• Nusantara
  • Pemerintah Mestinya Gratiskan Tes PCR

Pemerintah Mestinya Gratiskan Tes PCR

Tercatat, sudah empat kali tarif tes PCR turun. Koalisi menduga kentalnya kepentingan bisnis.

Tenda tes swab PCR di Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (1/11/2021). Pemerintah menetapkan batas harga tes PCR di Jawa Bali turun jadi Rp 275.000 atas desakan berbagai kalangan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana2 November 2021


BandungBergerak.idDi salah satu titik di Jalan Braga terdapat sejumlah poster yang menawarkan paket pemeriksaan Covid-19, yakni tes PCR dan antigen. Harga tes dicetak besar-besar, tes PCR dibanderol Rp 275 K, dan antigen Rp 85 K. Sekilas banderol ini sama dengan harga makanan yang ditawarkan di kafe atau rumah makan.

Tak hanya di Jalan Braga, tawaran serupa terdapat di Balai Kota Bandung. Di salah satu gerbang masuk Balai Kota bahkan terdapat baliho besar tentang obral tes PCR. Sementara di bagian dalam Balai Kota berdiri tenda putih yang menjadi tempat pengambilan sampel tes Covid-19. Tenda ini tampak sepi, hanya didatangi satu dua calon klien yang akan melakukan perjalanan yang mensyaratkan tes Covid-19. Spanduk yang menawarkan jasa tes PCR dan antigen bertebaran di sejumlah titik di Bandung, antara lain di Jalan Riau.

Tes Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) di Indonesia kembali menuai kontroversi karena harganya yang sempat selangit. Setelah menuai kritik dari sana sini, pemerintah lalu menurunkan tarif tes Covid-19. Hingga saat ini, sudah 4 kali tarif tes PCR mengalami penurunan.

Salah satu kritik muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan ICW, YLBHI, LaporCovid-19, Lokataru. Melalui siaran pers 31 Oktober 2021, koalisi ini mendesak agar pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan.

“Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif tes PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat,” demikian desakan Koalisi.

Koalisi menduga tes PCR selama ini bermuatan bisnis di tengah pandemi, di saat masyarakat kesusahan karena terpukul pagebluk. Koalisi mencatat, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta. Kemudian pada Oktober 2020 pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp 900.000.

Sepuluh bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp 495.000-Rp 525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.

Perlu diingat, lanjut Koalisi, ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp 900.000/test yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India.

“Sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir (27/10) ini terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat,” kata Koalisi.

Koalisi melihat bahwa penurunan harga tes PCR ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi.

Poster promosi swab PCR di Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, Senin (1/11/2021). Pemerintah menetapkan batas harga tes PCR di Jawa Bali turun jadi Rp 275.000 atas desakan berbagai kalangan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Poster promosi swab PCR di Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, Senin (1/11/2021). Pemerintah menetapkan batas harga tes PCR di Jawa Bali turun jadi Rp 275.000 atas desakan berbagai kalangan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Satu RT Patungan Beli Rapid Test untuk Testing dan Tracing Mandiri
Ruang-ruang Sunyi Pasien Isolasi Mandiri
Tarif Tes PCR di Bandung masih Mahal

Pemerintah tidak Transparan

Dari seluruh rangkaian perubahan tarif tes PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam.

“Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga,” katanya.

Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp 193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. Dari kondisi tersebut sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.

Kedua, Koalisi mensinyalir adanya ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.

Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu. Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas.

Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.

“Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu,” kata Koalisi.

Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali memangkas harga pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Per Rabu 27 Oktober 2021, tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR ditetapkan sebesar Rp275 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali, serta Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali.

Batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR ini ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR.

“Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp 275 ribu untuk daerah Pulau Jawa dan Bali serta sebesar Rp 300 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan, Kemenkes, Abdul Kadir, dalam keterangan persnya, Rabu (27/10/2021).

Pemangkasan tarif dari yang sebelumnya Rp 495 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali dan Rp 525 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali ini merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

“Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1 x 24 jam dari pengambilan swab,” imbuh Abdul Kadir.

Abdul Kadir mengatakan, sebelumnya Kemenkes telah melakukan evaluasi bersama dengan BPKP dengan melalui perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, yang terdiri dari komponen-komponen berupa jasa pelayanan/sumber daya manusia (SDM), komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.

“Kami mohon agar semua fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, laboratorium, dan fasilitas pemeriksaan lainnya yang telah ditetapkan oleh menteri dapat mematuhi batasan tarif tertinggi RT-PCR tersebut,” ujarnya.

Jika ada lab yang tidak mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, maka akan dilakukan pembinaan melalui dinas kesehatan kota/kabupaten. Lab yang tidak memenuhi ketentuan juga dapat diberikan sanksi hingga penutupan dan pencabutan izin operasional lab.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//