GEOGRAFI INGATAN (29): Memeriksa Naskah Kamus R.A. Danadibrata
R.A. Danadibrata menyusun Kamus Basa Sunda dengan turun langsung ke lapangan, menyimak percakapan warga untuk menangkap kosa kata.
Penulis Atep Kurnia22 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Edisi pertama Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (1905-1987) diterbitkan pada bulan November 2006. Sebagaimana yang tertulis pada jilid belakang, kamus ini adalah hasil kerja keras Raden Alla Danadibrata hampir 40 tahun, yaitu antara 1930-an hingga 1970-an. Dengan rentang panjang penyusunan itu pantas belaka bila jumlah lemanya terbilang sangat banyak, yakni 40.000-an entri.
Bila dibanding-banding dengan kamus lainnya, kamus karya R.A. Danadibrata ini terbilang istimewa. Lema A Dictionary of the Sunda Language of Java (1862) karya Jonathan Rigg hanya berjumlah 9.308 entri, sementara Kamus Basa Sunda (1948) karya R. Sacadibrata sejumlah 13.000 lema, dan Soendaas-Nederlands Woordenboek (1984) susunan F.S. Eringa berjumlah 22.500 lema.
Riwayat penerbitan kamus karya R.A. Danadibrata dapat diikuti dari tulisan Ajip Rosidi dalam “Panganteur Editor” atau pengantar editor. Dalam tulisan bertitimangsa Pabelan, 15 Oktober 2006, itu Ajip menyatakan bahwa R.A. Danadibrata menjelang akhir tahun 1973 menemui Ajip yang saat itu tinggal di Gang Asmi, Bandung. Maksudnya hendak meminta saran untuk menerbitkan kamus yang disusunnya sejak tahun 1930, tetapi sempat ikut terbakar zaman Revolusi Fisik, lalu disusun kembali hingga selesai pada pertengahan tahun 1973.
Saat itu Ajip Rosidi yang menjabat sebagai direktur Pustaka Jaya merasa tertarik untuk menerbitkan kamus karya R.A. Danadibrata itu. Untuk keperluan itulah, Ajip membentuk tim penyuntingnya yang terdiri atas tiga orang. Namun, hingga Ajip pergi mengajar di Jepang sejak 1981 naskah tersebut belum selesai disunting. Demikian pula saat Proyek Sundanologi berdiri, Ajip mengusulkan lembaga yang dikepalai oleh Edi S. Ekadjati tersebut untuk menerbitkan kamus itu seadanya. Sayang, proyek tersebut keburu bubar.
Setelah lama tertunda, pada 2003, melalui penerbit buku Sunda yang juga didirikan oleh Ajip, Kiblat Buku Utama, penerbitan Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata itu dijajaki kembali. Direktur Kiblat Buku Utama Rachmat Taufiq Hidayat (RTH) diminta Ajip untuk menghubungi keluarga almarhum R.A. Danadibrata, dengan disertai oleh Edi S. Ekadjati.
Akhirnya terbentuklah Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda bekerjasama dengan Kiblat Buku Utama dan Universitas Padjadjaran. Ketuanya adalah A. Himendra Wargahadibrata, wakil ketua RTH, dewan redaksi yang terdiri atas Ajip Rosidi, Edi S. Ekadjati, Gugun Gunardi, dan Purwanto. Redaktur pelaksananya (panangkes redaksi) adalah Ready Susanto. Sementara wakil redaktur pelaksananya adalah saya.
Baca Juga: GEOGRAFI INGATAN (28): Dari Buruh Pabrik Jadi Penulis Budaya Sunda
GEOGRAFI INGATAN (27): Silaturahmi Sastra Sunda
GEOGRAFI INGATAN (26): Tulisan Pertama di Pikiran Rakyat
Geografi Ingatan (25): Majalah Lokal Bilik dan Cupumanik
Geografi Ingatan (24): Sajak dan Surat Penolakannya
Tulisan Tangan Tebal-Tipis
Ya, sekarang baru saya paham, barangkali ketika saya direkrut oleh Kang RTH untuk bergabung di Kiblat Buku Utama adalah untuk keperluan penerbitan kamus karya R.A. Danadibrata itu. Memang sejak awal Juni 2006, pekerjaan saya di Kiblat terutama adalah memeriksa draf hasil pengetikan ulang naskah kamus bahasa Sunda itu.
Bila saya ingat-ingat lagi sekarang, naskah kamus R.A. Danadibrata memang sudah ditik ulang semuanya. Barangkali pengetikannya sudah dilakukan agak lama sebelum saya bergabung ke Kiblat. Namun, hasil pengetikan tersebut harus diperiksa lagi, karena barangkali terdapat kesalahan pengetikan serta penyesuaian redaksi kata-katanya. Itu sebabnya ketika memeriksa naskah cetak coba itu saya dilengkapi dengan beberapa kamus bahasa Sunda, di antaranya karya R. Sacadibrata dan tim Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS).
Tapi yang menjadi tantangan besar bagi saya adalah membandingkan draf hasil pengetikan dengan naskah aslinya yang ditulis tangan oleh R.A. Danadibrata di atas kertas folio bergaris dengan menggunakan potlot. Tulisannya sendiri adalah tulisan tangan khas orang tua tempo dulu, yaitu tulisan sambung yang miring ke kanan dan tebal-tipis. Oleh karena itu, saya harus benar-benar memperhatikan antara tulisan hasil ketikan dengan tulisan tangan R.A. Danadibrata. Dalam keadaan demikian, kadang-kadang harus berulang-ulang melihat bentuk tulisan aslinya untuk dapat meyakinkan benarnya apa yang tertulis pada draf hasil pengetikan.
Demikianlah berbulan-bulan lamanya saya memeriksa aksara naskah kamus bahasa Sunda karya R.A. Danadibrata. Karena disusun dengan jalan terjun ke lapangan, bertanya-tanya kepada para penuturnya, penyusun kamus banyak menyertakan kosa kata dan bahkan keterangan yang bagi saya baru sama sekali. Karena kecenderungan meliput ke gunung-gunung, perkampungan, pasar, mengobrol dengan orang-orang, naskah kamus R.A. Danadibrata itu agak mirip dengan ensiklopedia mini. Mengenai kecenderungan tersebut dapat dibaca dari tulisan pengantar keluarga R.A. Danadibrata dalam buku:
"Dina raraga ngempelkeun kekecapan téa Pa Alla mah lain calik dina korsi di tukangeun méja, tapi ngaprak ka suklakna-ka siklukna. Lain asihna biwir baé, nyaahna lain ukur cenah. Tapi ieu mah dibuktikeun ku tindakan nu nyata. Sakabéh gunung di Jawa Barat geus kataékan. Ngaprak pakampungan padésaan. Ngadatangan nu dagang ngampar di pasar jeung sajabana ti éta. Geus poho di kasieun, geus poho di kaera. Éstu katungkulkeun ku pangaresep ngintip-ngintip kekecapan anu aranéh nu dipaké ngawangkong ku urang pasisian. Janten seringna mah ngubek di pasisian ti batan di kota. Nu disungsi téh basa kahirupan sapopoé anu geus teu katangén ku karéréanana jalma.”
Artinya: Dalam rangka mengumpulkan kosa kata Pak Alla tidak hanya duduk di kursi di belakang meja, melainkan menjelajah ke tempat-tempat yang jauh. Kecintaannya terhadap bahasa Sunda bukan hanya di bibir belaka. Tetapi dibuktikan dengan tindakan yang nyata. Semua gunung di Jawa Barat telah didakinya. Menjelajahi perkampungan dan perdesaan. Mendatangi para pedagang yang melapak di pasar dan sebagainya. Tidak ada rasa takut maupun rasa malu. Semuanya terarah pada minat untuk mencari-cari kosa kata aneh yang digunakan untuk bertutur oleh orang-orang di perkampungan. Jadi Pak Alla kerap bepergian ke perkampungan daripada di kota. Yang dicarinya bahasa Sunda sehari-hari yang sudah jarang diperhatikan oleh orang kebanyakan.
Pada tahap akhir, menjelang kamus tersebut dicetak, saya membantu mengetik ulang dan mengedit sambutan dari Rektor Unpad A. Himendra Wargahadibrata, pengantar editor oleh Ajip Rosidi, “Pihatur ti Ahli Waris R.A. Danadibrata” (sambutan dari ahli waris R.A. Danadibrata), dan tulisan “R.A. Danadibrata dina Panineungan” (R.A. Danadibrata dalam kenangan). Termasuk saya pula yang mempersiapkan teks untuk dipasang di jilid belakang kamus, sebagaimana yang keterangannya saya kutip pada awal tulisan ini.
Sayang, saya tidak merekam lika dan liku saat memeriksa naskah kamus itu dalam buku agenda. Saya tidak tahu mengapa peristiwa sepenting itu lewat begitu saja, tidak sempat saya catat. Namun, beruntung saya masih menyimpan sebagian kecil draf yang saat itu saya periksa. Tentu saja, setelah berkas hasil koreksinya dimasukkan ke dalam layout buku.
Bila kini dihitung-hitung lagi, saya memeriksa draf dan naskah Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata selama sekitar lima bulan. Awal Juni 2006 saat mulai bekerja di Kiblat Buku Utama dan Oktober 2006 sebagai masa ketika drafnya memasuki tahap akhir pracetak, sebelum dicetak pada bulan November 2006.