• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #3: Anomali Karnadi Bandar Bangkong dalam Cerita dan Realita

MULUNG TANJUNG #3: Anomali Karnadi Bandar Bangkong dalam Cerita dan Realita

Karnadi adalah tokoh utama dalam roman Rasiah nu Goréng Patut karya Soekria dan Joehana. Sempat difilimkan dan memicu kontroversi khususnya bagi masyarakat Sunda.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Jilid buku Rasiah nu Goreng Patut edisi Kiwari (1963) dan Rahmat Cijulang (1986). (Sumber: Atep Kurnia)

8 Juli 2025


BandungBergerak.id"Badag 'Njum..!", satu jargon populer yang beredar di tahun 1990-an ini diambil dari satu adegan sebuah sinetron yang ditayangkan di TVRI Stasiun Bandung. Ucapan itu diteriakkan Karnadi pada sahabatnya Marjum, ketika berhasil menangkap seekor kodok besar di sawah. Ekspresi kegirangan Karnadi sang bandar bangkong itu begitu melekat dan berkesan di benak para penonton sinetron tersebut.

Karnadi adalah seorang tokoh yang dihadirkan oleh Soekria dan Joehana dalam satu novel atau roman Sunda berjudul Rasiah nu Goréng Patut. Novel ini ditulis dan terbit pada tahun 1928.  

Ada beberapa pendapat tentang sosok Soekria yang menjadi penulis roman ini. Sastrawan Ajip Rosidi (1983) menyampaikan sebuah analisa bahwa kemungkinan Soekria dan Joehana adalah orang yang sama, yaitu Achmad Bassach.  Hal ini merujuk pada adanya tokoh Sukria pada kisah Carios Eulis Acih, pada novel itu disebutkan bahwa Sukria adalah anak dari Eulis Acih dan Arsad. Ajip menyampaikan, bisa saja Soekria itu adalah sosok imajiner yang dihidupkan oleh Joehana. Sementara itu, menurut kajian Arip Hidayat dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan (Unika), Soekria menyumbang ide berupa plot, dan Joehana menuliskan roman tersebut [BandungBergerak, diakses Selasa, 8 Juli 2025].

Roman yang diterbitkan oleh penerbit Dakhlan Bekti ini menyampaikan suatu cerita yang seolah-olah nyata, karena menyebutkan tempat-tempat yang benar-benar ada di Bandung, serta menyebutkan hal-hal yang sedang populer pada saat itu. Hal tersebut membuat roman ini mudah diterima khususnya oleh pembaca dari kalangan masyarakat Sunda, karena orang Sunda cenderung menyukai karya seni yang jiga enya, seperti kenyataan (Ajip Rosidi).

Karnadi, Sebuah Anomali  

Pada umumnya gambaran tokoh utama dalam sebuah cerita fiksi adalah sosok yang sempurna, rupawan, cantik dan atau tampan, kaya raya, cerdas, berani, dan banyak hal yang semakin membuat sang tokoh serupa paket lengkap yang dibayangkan para pembaca akan ada di kehidupan nyata. Namun Joehana menggambarkan sang tokoh sangat jauh dari gambaran tersebut.

Karnadi digambarkan sebagai satu sosok yang buruk rupa, miskin, dan kurang pengetahuan.

"Ari dedeg pangadegna Karnadi téh pendék gedé, dédépé, kulitna hideung kuleuheu, beungeutna garicu, ceuk nu bohong téa mah garicuna teh mani sagedé-gedé muncang cenah, panonna bolotot, cukang irungna demés, tungtung irungna nambru, Halisna pitak sabeulah, sungutna Rubak, biwirna karandel, huntuna baradag, ceulina Rubak méh satengah sirahna, turug-turug ana leumpang sok kepoh, jeung rad déog deuih. Péndékna hésé bangsana kagorengpatutan di alam dunya mah [Bentuk tubuh dan perawakan Karnadi itu pendek besar,  gemuk, kulitnya hitam dekil, wajahnya kasar berjerawat, konon katanya jerawatnya seukuran kemiri, matanya besar, pangkal hidungnya pesek, ujung hidungnya besar, alisnya pitak sebelah, bibirnya tebal, giginya besar-besar, telinganya lebar hampir setengah ukuran kepalanya, dan kalau berjalan kakinya membentuk huruf X dan agak oleng. Pendeknya susah menyebut betapa jeleknya dia di dunia]," tulis Joehana.

Selain anomali gambaran penokohan pada tokoh utamanya, banyak hal yang melawan norma dan kelaziman yang terjadi di dalam sebuah novel, roman, atau dongeng, misalnya dalam gambaran keburukan rupanya. Karnadi disebutkan sangat berambisi untuk memiliki wanita cantik dan kaya raya yang bernama Eulis Awang.  

Karnadi tak hanya buruk rupa tapi juga buruk sifat, niat, dan perilakunya. Dia berusaha memiliki Eulis Awang dengan cara menundukkan orang tua Eulis Awang dengan cara licik. Dia mencatut nama Raden Sumtama, seorang lelaki kaya yang namanya cukup dikenal. Karnadi juga meninggalkan anak istrinya dalam keadaan melarat.

Anomali lainnya adalah kebodohan yang ada pada Mas Sura, ayah Eulis Awang dan Eulis Awang sendiri. Karena biasanya tokoh yang kaya raya dan rupawan biasanya digambarkan cerdas dan banyak akal, tetapi ini tidak berlaku pada Mas Sura dan Eulis Awang. Kenyataannya mereka berhasil diakali dan dikadali oleh seorang Karnadi yang gaya serta isi pembicaraannya saja sudah menunjukkan banyak hal yang seharusnya meragukan.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu

Amanat dalam Kisah Karnadi

Alur kisah roman ini cukup banyak konflik yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial yang cukup jauh.  

Perjuangan Karnadi untuk menggapai impiannya yaitu memiliki istri jelita, serta berlimpah harta, mungkin cukup relevan pada saat ini, apalagi di tengah carut marut kehidupan dan perekonomian yang terjadi. Sifat keukeuh Karnadi itu mendapatkan hasil sesuai dengan harapannya, meskipun melalui jalan yang tidak patut.

Sementara sosok-sosok yang silau pada harta benda yang digambarkan pada keluarga Mas Sura juga relevan untuk saat ini. Kekayaan mereka yang berlimpah tak membuat mereka merasa cukup, sehingga bualan Karnadi yang konon lebih kaya raya mampu menbuat mereka kehilangan akal dan harga diri. Kerakusan yang nampak di sekeliling kita.

Tipu daya Karnadi juga banyak ditemukan pada kehidupan sosial sekarang ini. Banyak sosok yang berupaya mewujudkan semua keinginannya dengan menggunakan tipu daya dan kepalsuan yang melahirkan perilaku-perilaku jahat di masyarakat.

Bukan tidak mungkin semua anomali dalam roman Rasiah nu Goréng Patut ditampakkan pula pada kehidupan saat ini, di mana banyak sosok buruk rupa dan buruk perilaku yang berusaha menjadi tokoh utama dalam hal apa pun. Tapi kita masih bisa memilih untuk tetap cerdas dan waras, menjunjung norma dan akal sehat, walaupun mungkin itu bukan hal yang mudah.

Sosok Nyi Usni, seorang perempua yang nrimo, patuh pada takdir, menyerah pada perannya sebagai seorang istri meskipun sering diperlakukan tidak baik oleh Karnadi, yang akhirnya kalah oleh kenyataan. Kehilangan sosok suami dan juga anakanaknya, membuatnya kehilangn kewarasan. Namun untuk saat ini, sudah banyak perempuan yang sanggup berdiri dan menolak diperlakukan seperti Nyi Usni, juga tidak bodoh sepeti Eulis Awang.

Di sini ditunjukkan bahwa pendapat umum masyarakat yang sering berpendapat bahwa orang rupawan itu sempurna, ternyata tidak berlaku pada Eulis Awang, nyatanya kecantian rupa tak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan.

Bukan rahasia, pada saat ini masyarakat selalu memberi privilege pada mereka yang good looking, banyak mereka yang berpenapilan biasa saja, tapi memiliki kemampuan dan keterampilan lebih, nyatanya kehilangan kesempatan karena ‘dikalahkan’ oleh mereka yang memiliki rupa yang lebih elok.

Tapi ada yang bisa dilakkan oleh kita para pemiik tampilan biasa saja, tetaplah mencerdaskan diri disertai merawat diri. Cerdas dan terawat terkadang jauh lebih baik daripada sekadar rupawan. Jangan seperti seorang Eulis Awang.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//