• Literasi
  • Mengenang Seluk Beluk Perbukuan Era 1990 di Pasar Rayat

Mengenang Seluk Beluk Perbukuan Era 1990 di Pasar Rayat

Tahun 1990-an, masih banyak buku-buku yang dicap sebagai buku terlarang. Padahal buku adalah perekam peradaban.

Peserta pameran Pasar Rayat di The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A Bandung, Sabtu (18/12/2021). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman20 Desember 2021


BandungBergerak.id – Usai sudah Pasar Rayat yang diadakan The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A Bandung, selama tiga hari. 16, 17, hingga 18 Desember 2021 kemarin. Pameran ini menjadi tempat ekspedisi bagi warga Bandung yang ingin mencari barang lawas, baik itu buku, kaset, dan benda antik lainnya. Pasar Rayat juga menjadi ruang pertemuan bagi warga Bandung yang ingin melepas rindu kepada teman lama.

Arief Mawardhi, salah seorang pengunjung, menilai Pasar Rayat menjadi alternatif yang inovatif dalam memenuhi kebutuhan para pengunungnya. Arief mengaku bukan hanya mendapat barang yang ia inginkan semata, tapi dapat mengikuti diskusi hingga mencicipi kuliner yang ada di sana, Sabtu (18/12/2021).

Salah satu diskusi yang dihelat Pasar Rayat ialah tentang buku era 90-an. Diskusi berlangsung dalam suasana pasar sore hari menuju malam. Acara ini diinisiasi para pelapak buku yang membedah seluk beluk perbukuan: toko buku, judul buku fenomenal, lapak-lapak buku bekas di Bandung tahun 90-an.

Talkshow tersebut diramaikan oleh tujuh penjual buku yang melapak di Pasar Rayat, di antaranya Indra Prayana dari Jaringan Buku Alternatif, Alex dari Rasia Bandoeng, Bebe dari Barang Buku, Yandi dari Nadi Buku, Mirza dari Racing Z.shop, dan  James dari James Books. Adapun Deni Rachman dari Lawang Buku menjadi moderator.

Perbukuan tahun 1990 diusung sebagai tema diskusi berdasarkan usul dari Deni Rachman. Ia mengakui bahwa tema tersebut menyesuaikan dengan setting kedai The Panas Dalam yang berkonsep tahun 1990-an. Kemudian bangunan lama yang ditempati The Panas Dalam semakin mendukung suasana lawas yang diusung pada acara tersebut.

Baca Juga: Bernostalgia di Pasar Rakyat The Panas Dalam
MEMORABILIA BUKU (10): Keakraban Pasar Buku Sabuga 2006

Diskusi perbukuan era 1990 di Pameran Pasar Rayat di The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A Bandung, Sabtu (18/12/2021). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Diskusi perbukuan era 1990 di Pameran Pasar Rayat di The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A Bandung, Sabtu (18/12/2021). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Jaringan Buku Alternatif 

Indra Prayana, pemilik lapak Jaringan Buku Alternatif, merupakan salah satu pelapak buku senior. Ia mulai melapak sejak tahun 2003, namun aktivitas yang berkaitan dengan buku telah ia lakukan sejak jauh-jauh waktu.

Dulu Indra sempat melapak di depan Centre Culturel Français de Bandung (CCF Bandung), sekarang jadi Institut Français Indonesia (IFI). Indra mengaku bahwa berjualan di sana sebenarnya dilarang, tapi karena Indra orang yang bandel, maka ia menghiraukan seruan tersebut.

Nama Jaringan Buku Alternatif diakui Indra karena terinspirasi oleh artikel Ulil Abshar Abadalla terkait penyebaran agama Islam yang ditulisnya di Kompas. Pada saat itu, Ulil Abshar membawa label Jaringan Islam Liberal.

“Dulu tuh waktu tahun 2002 Ulil Abshar Abdalla menulis salah satu artikel penyebaran agama Islam di Kompas. Dia membawa label Jaringan Islam Liberal. Nah, di situ heboh, lalu ada polemik. Wah, asik nih kayaknya kalau nama ‘jaringan’, karena memang terikat, terkoneksi antara satu dan yang lainnya,” ungkap Indra.

Berangkat dari kehebohan tersebut, Indra mengangkat nama Jaringan Buku Alternatif sebagai label lapaknya. Ia menilai jika Jaringan Buku Alternatif juga seperti itu, yaitu koneksinya dibangun, dari tingkat atas kemudian ke tingkat menengah dan seterusnya.

Selain itu, pemasokan buku pada tahun 1990-an diakui Indra cukup penuh tantangan. Banyak buku tentang pemikiran, budaya, politik, yang dicap terlarang mengingat kondisi pada saat itu masih penuh tegangan awal-awal reformasi.

Di tahun 1990-an, ada beberapa toko buku cukup terkenal di Bandung, di antaranya, toko buku Karisma, Gunung Agung, toko buku Djawa di Braga, Palasari. Sementara penjual buku yang melapak di emperan banyak tersebar di Dewi Sartika dan Cikapundung.

Dalam aktivitasnya mencari buku, Indra tidak hanya sebatas mengunjungi, membeli, lantas pergi begitu saja. Namun ia berkenalan baik dengan pemilik lapak bukunya, seperti Ben dan Pak Kasmita yang menjadi langganannya di Palasari.

Indra menyatakan seharusnya kita berterima kasih kepada para pedagang buku yang telah menjajakan buku-bukunya. Hal ini ia katakan senada dengan catatan Haryoto Kunto.

“Dalam catatan Haryoto Kunto pada tahun 1993, kita itu berhutang besar kepada pedagang-pedagang buku, karena mereka memelihara peradaban, menjaga buku-buku yang memang seharusnya dirawat. Nah itu dalam perspektif catatan Haryoto Kunto pada tahun 93, yaitu Bandung sebagai surganya buku, ia berterima kasih pada orang-orang tersebut,” pungkas Indra.

Dalam hal ini, Pasar Rayat telah menjadi jembatan dan ruang untuk mengumpulkan kembali para pelapak buku dalam satu ruang. Itu artinya masih ada yang peduli akan perkembangan literasi di Kota Bandung, yaitu melalui para pelapak buku yang tidak sekadar menjual, tapi juga mengembangkan literasi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//