Bernostalgia di Pasar Rakyat The Panas Dalam
Pasar Rakyat mempertemukan pelapak kaset pita, piringan hitam, buku baru, buku bekas, dan barang-barang lawas lainnya. Pameran ini berlangsung hingga 18 Desember.
Penulis Reza Khoerul Iman17 Desember 2021
BandungBergerak.id – The Panas Dalam menjadi salah satu pilihan tempat bagi warga Kota Bandung untuk nongkrong, kerja, hingga melepas kepenatan yang ada. Jajanan stan kuliner hingga toko sepeda terpampang di sana. Selain itu, tempat yang terletak di Jalan Ambon 8A itu kerap kali menggelar acara, seperti konser musik, pameran, diskusi, dan lain-lain.
Dan, di tengah kondisi pandemi yang sedang membaik kali ini, The Panas Dalam menggelar pameran bertajuk Pasar Rayat. Barang yang diperjualkbelikan di sana berupa kaset pita, piringan hitam, buku baru, buku bekas, dan barang-barang lawas lainnya. Barang dagangan tersebut akan terus terjajakan selama tiga hari, yaitu pada tanggal 16, 17, hingga 18 Desember 2021.
Ucup Anfal (32), koordinator pameran Pasar Rayat, menyatakan pameran ini merupakan bentuk respons The Panas Dalam kepada para pelapak barang lawas. Ia berinisiatif untuk menyatukan para pelapak barang lawas dalam satu acara yang menjajakan barang dagangan mereka.
Ucup melihat kebanyakan pameran diselenggarakan sesuai dengan jenis barang dagangannya, seperti record fest, pameran musik, pameran buku, dan sebagainya. Namun ia ingin mendobrak kebiasaan itu dengan membuat Pasar Rayat.
“Sebenarnya hampir tiga minggu kemarin tuh gak ada ide atau konsep buat bikin Pasar Rayat. Hingga akhirnya ketemulah dengan seorang teman, datang, katanya cerita kalau dia adalah penjual kaset dan majalah-majalah lawasan. Kemudian dari sana saya ngerespons keinginan mereka. Yuk kita bikin acara,” ungkap Ucup kepada BandungBergerak.id.
Ucup menyatakan kata Rayat pada judul pameran bukan diambil dari kata rakyat secara harfiah, tapi merupakan akronim dari “rasa yang tersimpan”. Sebab melalui Pasar Rayat, The Panas Dalam mengajak pengunjungnya untuk saling memupuk rasa nostalgia dengan barang yang dijajakan di sana.
“Ketika orang jual beli, saling bernegosiasi, mungkin ada juga yang sambil cerita saya pernah punya buku ini tapi dipinjam orang dan gak dibalikin sampai sekarang. Saya punya kaset ini dan itu, saya suka lagu ini dan itu, saya pernah punya barang ini dan itu. Jadi ada rasa-rasa yang dibawa ke tempat ini untuk dibagi baik penjual atau pembeli yang dipupuk bersama,” tutur Ucup.
Ucup berharap Pasar Rayat dapat menjalin komunikasi, silaturahmi, dan rasa kemanusiaan. Selain itu, Pasar Rayat diharapkan dapat membantu orang-orang menemukan barang yang sedang dicari atau bahkan kembali menemukan barang yang dulu pernah ada.
“Ke depannya akan ada lagi acara seperti ini, tapi bukan dalam waktu yang dekat, karena kalau terlalu sering orang akan merasakan kejenuhan. Nantinya juga kita akan membuat konsep-konsep baru, dan penambahan yang lainnya agar lebih variatif, walaupun bisa saja dengan nama yang sama,” ucap Ucup yang sehari-hari mengurus merchindise The Panas Dalam, sebuah komunitas yang didirikan seniman Pidi Baiq.
Baca Juga: PROFIL SAPA INSTITUTE: Turun dari Menara Gading Kampus, Menggerakkan Perempuan Desa
PROFIL SAYAP KIRI SQUAD: Berlari untuk Berbagi
PROFIL PHOTO’S SPEAK: Kawah Tempa Jurnalis Foto Bandung
Puisi Untung Wardojo
Pasar Rayat dibuka dengan pembacaan puisi dari Untung Wardojo (52) pada sore hari, Kamis (12/16/2021). Untung terlihat menjiwai setiap kata demi kata dari puisinya. Saat ditemui BandungBergerak.id, Untung mengatakan ada lima puisi yang dibacakannya, di antaranya Suci, Catatan, Kehilangan dan Kenangan, Kepala-kepala, dan Kamu.
Ia mengaku membacakan puisi tersebut secara spontan tanpa menuliskannya terlebih dahulu. Selain itu, puisi yang dibacakan Untung merupakan penggalan-penggalan dari banyaknya puisi yang ia buat yang kemudian dijadikan menjadi satu puisi.
“Puisi-puisi yang spontan juga merupakan gabungan dari puisi-puisi yang sebelumnya telah dibuat, jadi penggalan-penggalan dari berbagai puisi yang disatuin jadi satu puisi. Itu semua tergantung konsepnya apa, jadi nanti ketika memenggal dari berbagai puisi gak asal tapi saling berkaitan,” ucap Untung Wardojo.
Hal itu mudah saja bagi Untung mengingat pengalamannya yang luas selama berkomunitas. Untung sudah sering naik panggung untuk membacakan puisinya, ia juga kerap kali menjadi pembaca puisi di panggung The Panas Dalam.
Hebatnya, Untung Wardojo bukanlah seorang lulusan sastra. Ia belajar puisi langsung di jalanan, kemudian banyak bergaul, sehingga akhirnya ia dapat menjadi seperti ini. Ia juga telah membuat beberapa buku, seperti Buku Perjalanan Sunyi, Ujung Waktu, antologi puisi, dan antologi bersama penulis lain. Ia juga mengaku sedang membuat novel dan film pendek.
“Kurang lebih sekitar 20 tahunan saya mengarungi dunia sastra. Awalnya hanya hobi membaca buku kemudian jatuh bangun hingga akhirnya dapat seperti ini,” pungkas Untung.
Tak hanya itu, Pasar Rayat mengadakan acara talk show dengan masing-masing komunitas untuk mengetahui lebih dalam tentang barang dagangannya. Seterusnya, Pasar Rayat akan kembali hadir untuk warga Bandung yang ingin menemukan kembali masa lalunya.