• Cerita
  • GEOGRAFI INGATAN (30): Keluar Kerja dan Hidup dari Menulis

GEOGRAFI INGATAN (30): Keluar Kerja dan Hidup dari Menulis

Dari redaksi, dipindahkan ke pemasaran buku. Sampai suatu saat memutuskan keluar kerja dan melanjutkan kuliah di UIN SGD Bandung.

Menjaga stand buku saat ada pameran lukisan di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). (Sumber: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia29 Oktober 2021


BandungBergerak.idSaya hanya sekitar setahun bekerja di bagian redaksi, karena menjelang tahun kedua masa kerja di Kiblat Buku Utama, pada 2007, dipindahkan ke bagian pemasaran. Saya tidak tahu alasan persis mengapa dipindahkan ke posisi yang baru. Bisa jadi karena di bagian pemasaran kekurangan pegawai. Sekarang, setelah berjarak sekian belas tahun, saya merasa beruntung sempat ditempatkan di bagian penjualan buku. Karena nanti terbukti menambah pengetahuan baru.

Sebelum ke situ, saya akan menelusuri lagi hal-hal penting selama bekerja dua tahun di penerbit buku Sunda itu. Pertama-tama, untuk urusan tinggal. Dengan gaji yang dapat dikatakan tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan kerja di pabrik, saya memilih sepekan sekali pulang ke rumah di Cikancung.

Saya lebih memilih menginap di kantor. Namun, saya kerap pula tidur di kantor majalah Cupumanik yang merangkap sebagai kantor Pusat Studi Sunda (PSS) di Jalan Taman Kliningan II Nomor 5. Kantor itu ada di belakang kantor Kiblat, tinggal jalan kaki, belok kiri, masuk Jalan Kliningan, lalu belok kiri lagi dan masuk ke komplek Taman Kliningan. Secara keseluruhan, saya tinggal di Jalan Karawitan No. 46 sekitar dua tahun (2006-2008) dan empat tahun di Jalan Taman Kliningan II No. 5 (2006-2010).

Mulai Banyak Menulis

Alasan tinggal di kantor Cupumanik merangkap PSS sangat berkaitan dengan karier kepenulisan saya. Bila 2005, tercatat, hanya ada dua tulisan saya yang dimuat Cupumanik dan tabloid Galura, maka 2006 sudah ada sebelas tulisan yang dimuat dalam Cupumanik, Kompas edisi Jawa Barat, Seni Budaya, Pikiran Rakyat, dan Galura.

Peningkatan berkali lipat itu sangat dimungkinkan karena saya sudah berkenalan dengan internet, terbukanya pergaulan luas dengan para penulis Sunda, dan tersedianya berbagai bacaan koleksi Perpustakaan PSS. Di kantor yang juga merangkap kantor GI3 – perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi dan menempati bagian kanan rumah di Jalan Taman Kliningan II No. 5 – itu saya mulai belajar berselancar di internet.

Bahkan, pada 2006, oleh salah seorang karyawan GI3, Yahya Fitriansyah, saya dibuatkan akun surat elektronik pertama. Karena terekspos ke dunia internet, tentu saja informasi yang saya akses jadi demikian banyak, berlimpah malah, sehingga memungkinkan mendapatkan bahan-bahan tulisan. Namun, yang juga sangat penting, melalui akun itu saya dapat mengirimkan tulisan-tulisan yang saya buat. Ini sekaligus menandai percobaan saya mengirimkan tulisan ke berbagai media, bukan hanya yang terbit di Bandung, melainkan juga yang terbit di Jakarta.

Dengan tinggal di dua tempat itu, saya jadi berkesempatan bertemu dan berkenalan dengan para penulis dan seniman Sunda. Pada bulan-bulan awal saya bergabung di Kiblat, saya antara lain sempat diajak ke rumah Kang Apung S. Wiratmadja di Banjaran dan diminta datang ke rumah Kang Ubun Kubarsyah yang terbilang dekat dengan kantor sekaligus bertemu dengan Kang Eddy D. Iskandar.

Salah satu yang masih saya ingat juga adalah pertemuan dengan Kang Nano S. Suatu hari, seniman dan penulis Sunda ini bertamu ke Kiblat, dan mengajak makan siang di sekitar Jalan Kliningan. Di sela-sela obrolan, Kang Nano sempat melontarkan proses kreatifnya. Konon, bila mendapatkan ide, ia akan mewujudkannya menjadi salah satu karya. Bila dirasa gagasannya tidak pas untuk esai, ia akan mencobanya menjadi cerita pendek atau sajak. Bila kedua jenis tulisan itu tidak juga memadai, ia akan memilih menjadikannya sebagai lirik lagu Sunda. Pokoknya, dari Kang Nano S., saya belajar bahwa sekecil apapun ide pasti dapat diwujudkan menjadi karya.

Saat awal saya bergabung dengan Kiblat, Pak Edi S. Ekadjati meninggal dunia pada 1 Juni 2006. Pada hari pertama kerja di Kiblat itu, saya diajak untuk bertakziah ke rumah almarhum di sekitar Buahbatu. Meninggalnya Pak Edi merupakan sebuah kehilangan besar, terutama bagi PSS. Karena ia termasuk salah seorang pendiri sekaligus ketua pertama PSS. Sementara pendirian PSS sendiri adalah buah dari rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I tahun 2001.

Sepeninggal Pak Edi, koleksi buku pribadinya banyak yang dihibahkan ke PSS dan sebagian lainnya dihibahkan untuk pendirian perpustakaan di tanah kelahirannya, Kuningan. Buku-buku dari keluarga Pak Edi bersama dengan sumbangan dari keluarga Pak Djaka Suryawan serta Kang Ajip Rosidi menjadi koleksi pertama Perpustakaan PSS, yang kelak menjadi Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut No. 2.

Dengan banyaknya buku di Perpustakaan PSS membuat saya kian betah tinggal di Jalan Taman Kliningan II No. 5. Ibarat kura-kura yang dilemparkan ke sungai atau seperti orang yang mau menyeberangi sungai dikasih jembatan, saya sangat bergairah. Saya jadi tambah banyak mendapati pengetahuan baru terkait wacana kesundaan, sehingga peluang untuk dijadikan sebagai sumber tulisan pun kian terbuka.

Alhasil, perkenalan dengan dunia internet, pergaulan luas dengan para penulis Sunda, dan tersedianya berbagai bacaan pada koleksi Perpustakaan PSS menjadi modal besar bagi saya ketika menulis.

Baca Juga: GEOGRAFI INGATAN (29): Memeriksa Naskah Kamus R.A. Danadibrata
GEOGRAFI INGATAN (28): Dari Buruh Pabrik Jadi Penulis Budaya Sunda
GEOGRAFI INGATAN (27): Silaturahmi Sastra Sunda

Penulis dengan kawan-kawan sekelasnya saat kuliah di UIN Sunan Gunung Djati. (Sumber: Atep Kurnia)

Penulis dengan kawan-kawan sekelasnya saat kuliah di UIN Sunan Gunung Djati. (Sumber: Atep Kurnia)

Pengalaman Memasarkan Buku Sunda

Ternyata pengalaman turut memasarkan buku Sunda, sudah saya lakukan beberapa bulan setelah bergabung dengan Kiblat Buku Utama. Ketika Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS) menyelenggarakan Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran (PTSC) di Garut, yang bertempat di Sabda Alam, Cipanas, November 2006, saya menggelar buku-buku Sunda di muka ruang perlombaannya.

Bila tidak keliru ingat, Kiblat waktu itu ditawari oleh Ceu Etti RS untuk berpameran buku di PTSC Garut. Saya sendiri diminta untuk membawa dan menjaga stand-nya selama kegiatan sayembara itu berlangsung. Ada satu stand lagi yang menjual buku dan kaus, yaitu perwakilan Insititut Nalar dari Jatinangor. Bila tidak salah, waktu itu stand-nya dijaga oleh seorang mahasiwa dari Universitas Padjadjaran (Unpad). Dian Sandi, namanya. Kami diberi tempat menginap di Sabda Alam. Bagi saya sendiri, itulah pengalaman pertama ke Cipanas, Garut, sekaligus pengalaman pertama menginap di “cottage”.

Saya juga sempat menggelar buku di Unpad Jatinangor, kala perhimpunan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda mengadakan perhelatan dan menggelar meja saat ada pameran lukisan di Gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), di Jalan Naripan.

Saya juga pernah menjaga stand, ketika Kiblat Buku Utama mengikuti pameran-pameran buku yang diselenggarakan oleh IKAPI Jawa Barat di Landmark, Jalan Braga. Bahkan, ada pengalaman yang takkan mungkin terlupakan, yaitu tertipu komplotan pencopet.

Modusnya, salah seorang anggota komplotan bertanya kepada saya ini dan itu, untuk mengalihkan perhatian. Sementara saya, yang sedang jaga sendirian, menanggapinya, anggota komplotan lainnya menyambangi meja tempat saya duduk, dari samping. Sehingga tidak terasa satu dompet agak besar yang berisi uang receh untuk kembalian berhasil diambil oleh penjahat itu.

Saya baru sadar setelah mereka pergi dan saya berteriak-teriak seraya berlari mengejarnya ke arah depan pintu masuk Landmark. Tentu saja tidak berhasil menangkap para pencuri itu. Setelah kembali ke meja, saya masih dapat mengatakan “untung”, karena dompet satu lagi yang berisi hasil penjualan buku hari itu, masih ada di tempatnya, tidak turut diembat kawanan pencopet. Barangkali karena tidak terlalu mencolok, ukurannya kecil dan tidak menggembung seperti dompet yang tercuri.

Hal-hal lainnya yang saya lakukan selama bekerja di bagian pemasaran antara lain membuat rekapitulasi hasil penjualan buku, menyusun berkas penagihan ke toko-toko buku, membuat stock opname buku-buku di gudang, dan membuat penawaran buku baru ke toko-toko. Intinya, selama hampir setahun, saya mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pemasaran buku.

Selain mendapatkan pengetahuan baru, selama turut memasarkan buku itu, saya sedikit banyak jadi dapat mengetahui kecenderungan minat para pembaca buku Sunda. Berdasarkan jumlah penjualan buku di kantor, saya jadi mafhum, buku-buku yang diminati para pembeli buku Sunda berkisar di sekitar sejarah, humor, isu lingkungan hidup, dan wacana kebudayaan Sunda. Sementara buku-buku sastra, terutama puisi, nampak sangat kurang diminati.   

Keputusan Besar

Menjelang tahun kedua bekerja di Kiblat, kehendak untuk melanjutkan belajar di perguruan tinggi demikian membesar pada diri saya. Barangkali antara lain karena terdorong jumlah tulisan yang saya hasilkan. Bila dijumlahkan semuanya, pada 2007, saya menghasilkan 39 tulisan atau tiga kali lebih banyak dari yang dihasilkan pada 2006. Selain itu, saya mendapatkan dorongan semangat untuk menempuh pendidikan tinggi dari Kang Hawe Setiawan.

Demikianlah, akhirnya saya berani mengambil keputusan besar. Saya memutuskan keluar kerja dari Kiblat Buku Utama, kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD Bandung), dan mengandalkan hidup dari menulis. Bila dihitung-hitung lagi, masa kerja saya di Kiblat adalah antara awal Juni 2006 hingga awal Agustus 2008 atau sekitar dua tahun lebih dua bulan. Karena dalam dokumen yang masih saya simpan, saya mulai mendaftar ke UIN pada 6 Agustus 2008 dan mulai tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, sejak 26 Agustus 2008.

Mengapa memilih UIN? Alasannya, hanya UIN SGD Bandung yang memungkinkan saya yang saat itu sudah berumur 28 tahun untuk masuk kuliah S1 secara reguler, melalui mekanisme ujian tulis, bukan UMPTN. Alasan lainnya, tentu saja karena biaya kuliahnya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya.

Ketika mematangkan rencana kuliah, saya berkonsultasi ke Kang Hawe. Ia menyarankan agar saya mengambil jurusan sastra Arab, mengingat di kalangan penulis Sunda sedikit sekali yang menguasai bahasa Arab, apalagi sastranya. Nantinya saya diproyeksikan untuk dapat menjembatani sastra Arab ke sastra Sunda, melalui terjemahan. Opsi lainnya saya masuk ke sastra Inggris.

Setelah lulus ujian tulis, saya memikirkan ulang pilihan yang pertama. Sebab meski saya punya kemampuan dasar bahasa Arab ketika mengaji di beberapa madrasah dan menjadi “santri kalong” di pesantren, saya tidak merasa sanggup melanjutkannya. Oleh karena itu, akhirnya saya lebih memilih jurusan bahasa dan sastra Inggris. Dengan pertimbangan, kemampuan berbahasa asing itu dapat terus saya gunakan demi kepentingan karier kepenulisan sekaligus dalam kerangka bertahan hidup.

Memang, sejak Januari hingga Agustus 2008, tulisan saya yang dimuat di beberapa media terbilang banyak. Jumlahnya mencapai 28 tulisan. Itulah yang membesarkan hati saya untuk dapat bertahan hidup dari jalan menulis, demi memenuhi kebutuhan keluarga di kampung dan hidup saya di Bandung. Selain itu, tentu saja, bimbingan dari Kang Hawe sangat berarti bagi saya. Ia yang mengajak saya untuk membantuCupumanik dan Pusat Studi Sunda, yang kantornya jadi tempat tinggal saya hingga 2010, sebelum akhirnya saya menyewa kamar kontrakan di Cibiru.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//