• Literasi
  • Membangun Jembatan Budaya Lewat Seni Menerjemahkan

Membangun Jembatan Budaya Lewat Seni Menerjemahkan

Kurangnya buku filsafat Islam yang diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia mendorong Syihabul Furqon menerjemahkan karya filsuf-filsuf Islam.

Kubu Buku menggelar diskusi bertajuk Penerjemahan buku berbahasa asing di sela pameran Haus Buku 2 di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Minggu (28/10/2021) lalu. (Foto: Ari Maulidani/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 November 2021


BandungBergerak.idMenerjemahkan bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Namun demikian, kerja menerjemahkan berperan besar terutama dalam menjembatani antarperadaban. Lewat terjemahan dua kebudayaan bisa saling bertemu dan memahami.

Berbicara seni menerjemahkan ini, baru-baru ini Kubu Buku menggelar diskusi bertajuk Penerjemahan Buku Berbahasa Asing di sela pameran Haus Buku 2 di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Minggu (28/10/2021) lalu.

Diskusi tersebut menghadirkan narasumber Atep Kurnia, penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Sunda, Syihabul Furqon penerjemah bahasa Inggris dan Arab ke bahasa Indonesia, dengan moderator pegiat Lawang Buku, Deni rachman.

Atep Kurnia sepakat bahwa terjemahan atau karya terjemahan sebagai kunci masuk ke sebuah kebudayaan. Terkait literasi, terjemahan sebagai media pertama dalam memperkenalkan budaya baru atau lama yang sebelumnya tidak dikenal.

Sebagai contoh, peradaban yang sudah lebih dulu mengenal bahasa tulis, bisa terhubung dengan peradaban yang belum mengenal budaya tulis lewat praktik penerjemahan. Sehingga budaya yang tidak mengenal budaya tulis pada akhirnya memiliki budaya tulis.

Tidak heran jika dalam satu bahasa, terdapat bahasa serapan. Sebagai contoh, bahasa Indonesia menyerap berbagai bahasa, misalnya bahasa Belanda, Sansekerta, bahasa daerah, dan lain-lain.

“Jadi terjemahan sebagai jembatan antarperadaban,” kata Atep Kurnia, melalui rekaman diskusi. Atep mulai menerjemahkan karya-karya berbahasa Inggris ke bahasa Sunda mulai 2008. Waku itu terjemahan pertamanya sebuah cerpen. Menerjemahkan karya ke dalam bahasa Sunda tentu dalam praktiknya tidak mudah.

“Dalam teori, setiap bahasa mencerminkan budaya penuturnya. Sehingga yang dituliskan dalam bahasa sumber harus mengalami penyesuaian dalam bahasa target,” terangnya.

Masih menurut teori, kata Atep, ada dua cara penerjemahan, yaitu secara harfiah dan terjemahan bebas. Pada awal penerjemahan, Atep mengaku melakukannya secara harfiah atau kata per kata.

Lama-kelamaan, ia mulai terbiasa menerjemahkan bebas yang mengutamakan konteks kalimat atau naskah. Dalam menerjemahkan, ia cenderung lebih berpihak pada bahasa target daripada setia pada bahasa sumber.

Misalnya dalam menerjemahkan karya Inggris ke dalam bahsa Sunda, ia memilih lebih menyundakan karya tersebut. Hal ini dilakukan karena target yang dituju adalah bahasa Sunda.

“Perbedaan bahasa Inggris dan Sunda. Inggris sangat gramatikal, taat terhadap tata bahasa. Sementara bahasa Sunda yang saya pakai lebih dekat ke bahasa lisan, walaupun di bahsa Sunda juga ada tata bahasanya,” papar penulis yang salah satu karya terjemahannya adalah tentang The Pearl (Mutiara) karya John Steinbeck yang dimuat bersambung di mingguan Galura.

Selain penerjemah bahasa Inggris ke bahsa Sunda, Atep juga menerjemahkan bahasa Belanda ke bahasa Sunda. Dalam menerjemahkan bahasa Belanda ini, Atep punya trik tersendiri.

Pertama-tama, ia menerjemahkan naskah bahasa Belanda ke dalam bahsa Inggris dengan Google Translate. Setelah itu, ia baru menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda. Walaupun ada bantuan Google Translate, penerjemahan dengan cara ini tetap memerlukan disiplin ketat mengingat hasil terjemahan mesin tersebut masih kasar dan memerlukan penghalusan atau penyuntingan.

“Saya memaksimalkan mesin penerjemah di Google Translate tapi diedit seketat mungkin. Dengan begitu saya juga mempelajari gramatika Belanda dan kosa katanya,” katanya.

Sedangkan syarat untuk bisa menerjemahan, Atep mengatakan pertama-tama diperlukan kecintaan kepada bahasa. Atep sendiri yakin dengan pribahasa Sunda bahwa bahasa ciciren bangsa, bahwa bahasa mencerminkan orang yang menuturkannya.

Baca Juga: Unpad Telaah Fenomena Kata ‘Aing’ dalam Percakapan Bahasa Indonesia
Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial
Belajar TOEFL Gratis dengan Bahasa Booster

Minimnya Buku Filsafat Islam Terjemahan

Cerita Syihabul Furqon terkait penerjemahan lain lagi. Ia mulai menerjemahkan pada 2015 untuk membimbing tugas mahasiswa. Buku yang ia terjemahkan adalah karya filsafat Al Kindi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Sejak itu, ia intens menerjemahkan buku filsafat Islam berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Ini berangkat dari adanya ketimpangan buku terjemahan filsafat Islam dengan filsafat barat.

“Lebih banyak referensi filsafat barat daripada filsafat Islam yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia,” kata Syihabul Furqon.

Pada tahap awal penerjemahannya, ia menuntaskan Al Kindi, kemudian Al Farabi, dan Ibnu Sina. Menurutnya, buku-buku karya filsuf tersebut jarang yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal banyak mahasiswa, khsusunya jurusan filsafat, yang membutuhkan referensi filsafat Islam terjemahan.

“Dalam sebuah diskusi di Facebook sempat terungkap bahwa banyak isu-isu filsafat yang tidak dicerna dengan baik di masyarakat yang mengakibatkan generasi belakangan banyak yang ga paham sama isu ini,” tuturnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//