Ilmuwan Dunia Menjawab kapan Pandemi Covid-19 Berakhir atau kembali Memburuk
Pada akhir 2022, WHO menargetkan 70 persen populasi dunia akan divaksinasi. Tetapi masih ada kemungkinan Covid-19 yang bermutasi bisa menembus kekebalan.
Penulis Iman Herdiana4 November 2021
BandungBergerak.id - Ketika gelombang mematikan varian delta di banyak wilayah di dunia mulai mereda, para ilmuwan dunia memetakan kapan, dan di mana, Covid-19 akan beralih menjadi penyakit endemi. Di Indonesia, kebijakan penggunaan hasil tes PCR sebagai syarat perjalanan dinilai tidak akan efektif.
Pencegahan Covid-19 yang terbukti secara ilmiah mengurangi penularan adalah menggunakan masker, vaksinasi Covid-19, dan memastikan sirkulasi udara berjalan baik. Artinya, tes PCR belum terbukti secara ilmiah menghalau penulran.
Mengenai kapan Covid-19 berakhir, atau malah memburuk, Reuters telah mewawancarai lebih dari selusin ahli penyakit terkemuka, sebagaimana dikutip Kamis (4/11/2021).
Para ilmuwan berharap bahwa negara-negara pertama yang bangkit dari pandemi memiliki jangkauan vaksinasi yang tinggi dan kekebalan alami di antara orang-orang yang terinfeksi virus corona, seperti Amerika Serikat, Inggris, Portugal, dan India. Tetapi mereka memperingatkan bahwa SARS-CoV-2 tetap menjadi virus yang tidak dapat diprediksi yang bermutasi saat menyebar melalui populasi manusia yang tidak divaksinasi.
Mereka tidak mengesampingkan apa yang disebut beberapa orang sebagai "skenario kiamat", di mana virus bermutasi pada titik yang mampu menghindari kekebalan yang diperoleh dengan susah payah. Namun ada pula ilmuwan yang yakin bahwa akan banyak negara yang melupakan pandemi terburuk di tahun mendatang.
"Kami pikir antara sekarang dan akhir 2022, ini adalah titik di mana kami mendapatkan kendali atas virus ini ... di mana kami dapat secara signifikan mengurangi penyakit parah dan kematian," kata Maria Van Kerkhove, seorang ahli epidemiologi yang memimpin tim pengendalian Covid-19 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO menganalisa berdasarkan pemetaan yang dilakukan para ahli mengenai kemungkinan perjalanan pandemi selama 18 bulan ke depan. Pada akhir 2022, WHO menargetkan 70 persen populasi dunia akan divaksinasi.
"Jika kita mencapai target itu, kita akan berada dalam situasi yang sangat, sangat berbeda secara epidemiologis," kata Maria Van Kerkhove.
Akan tetapi ia khawatir dengan negara-negara yang mencabut tindakan pencegahan Covid-19 sebelum waktunya. "Sungguh menakjubkan bagi saya untuk melihat, Anda tahu, orang-orang di jalanan, seolah-olah semuanya sudah berakhir," katanya.
Kasus dan kematian Covid-19 di dunia memang telah menurun sejak Agustus, menurut laporan WHO pada 26 Oktober 2021.
Namun di Eropa terjadi pengecualian, di mana varian delta mendatangkan malapetaka baru bagi negara-negara dengan cakupan vaksinasi yang rendah seperti Rusia dan Rumania, serta tempat-tempat yang telah mencabut persyaratan pemakaian masker. Varian paling menular dari SARS CoV 2 ini juga berkontribusi pada peningkatan infeksi di negara-negara seperti Singapura dan Cina, yang memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi tetapi kedua negara tersebut memiliki kekebalan alami yang kecil karena tindakan penguncian wilayah yang lebih ketat (lockdown).
“Transisi akan berbeda di setiap tempat karena akan didorong oleh jumlah kekebalan dalam populasi dari infeksi alami dan tentu saja, distribusi vaksin, yang bervariasi ... dari satu kabupaten ke negara lain,” kata Marc Lipsitch, seorang ahli epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health.
Beberapa ahli memperkirakan gelombang delta di Amerika Serikat akan berakhir bulan ini, dan mewakili gelombang besar Covid-19 terakhir.
"Kami sedang bertransisi dari fase pandemi ke fase yang lebih endemi dari virus ini, di mana virus ini menjadi ancaman terus-menerus di Amerika Serikat," kata mantan Komisaris Administrasi Makanan dan Obat-obatan Scott Gottlieb.
Chris Murray, pengamat penyakit menular terkemuka di University of Washington, juga melihat gelombang delta AS berakhir pada November.
Bahkan di negara-negara yang masih mengalami lonjakan kasus dan masih menjalankan pembatasan ketat, seperti di Inggris, vaksinasi Covid-19 tampaknya membuat orang bisa keluar dari rumah sakit. Vaksinasi dinilai mampu menurunkan angka rawat inap.
Baca Juga: Nama Varian Baru Virus Corona untuk Hindari Stigma
Ilmuwan Dunia Mendeteksi Varian Baru Mirip Delta, Vaksinasi Covid-19 Perlu semakin Dipercepat
Varian Corona VoC Hanya Bisa Ditangkal dengan Protokol Kesehatan Ketat
Endemik bukan Berarti Jinak
Di sisi lain, Covid-19 masih diperkirakan akan tetap sebaagi kontributor utama penyakit dan kematian di tahun-tahun mendatang, seperti penyakit endemik lainnya misalnya malaria.
"Endemik bukan berarti jinak," kata Van Kerkhove.
Beberapa ahli mengatakan Covid-19 pada akhirnya akan berperilaku lebih seperti campak, yang masih menyebabkan wabah pada populasi di mana cakupan vaksinasi rendah.
Yang lain melihat Covid-19 menjadi lebih sebagai penyakit pernapasan musiman seperti influenza. Atau, virus itu bisa menjadi kurang mematikan, kebanyakan menyerang anak-anak. Tapi untuk menuju proses tersebut, beberapa ahli mengatakan, masih memerlukan waktu puluhan tahun.
Ferguson dari Imperial College memperkirakan di Inggris masih akan terjadi kematian dengan jumlah di atas rata-rata akibat penyakit yang menyerang pernapasan tersebut selama dua hingga lima tahun ke depan, tetapi hal itu tidak sampai membanjiri sistem kesehatan atau mengharuskan penerapan jarak sosial kembali.
"Ini akan menjadi evolusi bertahap. Kita akan menghadapi ini sebagai virus yang lebih persisten," kata Ferguson.
Trevor Bedford, ahli virologi komputasi di Fred Hutchinson Cancer Center yang telah melacak evolusi SARS-CoV-2, melihat gelombang musim dingin yang lebih ringan di Amerika Serikat diikuti oleh transisi ke penyakit endemik pada 2022-2023. Dia memproyeksikan 50.000 hingga 100.000 kematian Covid-19 di AS per tahun, di atas perkiraan 30.000 kematian tahunan akibat flu.
Virus kemungkinan akan terus bermutasi. Karena itu diperlukan suntikan booster tahunan yang disesuaikan dengan varian terbaru yang beredar, kata Bedford.
Jika skenario Covid-1 musiman terjadi, di mana virus tersebut bersirkulasi bersamaan dengan flu, baik Gottlieb maupun Murray berharap terjadi persiapan dan perbaikan pada sistem perawatan kesehatan.
"Ini akan menjadi masalah bagi perencana rumah sakit, seperti bagaimana Anda menghadapi lonjakan Covid-19 dan flu di musim dingin," kata Murray.
Richard Hatchett, Kepala Eksekutif Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi, menyoroti distribusi vaksin yang tidak merata akan memengaruhi perkembangan Covid-19 ke depan. Menurutnya, dunia tetap rentan di saat beberapa negara terlindungi dengan baik oleh vaksin dan negara yang lain hampir tidak memilikinya.
"Apa yang membuat saya terjaga di malam hari tentang Covid-19 adalah kekhawatiran bahwa kita dapat memiliki varian yang muncul yang menghindari vaksin kita dan menghindari kekebalan dari infeksi sebelumnya," kata Hatchett.
Jika hal itu terjadi, ia khawatir akan terjadinya pandemi Covid-19 babak baru yang muncul di saat dunia masih berkutat dengan pandemi lama.
Kebijakan tidak Ilmiah
Di saat dunia mulai meramalkan kapan Covid-19 berakhir, atau lebih memburuk, Indonesia masih belum bisa merumuskan kebijakan yang ajeg. Contohnya, gonjang-ganjing masalah tes PCR.
Masyarkat mengkritik kebijakan yang berbau diskriminatif tersebut. Seperti diketahui, syarat wajib tes Covid-19 berlaku bagi penumpang pesawat terbang, sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 Covid-19 di Jawa-Bali.
Epidemolog UGM, Bayu Satria Wiratama, mengaku sejak awal tidak setuju penggunaan antigen atau PCR untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi apa pun. Menurutnya, penggunaan antigen maupun PCR tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apa pun misalnya indikasi kontak erat.
“Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah," terangnya, mengutip laman resmi UGM.
Bahkan kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain. Ia menjelaskan, meskipun hasil PCR atau antigen negative, tidak menjamin bahwa seseorang tidak sedang terinfeksi. Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa dibarengi indikasi seperti kontak erat.
“Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik," ungkapnya.
Untuk itu, katanya, sebagai solusinya perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Jika perlu, pemerintah sebaiknya mencabut aturan menggunakan PCR atau antigen.
Ia menilai pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat. Kalaupun kemudian ingin mengurangi potensi penularan, pemerintah sebaiknya kembali menerapkan aturan pembatasan kapasitas.
“Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak," paparnya.
Ia menegaskan, cara ampuh mengurangan penularan Covid-19 adalah vaksin dan disiplin menjalankan protokol kesehatan. Apalagi untuk perjalanan jarak jauh disiplin pemakaian masker sangat diharuskan. Kapasitas penumpang harus dibatasi 50 – 75 persen, pengaturan jarak antarpenumpang, dan menyediakan ruangan khusus untuk makan (khusus moda kereta api).
“Dengan cara-cara seperti itu saya kira sudah cukup membantu. Hal itu perlu saya sampaikan sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai sebenarnya seberapa besar risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," terangnya.