Warga Dago Elos Melakukan Istigasah Bertepatan dengan Peringatan Tragedi 14 Agustus dan Pengajuan Peninjauan Kembali 2
Tanggal 14 Agustus bagi warga Dago Elos adalah tragedi yang membawa kemenangan kecil. Saat ini warga siap mengajukan Peninjauan Kembali 2.
Penulis Yopi Muharam15 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Kamis malam, 14 Agustus 2025, cahaya lampu masjid At Taqwa menyapu wajah-wajah yang duduk bersila dalam lingkaran. Puluhan warga Dago Elos larut dalam doa istigasah untuk mengenang luka dua tahun silam. Pada malam yang sama di tahun 2023, aparat mengepung dan menembakkan gas air mata di kampung kota kawasan utara.
Soleh, Ketua RW 2 merefleksikan kembali tragedi tersebut. Tanggal 14 Agustus 2023 warga berbondong-bondong ke kantor polisi untuk melaporkan kasus penipuan dokumen tanah Dago Elos oleh keluarga Muller cs.
Pelaporan oleh warga dilakukan sejak pagi. Hingga malam tiba warga tidak mendapat kepastian status laporannya. Warga menerima kabar bahwa laporan mereka ditolak karena dianggap kekurangan bukti.
Warga yang kecewa dan marah mendengar laporannya ditolak segera kembali ke Dago Elos. Mereka meluapkan kemarahan dengan memblokade sebagian jalan. Di sana mereka membakar ban dan berorasi meluapkan keresahan akan penggusuran.
“Sehingga terjadilah peristiwa yang sangat mencekam mungkin bagi warga Dago Elos,” ujar Soleh.
Menjelang pukul 22.00 malam, lanjut Soleh, polisi mengepung warga dari berbagai arah. Warga tidak gentar. Mereka meminta dan menuntut agar laporan warga diterima. Namun yang diterima warga adalah petaka. Gas air mata ditembakan. Selongsong gas air mata berjatuhan di jalan, di lapang, dan di atap-atap rumah.
Mereka yang tak tahu gas air mata menyangka kembang api. Setelah asap menyeruak, warga merasakan nyeri dada dan perih pada mata. Warga panik. Mereka lari tunggang langgang masuk ke permukiman. Polisi mengejar dan merangsek ke gang-gang rumah. Memukuli dan menyeret siapa saja yang ada di hadapan mereka.
Namun tragedi tersebut menurut Soleh membawa kemenangan kecil bagi warga. Keesokan harinya laporan warga diterima oleh Polda Jabar. Duo Muller, Dodi Rustandi dan Heri Hermawan ditetapkan sebagai tersangka dan diseret ke penjara.
Menurut Soleh, tidak ada perjuangan yang mudah untuk mempertahankan ruang hidup dari perebutan lahan. Warga harus membayarnya dengan rasa sakit dan kepedihan.
“Itulah awal perjuangan Dago Elos untuk menuju titik terang dari awalnya mencekam dengan gerilya hingga menuju secercah harapan sampai dengan sekarang ini,” terangnya.
Soleh berharap kejadian malam 14 Agustus di Dago Elos menjadi yang pertama dan terakhir. Dia tak ingin mengalami tindak sewenang-wenang dari aparat, terlebih dengan alasan untuk mempertahankan rumah mereka dari ancaman penggusuran.

Pingsan karena Gas Air Mata
Dhea, salah satu warga yang terus mengingat kejadian malam 14 Agustus, mengatakan pemblokiran jalan yang dilakukan warga Dago Elos sebagai luapan kekecewaan terhadap ketidakjelasan proses pelaporan penipuan dokumen tanah.
Menurutnya, pemblokiran jalan sebenarnya tidak lama. Namun tembakan gas air kemudian memicu kepanikan warga.
“Gas air mata sudah ditembakkan dari arah utara di mana di arah utara itu kita kira adalah tempat aman untuk orang tua dan anak-anak juga ibu-ibu dan perempuan di sana,” ujar Dhea.
Kebanyakan warga baru pertama kali merasakan pedih dan sesaknya gas air mata. Dhea pun tak langsung melarikan diri begitu mendapat tembakan gas air mata.
Dhea masih bisa menyaksikan polisi merangsek ke rumah-rumah warga. “Mereka (polisi) merusak kendaraan, rumah, sampai mendobrak rumah untuk mencari provokator malam itu,” tuturnya.
Polisi melakukan penangkapan secara acak terhadap tim kuasa hukum, jurnalis, hingga massa solidaritas. “Bahkan mobil komando pun dibawa malam itu,” terangnya.
Dhea tidak bisa melihat kelanjutan dari penyerbuan Dago Elos karena gas air mata membuatnya pingsan. Warga menggotongnya ke rumahnya. Pukul 03.00 pagi dia siuman di saat suasana kampung hota hening mencekam. Dia dilarang bersuara. Polisi masih melakukan penyisiran.
Sesekali ia mendengar teriakan-teriakan minta tolong, teriakan, dan benda yang dipukul-pukul. Namun ia tak yakin siapa orang yang minta tolong itu. Ia tak berani keluar rumah.
Tragedi tersebut memicu trauma mendalam bagi Dhea. Cukup lama ia menolak membicarakan tragedi 14 Agustus “Pasti aku skip dengan nangis,” tuturnya. “Cuma (sekarang) aku tersadarkan oleh kata-kata beberapa warga, kejadian kayak ini tuh jadi semangat baru untuk kita,” lanjut Dhea.
Baca Juga: Menengok Kabar Warga Dago Elos Setahun Setelah Tragedi 14 Agustus
Malam Renungan Dago Elos, Menolak Lupa Tragedi 14 Agustus 2023

Trauma Anak-anak
Trauma serupa dirasakan warga lainnya, Heri. Ia bersama anaknya yang masih SMP turut di barisan depan saat blokade jalan Dago 14 Agustus. Dia sadar pemblokiran jalan akan mengundang aparat. Namun dia tak menyangka aparat melakukan kekerasan di hadapan anak-anak, perempuan, dan orang tua.
“Mereka (polisi) melakukan tindakan represif terhadap warga dengan menembakkan gas air mata serta menangkap warga secara acak dan memukul dari tempat,” ujar Heri.
Banyak warga yang tak langsung pulang ke rumahnya. Mereka berlindung di balai RW, gedung Dishub, bahkan menumpang ke rumah warga lainnya. Heri sempat terpisah dengan anaknya. Dia mencari ke sana-kemari, berteriak-teriak memanggil nama anaknya hingga ke ujung kampung. Di saat yang bersamaan dia harus mengevakuasi warga agar aman dari kejaran polisi.
“Sedikit banyak saya mengamankan warga. Bahkan saya sendiri pun kena tembakan gas air mata,” tuturnya.
Heri terus mencari anaknya sambil diliputi kekhawatiran terhadap istri dan anak perempuannya yang menunggu di rumah. Dalam perjalanan pulang, ia akhirnya menemukan anaknya. Heri segera membawa anaknya pulang. Di rumah ia terus berjaga hingga kondisi benar-benar aman.
“Saya melihat anak-anak, orang tua, sampai ibu-ibu juga berteriak histeris ketika polisi merangsek masuk ke kawasan permukiman warga dan menembakkan secara membabi buta itu gas air mata,” lanjutnya.
Sama dengan Heri, Edi, warga Dago Elos lainnya, ikut merapatkan barisan dengan anaknya. Saat pengepungan ia pun sempat berpisah dengan sang anak. Dia berlari hingga ke seke (air mata), jalan paling ujung Dago Elos.
“Anak saya yang dikejar-kejar polisi,” jelas Edi.
Dia mengetahui dari kerabatnya bahwa anaknya berlindung bersama warga yang lain. “Hari-hari selanjutnya anak-anak ketika mendengar kata polisi, melihat polisi itu sudah ketakutan,” terang Heri, menceritakan trauma jangka panjang yang dialami anak-anak setelah peristiwa 14 Agustus.
Menjelang Peninjauan Kembali 2
Doa bersama di Masjid At-Taqwa juga berisi harapan bagi babak baru perjuangan Dago Elos akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) 2 pada 19 Agustus 2024. Soleh menjelaskan, PK 2 menjadi ikhtiar terakhir warga dalam mempertahankan ruang hidup di ranah hukum.
“Inilah puncak perjuangan warga yang akan kita lakukan di tanggal 19 nanti,” tutur Soleh.
Langkah hukum ini disebut sejarah besar bagi warga Dago Elos. Soleh berharap hakim PK 2 mengabulkan permohonan warga agar terbebas dari penggusuran. “Semoga Allah memberikan kelancaran dan kemenangan untuk mempertahankan ruang hidup,” harapnya.
Senada dengan Soleh, Heri berharap pengajuan PK 2 dimenangkan warga Dago Elos. “Harapan saya pengadilan dapat menerima dan memproses ajuan dari PK 2 dan semoga hakim yang di MA memutuskan seadil-adilnya perkara Dago Elos dan mengembalikan kemenangan bagi warga,” harap Heri.
Sengketa Dago Elos
Warga Dago Elos meraih kemenangan di Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara pemalsuan surat dan dokumen tanah yang menyeret dua terdakwa, Heri Hermawan dan Dodi Rustandi, yang dikenal sebagai duo Muller. Majelis hakim yang dipimpin oleh Syarip menjatuhkan vonis penjara 3 tahun 6 bulan kepada masing-masing terdakwa, Senin, 14 Oktober 2024.
Salah satu latar belakang kasus konflik tanah ini bermula dari gugatan PT Dago Inti Graha, perusahaan yang dipimpin Jo Budi Hartanto, yang memenangkan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung pada 2022, sehingga memicu perjuangan warga mempertahankan tanah yang telah dihuni selama puluhan tahun. Forum Dago Elos kemudian mengumpulkan bukti dugaan pemalsuan dokumen yang digunakan dalam sidang Penetapan Ahli Waris (PAW) di Pengadilan Agama Cimahi.
Duo Muller mengklaim sebagai anak George Hendrik Muller. Namun, silsilah keluarga Muller dalam surat kabar Limburg Dagblaad tidak mencantumkan nama Renih maupun Edi Edward Muller seperti yang diklaim. Nama yang tercatat adalah Harrie Muller dan Eduard Muller.
Klaim bahwa Georgius Hendricus Wilhelmus Muller adalah kerabat Ratu Wilhelmina juga tidak ditemukan dalam situs resmi Silsilah Keluarga Kerajaan Belanda. Georgius justru tercatat sebagai administrator kebun di Tegalsari, berdasarkan surat kabar De Preanger Bode edisi 3 Januari 1905.
Dalam perkara sebelumnya, Muller CS menyebut tanah Verponding 3740, 3741, dan 3742 telah berpindah kepada George Hendrik Muller dari sebuah perusahaan bernama Simongan sejak 1899. Namun, arsip Universitas Leiden menunjukkan bahwa Pabrik Simongan baru berdiri tahun 1916, sedangkan George Hendrik Muller lahir pada 24 Januari 1906.
Saksi ahli agraria Yani Pujiwati dalam persidangan menjelaskan bahwa hak atas tanah Eigendom Verponding seharusnya gugur setelah 20 tahun sejak 1960 jika tidak diurus, sehingga tanah Dago Elos semestinya diprioritaskan untuk warga.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB