau bisa anjangsana ke Bumi Dega Sunda Academy di Dago dan Kabuyutan Dayeuhluhur di Gegerkalong.

Apakah sasajén itu spiritual dan sakral? Tentu! Sasajén adalah jembatan yang membangun koneksi kosmologis dengan Ilahi, alam semesta, leluhur, dan para makhluk lainnya. Ia adalah ungkapan dari kata “permisi”, “maaf”, “terima kasih” atau “tolong”; sebuah dialog yang melampaui dunia verbal kita. Dalam beberapa hal unsur-unsur sasajén terikat pada pakem, baik dari jenis maupun jumlahnya. Patokan ini bersifat kontekstual, sesuai dengan tradisi keluarga atau daerah tertentu. Itu sebabnya, sasajén warga di Cibedug pasti ada perbedaan dengan yang biasa disajikan oleh warga Cicalung, meskipun sama-sama tinggal di Lembang dan berorganisasi sebagai penghayat Kepercayaan di organisasi Budi Daya.

Dalam waktu bersamaan sasajén juga berdimensi sosial. Barang-barangnya berbicara soal produk ekonomi domestik, termasuk memotret situasi kelas penyuguhnya. Bayangkan saja, keluarga miskin akan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membeli kemenyan putih yang terbaik. Stok asam jawa bukan hanya selalu tersedia untuk masak, tapi sengaja disimpan untuk tiap malam Selasa dan Jumat. Sasajén adalah effort bagi rakyat yang mau menyajikan puncak manik dengan telur ayam kampung, ketimbang para menak yang pastinya akan lebih mudah untuk mendapatkannya.

Dari sana kita akan mengerti bahwa sasajén adalah pembiasaan untuk mau menyisihkan materi, ruang, dan waktu untuk yang lain. Ritus menata sajén telah menjadi ruang teater sekaligus praktik konkret yang menjelaskan cara masyarakat lokal membangun etika yang setara dengan logika dan estetikanya sendiri. Penyaji sajén terus menerus mengasah batin tentang keberpihakan pada berbagai subjek yang ada di sekitarnya. Subjek tidak harus selalu manusia, sekalipun nyuguh kerap beriringan dengan mengaturkan persembahan pada sesama. Salametan dan ruwatan lembur dekat dengan makan-makan bersama.

Benda-benda sajén bukanlah materi pasif. Dalam dirinya sendiri, pisang mas misalnya memiliki kapasitas yang signifikan dalam mengatur suasana, bahkan menghadirkan relasi kesalingan yang pelik itu. Ukuran, aroma, hingga kuningnya dari sebuah pisang menjadi sangat berarti. Ia berbicara, mengajak semut, lalat buah, leluhur, sampai entitas berjiwa lembut. Sasajén menegaskan bahwa eksistensi yang antroposentrisme itu gugur, penghormatan pada alam bukan basa-basi.

Untuk Hari-hari Yang Melelahkan

Menata sasajén artinya melibatkan tubuh untuk kembali berinteraksi bersama benda-benda dengan cara seadanya; menghirup dupa, melihat warna-warna kembang, mencicip banyak rasa hahampangan, dan meraba anekarupa tekstur buah-buahan. Ia memanggil kita yang sudah lama tinggal di bawah lini masa super-sibuk. Sekarang kita sadar betul bahwa pepaya bisa matang dengan sendirinya. Tidak dengan karbit atau rekayasa pabrikan. Proses adalah hal yang normal, yang sudah banyak hilang sejak norma modern menuntut agar kita selalu produktif. Dalam sajén-lah, kita boleh melihat bahwa benda-benda hadir dengan lazim, dibuat dan ditata dengan sentuhan yang seapik mungkin. Tanpa beban soal untung dan rugi, laba dan modal.

Konektivitas bersama sasajén menghadirkan keutuhan, persis dahulu pas lagi main anyang-anyangan di lapangan sore itu. Kita kehilangan hal sederhana yang sebetulnya bisa diraih tanpa harus membayarnya. Tidak seperti nonton di PVJ, berfoto di Ranca Upas, nongkrong di Kopitiam, dan parkir di Braga. Kepalang terbiasa dengan gaya hidup serbainstan, kini menjadi aneh kalau harus merepotkan diri memetik bunga setaman yang tujuh rupa. Lagi pun di mana juga bunga-bunga itu sekarang tumbuh di tanah tanpa akuan seorang pun? Waktu sudah raib menjadi kesibukan untuk mencari uang.

Kita sudah banyak melangkahi proses dari penciptaan sebuah karya. Seakan dibenarkan oleh cara kerja industri, orientasi terbaik adalah hasil yang terbanyak. Tapi sayangnya kita hanya menjadi pekerja dan pembelinya, yang dijejali produk dan difasilitasi teknologi canggih.  

Tersilap kredit, paylater, dan pinjol, termasuk promo dan paket antar cepat. Akhirnya menjadi wajar kalau segalanya termasuk eksistensi harus dibeli.

Kini kita mengerti bahwa ada banyak hal yang lebih berharga dari transaksi kapitalistik. Oleh-oleh kelapa dan gula kawung dari desa lebih punya cerita yang kuat, tanda relasi bermakna. Seperti itulah kita di depan altar sasajén, hadir tidak dihakimi meskipun tanpa embel-embel brand kekinian. Kiranya mengambil sedikit jarak dari Kota Bandung yang kadung dikapitalisasi itu kadang penting, buat menunjukkan bahwa keberadaan kita tidak selalu menjadi objek komodifikasi. Tidak selalu menjadi penanda barudak skena atau starboy-girl.

Untuk Kita

Kepada masyarakat akar rumput Bandung yang masih mengurus kamar goah-nya, juga keluarga hajat pangantén yang masih memasukkan kunyit dan beras di sawér-nya. Kepada orang yang masih mengocek kopi sendiri, juga rombongan bobotoh yang masih mau ngaliwet lalu bekas daunnya dibagikan ke balong ikan. Kepada orang yang masih mau berbagi rokok di ruang tamu, tongkrongan, atau hutan dan sungai. Berharap kalian masih terus melawan dengan cara hidup yang bersahaja. Inilah nilai-nilai yang memudar; retaknya keguyuban warga, desakralisasi lingkungan hidup, dan tercerabutnya budaya lokal. Cara berpikir tentang sajén memberdayakan kita yang sudah teralienasi dan dimiskinkan.

Di tengah ketergantungan pada rice-cooker; pada adat Sunda yang terus dipolitisasi; pada gaya hidup urban Bandung; pada Situ Aksan dan Gedebage yang sudah tertimbun dalam mimpi teknopolis. Sajén (sajen) menitipkan alternatif buat masalah burn out karena dikalang target pasar, buat masalah krisis iklim yang kian parah. Kalau upacara Ngertakeun Bumi Lamba di Tangkuban Parahu sudah konsisten diselenggarakan lagi sejak 2008, semoga turun disambut negara menjadi regulasi publik yang berpihak pada warga akibat banjir di Dayeuh Kolot, bagi rakyat kota yang tinggal di bantaran Sungai Cikapundung.

Semoga sasajén menjadi bahasa perjuangan yang sama buat warga Sukahaji dan Elos yang terikat dengan tanah sendiri. Semoga semua ini tidak lagi memiskinkan para pedagang yang setia membuka toko rampé di Jalan Bojongloa dan pinggiran pasar Cicadas di tengah derasnya pasar komersial yang mengoyak tradisi kita.

 

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//