BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (9): Siti Atikah, Istri yang Turut Bergerak
Siti Atikah secara aktif terjun dalam dunia pergerakan dengan menulis dan melakukan propaganda. Pandangan-pandangannya amat progresif.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
1 Januari 2022
BandungBergerak.id - Saya tahu nama istri Achmad Bassach adalah Atikah. Namanya mula-mula saya kenal dalam Yuhana, Sastrawan Sunda (1979) susunan Tini Kartini dan kawan-kawan. Di situ dikatakan “Perkawinannya dengan Atikah (nama kecil: Ikah) tidak dikaruniai anak” (1979: 4).
Keterangan lain tentang Atikah yang ditimba dari tim penulis ini adalah informasi waktu meninggalnya Achmad Bassach. Kata mereka, “Keterangan lain yang diperoleh dari Atikah, istrinya, menyebutkan bahwa Yuhana mehinggal pada lebih kurang tahun 1930, beberapa hari setelah ikut bermain sandiwara dan sakit” (1979: 5).
Tim penulis juga menyatakan Atikah turut terlibat dalam pergerakan di Bandung, ketika Achmad Bassach aktif dalam Sarekat Rakyat dan memimpin tonil. Dalam pergerakan Sarekat Rakyat Bandung dibilang, “Istrinya pun giat dan bekerja sebagai guru sekolah dasar yang didirikan oleh Sarekat Rakyat di Bandung” (1979: 6). Sementara ketika Achmad Bassach aktif memimpin tonil, katanya, “Dalam usaha itu istrinya turut membantu dengan langsung terjun sebagai anak panggung” (1979: 6).
Dengan tersedianya berbagai data yang berhasil dikumpulkan, sekarang saya dapat memperkaya keterangan dalam buku susunan Tini Kartini dan kawan-kawan, sekaligus lebih memperdalam keterlibatan Atikah dalam dunia pergerakan di Bandung pada tahun 1920-an. Dari data-data yang sudah tersedia itu, saya juga dapat berupaya memperkirakan waktu pernikahan antara Achmad Bassach dengan Atikah, dan pemecatan Achmad Bassach bersama istrinya dari kalangan merah di Bandung tahun 1925.
Menikah antara Tahun 1912-1916
Data pertama yang akan saya bagikan adalah keterangan dari S dalam Keng Po (1929), yang menegaskan temuan Tini Kartini dan kawan-kawan bahwa Achmad Bassach memang tidak punya anak. Ia mengatakan, “Toean Achmad Bassach tida poenjaken poetra. Ia poengoet anak prempoean sedari orok dari beambte SS waktoe ia di Padalarang. Itoe anak ia kasi nama Johana, dimana ia pake sebagi nama pedengan boeat iapoenja boekoe-boekoe”.
Bila dikaitkan dengan keterangan waktu kerja Achmad Bassach di Padalarang, sebagaimana menurut S, peristiwa adopsi sekaligus kelahiran Johana itu terjadi antara 1918 hingga 1922. Bila dikaitkan dengan keterangan Achmad Bassach meninggal ketika berusia 35 tahun, saat mengadopsi Johana itu Achmad Bassach berusia sekitar 24 tahun. Keterangan itu juga mengandung arti berarti ia sudah menikah sebelum 1918.
Lalu, kapan kira-kira pernikahannya terjadi? Bila pada 1918 Achmad Bassach diperkirakan beberapa lama telah menikah tetapi belum dikaruniai anak, saya menduga ia menikah setelah mendapat pekerjaan. Bila demikian, kemungkinan pernikahannya terjadi antara 1912-1916, saat Achmad Bassach sudah bekerja sebagai guru sekolah rakyat di Cianjur hingga pindah ke jawatan kereta api.
Dengan catatan, pada 1911 terlalu muda baginya untuk menikah, karena saat itu dia baru berusia 17 tahun dan baru saja mendapatkan kerja. Sementara untuk 1917 terlalu berdekatan dengan masa kepindahannya ke Padalarang dan masa pernikahannya sudah agak berlangsung lama, sehingga saya kira menjadi penyebab timbulnya niat untuk mengadopsi seorang anak.
Saya teringat kebiasaan berumah tangga orang Sunda. Biasanya bila pasangan suami-istri yang telah beberapa lama menikah tetapi belum juga dikaruniai anak, mereka disarankan untuk mengambil anak pungut. Konon, untuk pancingan, agar pasangan tersebut juga turut mendapatkan anak.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (8): Bergerak di Bandung
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (7): Rawe-Rawe Rantas, Bangunlah Hai Kaum Buruh
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (6): Dua Guguritan dan Sejumlah Esai dalam Padjadjaran
Menguntit dengan Ujung Pena
Sejak kapan Siti Atikah mulai turut bergerak? Tini Kartini dan kawan-kawan (1979: 6) memberi aba-aba. Mereka mengatakan ketika “peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada awal tahun dua puluhan telah mendorong Yuhana beserta kawan-kawannya untuk terjun ke dunia sandiwara (tonil)”, Atikah turut terlibat, sebagai anak panggung.
Informasi tentang letusan Gunung Kelud itu harus diluruskan. Karena tidak terjadi pada awal tahun 1920-an, melainkan pada 1919. Menurut Data Dasar Gunungapi Indonesia (1979: 283) suntingan K. Kusumadinata, letusan besar Gunung Kelud yang memakan korban jiwa 5.160 orang terjadi pada 20 Mei 1919. Dengan demikian, dapat dipastikan Achmad Bassach mulai aktif di dunia tonil setelah 20 Mei 1919, dalam kerangka penggalangan dana untuk para korban letusan Kelud.
Ketika itu Achmad Bassach masih bekerja di Padalarang sebagai kepala Stasiun Padalarang sekaligus ketua VSTP di sana. Oleh karena itu, keterlibatan Atikah membantu suaminya bisa dibaca sebagai keterlibatannya sebagai istri seorang aktivis serikat buruh kereta api yang membantu menyebarkan visi-misi organisasi yang diikuti suaminya.
Namun, yang membuat sangat menarik tentu saja fakta Atikah secara konsisten membantu suaminya dalam dunia pergerakan. Dalam dunia pergerakan ada dua kegiatan yang dilakukan Atikah, yakni menulis dan melakukan propaganda. Kegiatan kepenulisannya masih dapat dilacak dari surat kabar Padjadjaran. Saya sendiri menemukan tiga tulisan Atikah dalam Padjadjaran antara Oktober 1920 hingga Januari 1921.
Selama masa tersebut, Atikah rutin mengisi rubrik “Doenja Istri”. Dalam edisi 25 Oktober 1925, dalam tulisan bertajuk “Panggeuing” (peringatan), Atikah menyayangkan perempuan yang telah menerima pendidikan tetapi membuat jarak dari perempuan yang belum terdidik. Mereka lebih suka bergaul dengan perempuan Eropa, terutama ketika para pribumi masih menganggap istrinya sebagai perkakas rumah belaka.
Oleh karena itu, Atikah mengajak perempuan pribumi terdidik untuk turut membimbing saudarinya yang belum terdidik, agar tidak terlalu tergantung kepada lelaki. Pada akhir tulisannya, Atikah mengatakan, “Istri noe parantos kagoengan dadasar, awas! Awas! Oge oepami andjeun teu kersa dibawa njait bangsa andjeun anoe masih kekerebekan di laoetan sangsara, satoengtoeng djisim koering hiroep, moal weleh di koentit koe oedjoeng pena djisim koering, weg met japon! Japon! Weg met topi boeloedroe! Weg! Weg! (Istri yang sudah mempunyai dasar [pendidikan], awas! Awas! Jangan kau tidak mau dibawa untuk menolong bangsamu yang masih tenggelam dalam lautan sengsara, sepanjang saya masih hidup, pasti saya akan menguntit kau dengan ujung pena, weg met japon! Japon! Weg met topi boeloedroe! Weg! Weg!).
Dalam Padjadjaran edisi Desember 1920 (sayang titimangsa pada awal korannya tidak terbaca), Atikah mengisi rubrik dengan tulisan jawaban untuk S. Maemoenah (“Ngawalon panarosan djr. S. Maemoenah”) ditambah tulisan “Adres Nji Rengganis”. Dalam tulisan pertama, Atikah berterima kasih karena Maemoenah mau menanggapi tulisan “Panggeuing” dan menyepakati pernyataan “jen awewe oge kedah matja serat kabar” (bahwa perempuan pun harus membaca surat kabar).
Atas beberapa pertanyaan Maemoenah, Atikah menjawab bila suami-istri telah timbul kesadaran kebangsaan maka ia menjamin sang istri tidak akan diperlakukan layaknya boneka (“oepami maksad djisim koering parantos tinekanan, istri pameget ngagadoehan kabangsaan, nanggel jen moal aja pameget bangsa oerang noe ngamomorekeun ngadamel boneka”) dan untuk menolak kelakuan laki-laki asing yang tidak senonoh perempuan harus berani menyatakan tidak mau (“pakeun nolak kalakoean pameget bangsa asing noe teu sanonoh [koerang ajar] gampil pisan, ‘oelah kersa bae’”).
Membaca tulisan “Adres Nji Rengganis”, saya jadi kian yakin bahwa yang mengisi rubrik “Doenja Istri” dalam Padjadjaran itu betul-betul Siti Atikah istrinya Achmad Bassach. Karena di ujung tulisannya, ia menyertakan keterangan “S. Atikah, Padalarang”. Penyebutan kata Padalarang tentu saja merujuk kepada tempat Achmad Bassach bekerja sebagai kepala stasiun kereta api, sekaligus tempatnya aktif dalam dunia pergerakan.
“Adres Nji Rengganis” berisi tanggapan Atikah terhadap ketidaksetujuan Nji Rengganis pada tulisan “Panggeuing”. Atikah menuduh Rengganis berpikir sebaliknya dengan apa yang dipikirkan oleh Atikah, sehingga ia menyatakan “Oepami andjeung teu moefakat, saroewa bae djeung andjeun moefakat kana di wajoeh” (Bila kau tidak mufakat, sama saja dengan kau setuju dengan dimadu).
Dalam “Doenja Istri”bulan Januari 1921 (sayang saya juga tidak tahu persis tanggal pemuatan Padajadjaran-nya karena titimangsanya tertutup), dengan judul “Pangawaler ka djr. S. Patimah” (jawaban untuk S. Patimah), Atikah berargumentasi tentang hak-hak perempuan. Di antaranya dia menyatakan, “Noe djadi istri aja hak ngahalang-halang kana kapalaj tjarogena oepami sakira baris ngadjadikeun pitjilakaeun, piroegieun, pikalingsemeun, ka andjeunna atanapi kanoe djadi istri” (Istri mempunyai hak menghalang-halangi kemauan suami bila keinginan tersebut dapat membuat celaka, rugi, dan malu, baik kepada suaminya atau kepada istri).
Dengan demikian, bila membaca ketiga tulisan di atas, Atikah mengikuti langkah-langkah Achmad Bassach. Sebelum terlibat dalam propaganda secara lisan, ia aktif menggunakan kemampuannya menulis untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, terutama wacana feminisme. Dari ketiga tulisan itu, saya menduga Atikah termasuk perempuan yang berpendidikan modern sekaligus dipengaruhi wacana feminisme saat itu. Barangkali seperti suaminya, paling tidak, ia lulusan sekolah rakyat.
Propaganda Perempuan Progresif
Sejalan dengan dipecatnya Achmad Bassach dari jawatan kereta api pada Mei 1923 dan kepindahannya ke Bandung untuk kembali menjabat sebagai ketua VSTP cabang kota itu, Siti Atikah mulai terlibat dalam propaganda.
Pada hari Minggu, 2 Desember 1923, di SI School di Jalan Pungkur, VSTP Bandung mengadakan pertemuan umum. Kegiatan yang konon dihadiri 1.200 orang itu merupakan rapat pertama VSTP setelah pemogokan Mei 1923 di Priangan. Dalam kesempatan itu tampil pembicara istimewa, yaitu seorang perempuan: Siti Atikah. Penampilannya sekaligus menandai kali pertama perempuan berbicara di tengah khalayak banyak di Priangan.
Berambut pendek tipis, mata tajam dan alis tertekuk, Siti Atikah dengan tenang berdiri di mimbar. Kalimat pertamanya, “Ini adalah pertama kalinya saya berbicara di depan publik. Mungkin orang akan mengatakan berani, tetapi karena desakan waktulah yang memaksa saya berbicara.” Selanjutnya, ia menggambarkan perempuan pribumi yang ditemukannya dalam surat kabar Eropa maupun Kaoem Moeda, yaitu sedang mengendarai sepeda dan memakai kaca mata. Banyak surat kabar yang menyalahkan dan mengejek perempuan itu.
Perlakuan itu, menurut Atikah, harus dihentikan. Demikian pula penderitaan kaum perempuan pribumi Hindia harus segera dihentikan dan satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah perempuan pribumi harus melakukan apa yang dilakukan kaum lelakinya, yaitu bergabung dengan gerakan rakyat (“en de eenige weg tot verbetering is, dat de Inlandsche vrouw gaat doen wat de mannen doen, zich begeven in de volksbeweging”).
Oleh karena itu, Atikah mengajak perempuan pribumi untuk membantu kaum lelakinya, dengan mengibaratkan lelaki sebagai burung dan perempuan sebagai sayap. Katanya, tanpa sayap burung tidak akan dapat terbang. Tanpa pertolongan istrinya, suami tidak akan dapat bertarung (“onder hun vleugelen kunnen de vogels niet vliegen. Zonder de hulp van hun vrouw kunnen de mannen hun strijd niet voeren”). Semuanya harus bersatu sekarang, harus memikirkan kaum buruh yang tertekan oleh pemerintah dan rusak oleh kaum pemodal (De Indische Courant, 5 Desember 1923).
Setelah itu, Atikah kerap turut terlibat dalam propaganda. Dalam rapat Partij Kommunist India (PKI) cabang Bandung pada Minggu, 16 Desember 1923, masih di tempat yang sama, Atikah hendak berdebat dengan Mariam yang sebelumnya menulis dalam Kaoem Moeda tentang tidak pentingnya pertemuan sebelumnya. Sayang, Mariam tidak datang dan Atikah uring-uringan (AID, 17 Desember 1923)
Menurut AID (27 Desember 1923), Atikah ikut dalam propaganda Sarekat Islam (SI) Merah di Buahbatu pada hari Minggu, 23 Desember 1923. Propaganda itu merupakan bagian dari rangkaian yang diorganisir di Semarang. Agendanya sendiri membahas tentang kelaparan di Jerman dan Rancaekek.
Keterlibatan Atikah dalam gerakan politik memang menjadi sorotan media-media berbahsa Belanda. Dalam AID (29 Desember 1923) dikatakan sekarang perempuan mulai bergerak. Umumnya mereka hanya terlibat dalam olah raga dan kerajinan, tetapi kini di sana-sini mulai ada yang naik podium. Di Bandung termasuk Siti Atikah. Demikian pula De Tribune: sociaal democraat weekblad (21 Januari 1924) yang memberitakan lagi saat Atikah berbicara di depan khalayak.
Memasuki tahun 1924, aktivitas Atikah kian kerap, seiring dengan diangkatnya Achmad Bassach sebagai ketua Sarekat Rakyat (SR) Bandung. Pada 1 Mei 1924 dikatakan di bawah kepemempinan ketua SR Bandung Achmad Bassach, SR jadi membesar. Dalam rapat 1 Mei 1924, yang didapuk sebagai propagandis adalah Sardjono, A. Winanta, S. Darmoprawiro, Moh. Djaedi, Atikah, dan Kartaatmadja (Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers [IPO] no. 22, 1924).
Dua bulan kemudian, tepatnya pada pada 6 Juli 1924, Atikah turut berpropaganda di Rajapolah, Tasikmalaya. Saat itu yang menjadi pembicara antara lain Sastrawihardja, Kartawiria, Bassach, Kartaadimadja, dan Nji Siti Atikah disebut-sebut sebagai “de vooruitstrevende vrouw” alias perempuan progresif (AID, 8 Juli 1924).
Suami-Istri Dipecat dari Kalangan Merah
Berhentinya Siti Atikah dari dunia pergerakan ternyata menentukan juga aktivitas Achmad Bassach di Sarekat Rakyat Bandung. Pemberhentian Atikah terkait dengan penangkapan dan dijebloskannya para pengurus Sarekat Isteri cabang Bandung pada 24 Agustus 1925.
Dalam IPO no. 36, dikatakan pada 24 Agustus 1925 para anggota dewan pengurus Sarekat Isteri di Bandung dijebloskan ke penjara untuk menerima hukuman. Bersama mereka dijebloskan pula anggota-anggota kalangan merah, terutama perempuan. Hanya seorang saja di antara anggota dewan Sarekat Isteri yang tidak dipenjara, yaitu Nyonya Atikah, karena dia membayar denda.
Soalnya, bagaimana prosesnya hingga Atikah dan kawan-kawan dari Sarekat Isteri ditangkap dan mendapat hukuman? Jawabannya saya peroleh dari keterangan S (1929). S mengatakan “Itoe waktoe iapoenja istri bersama dengen njonja Sophie (njonja Soepradja) telah bikin pembitjaraan dalem satoe vergadering” dan “Apa jang dibitjaraken sampe mengenakan persdelict; dapet hoekoeman pendjara sebegitoe hari atawa denda sekean roepiah”. Alhasil, propaganda Atikah bersama kawan-kawannya itu melanggar aturan berbicara di depan publik, sehingga mereka kena delik.
Namun, Atikah merasa keberatan terhadap hukuman itu, sehingga dia dan barangkali dengan bantuan Achmad Bassach mencari uang untuk mengganti hukuman kurungan. Yang membuatnya keberatan adalah anak pungutnya semata wayang, Johana, yang masih kecil. Uang tebusan pengganti hukuman itu didapatnya dari dr. Tjiptomangoenkoesoemo. Kata S, “Njonja Soepradja (asal njonja indo tida poenja poetra serta soeda beroemoer) masoek ka pendjara. Njonja Atikah Achmad Bassach menginget poetranja poengoet jang masih ketjil bajar itoe dendaan dengen oewang dari pertoeloengannja ... Dr. Tjiptomangoenkoesoemo.”
Rupanya keengganan mendapatkan hukuman kurungan ditanggapi kalangan merah sebagai pengkhianatan, karena bertentangan dengan derajat komunisme. Menurut S, “Ini ‘tida maoe masoek boei’ ada bertentangan dengen deradjat communisten.” Namun, yang dicap berkhianat bukan hanya Siti Atikah, melainkan juga Achmad Bassach, sehingga S dalam tulisannya mengatakan “Moelai itoe waktoe toean Achmad Bassach swami-istri diroyeer” dan di bagian lain ia menyebutkan “Ketjintaan pada ini anak djoega mendjadikan ia pada taon 1925 diroyeer dari kalangan merah”.