Yang Tidak Dibicarakan Timothy Ronald Soal VOC dan Budaya Korupsi
Pernyataan Timothy Ronald jelas keliru dengan mereduksi kolonialisme menjadi transaksi bisnis, mengabaikan penindasan terhadap rakyat kecil.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom
15 Juli 2025
BandungBergerak.id – Salah seorang siswa di kelas XI menanggapi diskursus dengan mimik wajah yang serius saat saya memantik diskusi tentang masuknya Kolonialisme Belanda. Di tengah suasana kelas yang hidup, tanggapannya menyita perhatian. Begini kira-kira pertanyaannya.
"Apa benar korupsi itu budaya kita, Pak?"
Kita, sebagai kata yang dipilihnya, tentu saja merujuk pada boemipoetra, orang lokal dalam struktur sosial yang dicanangkan kolonial saat itu. Saya diam. Sejenak berusaha memikirkan jawaban apa yang mesti diberikan dengan tepat.
Dengan penuh kehati-hatian, saya memutuskan untuk lebih dulu mengapresiasi keberanian dia dalam mengajukan pendapat, yang sebetulnya membuat saya tercengang meskipun kemudian berusaha fokus untuk tidak menunjukkan raut wajah seperti itu. Jaim, dong, ah. Kayak biasanya. Saya lalu berinisiatif untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut tentang sumber yang ia temukan.
Sontak saja ia menyebut Timothy Ronald. Saya bingung, tapi menjanjikan sesuatu padanya: bakal sesegera mungkin mengulik informasi tentang siapa gerangan Timothy Ronald itu. Dia mengiyakan, selanjutnya membantu saya mencari kebenaran informasi tentang Timothy Ronald, dan ia pun mengirimkan saya tautan ke Instagram.
Dalam video singkat berdurasi sekitar dua menit, saya lebih kaget lagi. Di sana, ada seorang pria muda dengan gestur meyakinkan bicara soal sejarah kolonial. Ia memakai kaus hitam, dengan kacamata yang sepertinya tidak terlihat punya kualitas murahan. Ternyata itulah sosok yang dikenal dengan nama Timothy Ronald. Ia tegas berkata:
"Kita diajarin di buku sejarah, kita dijajah sama VOC. VOC itu bukan Belanda. VOC itu adalah sebuah perusahaan. Apakah VOC gak bayar orang-orang kita? Ada yang pernah denger, gak, kerja rodi, tanam paksa? Apakah gak dibayar? Dibayar. Dikorupsi sama siapa? Orang kita. Jadi sejarah yang diajarin ke kalian adalah sejarah yang terbalik. Yang datang ke Indonesia adalah pengusaha yang berbisnis. Itulah kenapa budaya korupsi gak akan pernah bisa diselesaikan di Indonesia. Karena itu udah 300 tahun lalu."
Saya merasa ada yang ganjil dari ucapannya itu. Pertama jelas bahwa kerja paksa atau kerja rodi itu dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda jauh setelah VOC bangkrut tahun 1799. Kedua, dalam buku teks sejarah kelas XI (2021) sebetulnya juga dipaparkan secara terperinci soal perbedaan antara zaman VOC dan Pemerintah Hindia-Belanda.
Saya tidak berupaya menampik bahwa adanya dugaan “orang kita” –dalam hal ini, mungkin maksudnya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan elite lokal atau bupati– melakukan tindakan korupsi.
Jujur menjadi keharusan kalau mau mengikuti apa yang sering dikutip orang mengenai Pram: adil sejak dalam pikiran.
Namun kita harus jeli menilai suatu hal. Seorang sejarawan yang bernama Merle Calvin Ricklefs bilang kalau saat itu inefisiensi, ketidakjujuran, nepotisme, alkoholisme, tersebar di kalangan VOC. Bahkan terjadi banyak kekejaman yang menurut ukuran moral kita saat ini begitu menjijikkan, dan tentu, orang Indonesia sendiri tidak lebih lemah lembut.
Ong Hok Ham, dalam esai berkepala Pungutan dalam Sejarah: Raja Sebagai Penguasa (Kompas, 1983, hlm. 4), juga bilang kalau pejabat VOC lebih banyak melakukan korupsi. Malah sebaliknya, aparatur Hindia-Belanda (1830-1942) "relatif bersih". Padahal kita tahu kalau keduanya sama-sama orang Belanda
Dan itu juga bukan berarti bahwa kesejahteraan rakyat boemipoetra meningkat begitu saja. Dengan adanya perkebunan gula, beban petani semakin tinggi. Belum lagi menimbang dampak ekologis yang menurut Clifford Geertz menyebabkan proses involusi pertanian atau penurunan produktivitas akibat terpecahnya tanah persawahan yang semakin kecil.
Yang membuat ironi, ketika penasaran untuk mengunjungi kolom komentarnya. Bahkan ada seseorang yang memereteli arti pendidikan, terbuai kisah anak muda yang sukses secara ekonomi –meskipun mungkin Timothy Ronald tidak memiliki maksud dan tujuan seperti itu. Tapi kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa ia punya pengaruh yang cukup signifikan.
Saya tidak sedang mempersoalkannya sebagai anak muda yang berwirausaha, berjualan, atau apa pun itu namanya. Tidak pula merasa lebih baik secara akademik. Mungkin sekadar punya perbedaan dalam hal perspektif. Lagi pula, saya tidak mengenali dia, dan tidak ingin menjadi dia. Tapi sebagai sesama warganegara, saya tertarik untuk melengkapi apa yang telah ia ucapkan, sebab telah membuat saya kagum.
Berhubung ada waktu dan kesempatan, baiklah saya mulai saja. Intinya, dan yang paling membuat geregetan, adalah satu pernyataan sejarah terbalik tentang VOC. Mengingat ia bicara di dalam acara bisnis, sangat mungkin apabila ia punya pengandaian bahwa VOC itu merupakan para pebisnis anti korupsi yang baik.
VOC adalah perusahaan. Memang. Itu tidak bisa disangkal. Namun ia bukan perusahaan seperti bentuknya yang kita kenali sekarang. Saya pikir ini sebuah oversimplifikasi. Tidak hanya keliru, tetapi juga mencelakakan. Buktinya ada sebagian orang yang memencilkan arti sekolah seperti temuan sebelumnya itu.
Ia tampak mereduksi kompleksitas kolonialisme menjadi sekadar aktivitas ekonomi atau jual-beli. Parahnya lagi bisa mengaburkan fakta penindasan yang telah dialami rakyat kecil. Saya kira itu perlu diperjelas, meskipun tulisan ini juga tidak berpretensi merengkuh secara utuh mengingat adanya ruang yang terbatas.
Baca Juga: Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Jejak Delegasi Seniman Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957
VOC Bukan Sekadar Perusahaan
Benar bahwa VOC adalah sebuah perusahaan dagang. Namun ia memiliki kecenderungan memonopoli, punya hak untuk membentuk angkatan bersenjata, mendirikan benteng, bahkan kerap mengobarkan perang. Bukan perusahaan biasa seperti yang kita pahami saat ini.
Keliru pula jika menganggap VOC itu bukan Belanda. Sebab, jelas kalau yang mengajukan usul supaya perusahaan yang sebelumnya saling bersaing itu ya Parlemen Belanda (Staten Generaal). Ada dinamika sejarah yang cukup panjang.
Kita bisa menelisik jejaknya dari awal kedatangan orang Eropa ke Nusantara pada awal abad ke-16. Kala itu Perserikatan Provinsi-provinsi Negeri Belanda menghadapi tekanan ekonomi. Tidak ada sumber daya alam penting yang memenuhi kebutuhan kas negara.
Ketika itu pula di Eropa teknologi pengawetan daging masih menggunakan garam dan rempah-rempah dari Asia. Keduanya merupakan komoditas penting yang banyak menguntungkan bagi para pedagang Eropa. Berbagai upaya lalu dilakukan demi mendapatkannya.
Setelah Portugis berhasil menemukan jalur laut yang bisa menghantar mereka ke negeri rempah-rempah –tanpa harus melewati teritorial Turki Utsmani yang punya kekuatan signifikan secara politik pada saat itu– dengan jalur berputar melalui Afrika, mulai banyak ekspedisi pelayaran yang pergi ke negeri penghasil rempah-rempah dan pulang dengan membawa keuntungan cukup berarti. Di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, ekspedisi Belanda berangkat pada 1595. Mereka pulang dua tahun berikutnya, dan meraih keuntungan 400 persen.
Inilah yang kemudian dikenal dengan zaman bisnis pelayaran Belanda. Banyak borjuasi yang bersaing satu sama lain. Kalau mengikuti penjelasan Merle Calvin Ricklefs, dalam studi berkepala Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 50), kala itu disebut zaman pelayaran "liar" atau "tidak teratur" dan dikenal dalam istilah Belanda sebagai "wilde vaart".
Sekurang-kurangnya ada empat perwakilan perusahaan dagang yang saling berebut rempah, yang punya akibat berkurangnya keuntungan yang bisa diperoleh. Dalam konteks inilah tepatnya. Pada tahun 1598 Parlemen Belanda atau Staten Generaal mengajukan usul untuk penggabungan perusahaan-perusahaan tersebut.
Upaya parlemen berhasil empat tahun kemudian. Pada bulan Maret 1602 Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau yang dikenal dengan VOC (Vereenigde Oost-Indiesche Compagnie) resmi didirikan. Satu pertanyaan saja, apakah dengan adanya gabungan perusahaan itu otomatis membuat kehidupan sehari-hari rakyat lebih baik dari sebelumnya?
Belum tentu. Perlu dicermati bahwa VOC mendirikan Batavia (sebelumnya Jayakarta, dan kini Jakarta) dengan jalan kekerasan. Ia dibuat sebagai pusat perdagangan. Ironisnya, Ricklefs bilang kalau pada saat yang sama, VOC itu juga menciptakan pasar perbudakan. Apakah karakteristik dan tindakan semacam ini mirip dengan bentuk perusahaan seperti yang kita pahami sekarang?
Secara umum, tidak. Hanya butuh waktu singkat untuk mengetahui bagaimana perangai dan kebijakan brutal yang dirancang kekuasaan saat dipimpin orang bernama Jan Pieterszoon Coen. Bisa dicoba saat ini juga untuk membuktikannya. Silakan menuju mesin pencari. Ketik Genosida di Pulau Banda tahun 1621.
Dilihat dari segi pasar bebas yang belakangan menjadi dominan –dan akan selalu dibuntuti kritik dari sejumlah pakar ekonomi terencana– pun VOC bakal dianggap buruk. Sebab, cenderung memberi porsi besar kepada negara untuk terlibat dalam pasar. Alih-alih kapitalisme, VOC lebih sesuai –dan memang hidup subur di zaman yang dikenal– dengan sistem merkantilisme.
Baru tahun 1870, karpet merah bagi kapitalisme sebagai kekuatan sosial yang dominan mulai dihamparkan, dan juga menemukan momentumnya. Kala itu kaum borjuasi berhasil menguasai Parlemen, Staaten Generaal. Kekuasaan raja dan regulasi yang bercorak feodal dipereteli. Kebijakan tanam paksa dihapus karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan teori liberal tentang perekonomian.
Ini diperkuat dengan beleid yang dikenal dengan Agrarische Wet (Undang-undang Pertanahan) yang pada intinya ialah komodifikasi tanah dan tenaga kerja. Kemudian diperluas garapannya dengan Ordonansi Pembukaan Hutan 1874, yang isinya membatasi otonomi desa dengan mengalihkan wewenang pembukaan hutan di tanah terlantar dari kepala desa ke pejabat pemerintah, serta menetapkan tanah di luar batas hak milik penduduk sebagai tanah negara (domein Van den Staat).
Negara berhak menyewakan tanah-tanah tersebut kepada siapa pun yang dianggap sanggup memenuhi persyaratan sesuai peraturan hukum yang dibuat parlemen dan menteri urusan negeri jajahan. Mungkin situasi inilah yang kemudian dirumuskan pakar ekonomi-politik sebagai akumulasi primitif, kelak dipertegas David Harvey lewat accumulation by disposesion atau akumulasi lewat penjarahan.
Perbedaan Nilai yang Dominan
Di era sebelumnya, atau yang dikenal dengan alam feodal, hasrat manusia untuk menimbun kekayaan itu disebut dan dianggap sebagai tindakan terkutuk. Kedudukan sosial borjuasi, atau para pedagang di jaman itu punya citra yang buruk. Hina. Sebelum akhirnya mereka bisa memenangi pertempuran, dan mendefinisikan ulang apa yang layak dan apa yang sia-sia; apa yang benar dan apa yang salah secara ekonomika atau bahkan secara moral (bisa dilihat Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis, 2010, hlm. 182).
Memang kenapa di era feodal orang tidak boleh menimbun kekayaan?
Salah satu sebabnya, pengumpulan kekayaan material itu merupakan bahan bakar kekuasaan dan mobilitas sosial yang memungkinkan mengangkat derajat orang bawahan menjadi tuan. Padahal, kan, kedudukan sosial yang tinggi jaman itu hanya bisa diraih oleh turunannya raja dan bangsawan, yang merupakan wakil Tuhan di bumi atau pantulan hukum alam. Jika melanggarnya, berarti telah melakukan suatu tindakan tercela. Dosa.
Apakah pandangan feodal semacam ini hanya berlaku di Eropa?
Tentu saja tidak. Ong Hok Ham, dalam buku berjudul dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002, hlm. 45), bilang kalau keluarga priayi yang berdagang bahkan diejek sebagai ndoro bakulan. Di mata petani Jawa-Sunda pun golongan pedagang dianggap setan, karena dipercaya sebagai penyebab datangnya kelaparan atau malapetaka. Tak jarang dituding bersekutu dengan Nyi Blorong.
Di Aceh, pada masa pemerintahan Iskandar Muda, kebijakan anti-pedagang turut dicanangkan. Ricklefs (hlm. 67) bilang kalau Pemerintah Iskandar Muda selalu mengawasi pedagang dengan penuh kewaspadaan. Mereka lalu memberangus semua saluran politik orang kaya (sebutan buat kelompok elite di Aceh).
Ong Hok Ham menemukan fakta serupa.
Ketika menelusuri arsip-arsip kolonial, ia menemukan fakta bahwa sejumlah elite politik kolonial juga cenderung menanggapi masalah usahawan ini seperti menghadapi iblis atau setan. Artinya ini merupakan gejala universal.
"Sejarah itu merupakan ilmu tentang perubahan," kata Marc Bloch. Tentu banyak hal yang sudah tidak lagi relevan apabila dilihat dari kacamata sekarang. Mustahil untuk bisa menyamakan begitu saja apa yang terjadi di masa lalu. Karena itu penting juga mencermati perubahan orientasi nilai yang dominan, yang kerap berjalan seiring dengan perubahan material di masyarakat.
Sekarang kita hidup di alam kapitalisme. Ia bukan hanya corak perekonomian yang berhasil menata mekanisme produksi, distribusi, pertukaran, konsumsi. Namun juga sistem budaya dengan nilai dan panduan normatifnya sendiri. Kalau kata Dede Mulyanto, dalam buku Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis (2010, hlm. 27), kapitalisme itu bangkit dan menjadi dominan seperti sekarang ini bukan hanya karena perubahan dalam ekonomi, seperti munculnya revolusi industri –yang ditopang perkembangan signifikan ilmu pengetahuan dan teknologi– atau misal perdagangan jarak jauh. Namun juga adanya perubahan dalam cara manusia memaknai hidup, memandang dunia.
Hari-hari ini kita mewajarkan dan lumrah menemukan seruan para motivator –dan, ya, tentu saja termasuk anjuran Timothy Ronald– untuk giat menabung. Berusaha. Kerja, kerja, kerja. Cari uang sebanyak mungkin. Bahkan terkadang uang menentukan berbagai hal penting. Sederhananya, hanya ada dua pilihan: berusaha atau bekerja pada orang lain.
*
Pernyataan Timothy Ronald jelas keliru. Pertama, ia mereduksi kolonialisme menjadi transaksi bisnis, mengabaikan penindasan terhadap rakyat kecil. Kedua, ia menyederhanakan masalah dengan hanya menyebut boemipoetra sebagai penyebab utama korupsi, seolah-olah Belanda datang dengan niat baik. Ia juga menggaungkan fatalisme; cenderung menganggap bahwa korupsi sesuatu yang alamiah, dan itu berpotensi melemahkan usaha untuk mengubahnya.
Saya kira cukup penting untuk kita memahami dan mencermati aspek dasar yang memicu terjadinya beberapa kasus dalam sejarah. Ia layak dipelajari secara utuh, bukan simplifikasi. Sebab, bisa saja menjadi satu dari berbagai masalah yang muncul lagi pada tahun-tahun mendatang.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB